Malam yang dingin. Kota dengan luas 23 km2 itu seperti beku.
600 meter dpl dan musim hujan. Wajar saja bila bulan-bulan ini kota
begitu dingin. Kota ini layak disebut sebagai kota dingin. Luasnya yang
terkecil keempat di Indonesia tidak menjadikannya inferior. Di
sini, di kota serambi mekkah ini, banyak terdapat sekolah-sekolah yang
bersungguh-sungguh melahirkan para generasi pembelajar. Yang tidak
hanya berkutat dengan angka dan tulisan tetapi juga menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, karakter luhur dan akhlak mulia. Banyak pelajar dari
seluruh penjuru Pulau Andalas yang menuntut ilmu di sini. Bahkan dari
pulau Jawa.
Ruangan lepas itu begitu lengang. Tidak ada dialog ataupun monolog
manusia. Sesekali hanya terdengar bunyi dengkuran dari beberapa remaja
yang tengah terlelap. Ruangan itu kira-kira berukuran 40x15 meter. Di
sana berjejer dipan-dipan bertingkat dua. Dari kayu. Dan bercorat-coret.
Ada yang hanya sekedar T was here sampai dengan resolusi impian masa depan. Juara olimpiade geologi. Hafal 30 juz. Teknik Perminyakan ITB. S2. Istri cantik dan shalihah. Meng-haji-kan orang tua.
Lantai keramik dingin. Gagang pintu pun demikian. Semuanya dingin.
Pukul 03.00 T terbangun dari mimpinya. Segera ia membangunkan
teman-temannya. Dimulai dari yang terdekat, teman satu dipan. Minas
adalah orang pertama yang ia bangunkan.
Minas, bantu saya membangunkan teman yang lain, ok? Proses pem-bangun-an yang berantai. Tetapi bukan menggunakan rantai.
“Um.umm,” jawab Sutan pertanda setuju sambil menguap dan meregangkan kedua tangannya menjauhi tubuhnya.
Setelah kantuknya terasa sudah pergi, Minas segera membangunkan
Sutan. Sutan yang bersebelahan dengannya. Sutan yang hampir saja
mengurai rahasianya di depan umum kemarin siang. Sutan sahabatnya yang
jenius. Selanjutnya si anu, si anu dan si anu.
“Bangun... bangun... tahajjud, setelah itu kita belajar bersama”.
“Thanks bro,,, udah bangunin, tapi abis sholat aku mau nonton dulu
nih liga inggris. MU VS Chelsea. Nanti yang belajar besok malam ajarin
saya yah.”
“OK baiklah.”
Mereka bertahajjud di sepertiga malam terakhirnya. Menjauhkan lambung
dari tempat tidur. Saat manusia-manusia di belahan bumi yang lain
banyak yang tertidur lelap. Mereka melawan rasa kantuk, melawan rasa
dingin yang menembus tulang. Mereka berwudhu bersama. Antre.
Untuk shalat tahajjud, mereka lakukan munfarid, sendiri-sendiri. Karena untuk beberapa shalat nafilah memang diutamakan sendiran.
Mereka bersujud, memohon dengan penuh harap kepada Allah dengan
segala do’a semoga di ijabah semoga di kabulkan. Akhir-akhir ini memang
sering terucap dari mulut mereka. “Sahabat do’akan saya ya, semoga saya
tidak terdegradasi”. Saling kepada satu sama lainnya. Mereka saling
mendo’akan. Sepertinya tidak hanya di dalam asrama putra, di asrama
putri hal yang sama juga terjadi.
Degradasi memang sebuah hantu bagi siswa-siswa asrama, tidak ada yang
ingin berjumpa dengannya. Ia bukanlah sesosok tubuh dengan mata
berdarah dan rambut panjang, muka mengerikan, berkain putih atau muka
datar dan berkaki buntung atau pocong dan kuntilanak, melainkan sebuah
istilah untuk pengeluaran siswa dari asrama. Mekanisme yang memang
telah diterapkan para pendahulu saat mendirikan asrama ini. Siapa yang
nilainya tidak mencapai, dan dengan beberapa pertimbangan, maka
subsidinya dicabut. Disisi lain hal ini terlihat kejam. Akan tetapi
sistem ini memang telah di tetapkan pemerintah.
Adegan ini masih lekat dalam lobus temperalis Minas.
Ia bangkit dari sujudnya, berdo’a semoga ikatan yang dulu pernah
mereka sepakati bersama itu, mereka jalani bersama, mereka pertahankan
bersama, tidak kendur dan tidak pula putus. Minas mendo’akan
persaudaraan mereka agar senantiasa terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar