Selamat Mencintai
Saya
akan mencoba menceritakan tentang teman saya. Arsa namanya. Dia adalah seorang yang
tengah menghabiskan waktu dengan penyesalan unik.
Begini.
Arsa
setiap pagi selalu berfantasi kalau Desi selalu membuatkan secangkir teh
untuknya. Arsa mulai bercakap-cakap sendiri, tertawa dan senyum sambil
menyantap sebungkus roti ‘sariroti’.
Kalau
malam, ia selalu mematikan lampu dan menghidupkan lilin. Mungkin ini
imajinasinya tentang candle light dinner
yang tidak pernah terlaksana, walau barang sekalipun dengan Desi, Sang Ratu
hatinya.
Dengan
mp3 ‘romantic saxophone instrumental’ Ia menikmati nasi putih dan telur dadar
yang nyaris gosong. Di depannya ada laptop. Bisa kutebak ia sedang membayangkan
makan malam bersama Sang Ratu Hati. Dengan memasang foto Desi setengah badan. Terlihat gadis itu memonyongkan
bibir dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah terbuka menunjuk angka dua. Apakah
angka 2 itu pertanda mereka akan berdua selamanya? Tidak tahu apakan itu ‘peace’.
Kedamaian? Yang jelas biar saja Desi dan Arsa yang selalu tahu apa makna itu. “Kemana
Desi” tanyaku kepada Arsa. “Ia sudah menikah. Aku terlambat. Aku terlambat.” Itu
saja kalimat yang keluar dari mulut Arsa sambil mengunyah cepat nasi dan telur
dadarnya. Airmatanya menetes menjadi kuah asam didalam hati sakitnya.
Aku
tak sengaja melihat piring yang satu lagi kosong. Entah mengapa dibiarkan
kosong.
Piring
kosong itu memantulkan gurat kesedihan yang sama dengan Arsa. Aku serasa senasib
dengan Arsa. Aku Asra nasibku hampir mirip dengannya. Aku sedang mencintai
seseorang yang sejelas uang seribu diantara tumpukan seratus ribu, menolakku.
Sayang seratus ribu sayang dia mencintai manusia lain. Untung saja aku masih
sehat dan belum gila. Tentu dalam ukuranku.
Barangkali
ada yang men-‘judge’ aku gila karena aku tetap mencintainya. Meski, meski aku
sudah kehabisan alasan untuk menjelaskan kepada siapapun yang bertanya. Meski
aku sudah ditolak sebelum aku bertolak. Sebelum sempat aku mendeklarasikan.
Pernah
aku berpikir saat acara perpisahan sekolah di SMA di panggung aku akan merebut microphone, memotong sambutan kepala
sekolah. Aku akan nyatakan cintaku padanya. Tetapi memang dalam
kerangka dunia nyata, imajinasi tidak ada kecepatannya. Diam. Sediamnya Aku.
Setidaknya
aku masih bisa bersyukur tidak seperti Arsa yang aku anggap sudah gila.
Cinta
akan aku coba mengeluarkan satu pemahaman diantara beribu milyar definisi yang
telah manusia bahkan mesin ciptakan. Cinta adalah kasih sayang yang tidak
berbatas dimensi. Dunia nyata, dunia imajinasi, engkau menyayanginya. Tanpa
pamrih karena cinta selalu bergerak maju menembus batas-batas akal, menembus
benteng penyekat bahkan menembus pemahaman orang lain akan cinta. Ia akan
timbulkan cemburu, pengkhianatan, kegilaan. Kerinduan yang mendalam. Kegilaan
yang menyehatkan sampai kedaan yang tak tergambarkan. Cinta bukanlah sekadar
kekaguman, kesamaan hobi kecocokan sifat, rasi bintang, kalkulator tanggal
lahir dan nama. Tapi cinta adalah pekerjaan hati, pekerjaan hati, dari
pemahaman hati.
Selamat
mencintai.
Tulisan
ini dibuat atas request sahabat saya Syamsuri Brian Hasbi.