[Resensi Buku] Perjalanan Lain Menuju Bulan : Bring Puisi To The Next Level
Judul
: Perjalan
Lain Menuju Bulan. Satu Kisah Tiga Babak atau Tiga Puluh Sajak
Penulis
: M. Aan
Mansyur
Penerbit
: Bentang
Cetakan
: I, Juni 2017
Tebal
: xvi+96 halaman
Pertanyaan
masih mungkinkah puisi ditulis menjadi teror bagi para penyair kita. Bila di
dunia bisnis ada istilah inovasi, maka dalam seni puisi ‘inovasi’ ini sepadan
dengan jawaban atas pertanyaan teror itu. Setelah masa Buah Rindu Amir Hamzah,
Chairil menyentak-terjang dengan Aku Ini Binatang Jalang. Lantas kemudian, para
penyair kita berlomba-lomba keluar dari kungkungan para pendahulu tersebut.
Maka kemudian lahirlah Sapardi Djoko Damono dengan tradisi prosaik Tagore,
Subagio yang puisinya padat ide, lalu Gunawan Mohamad dengan suasana kebahasaan
yang menawan. Lantas muncul juga nama Sutardji yang mengembalikan kata-kata
kepada kodrat kata-kata yang bukan sebagai penyampai makna. Ada lagi Joko
Pinurbo yang seperti remaja nakal mengutak-atik satir dan kelucuan yang ironi.
Muncul pula puisi posmodern Afrizal Malna yang nyeleneh, dan Nirwan Dewanto
yang mengambil lisensi dari seni rupa, surealisme, ekspresioniesme
dan dengan penumpukan benda-benda.
Sejarah
singkat perpuisian Indonesia ini kemudian oleh penyair kita ditambah dengan
mengutak-atik kitab suci sebagai bahan resepsi tematik, beberapa nama seperti
Adhimas Imanuel, Avianti Armand, dan kawan-kawan mencoba racikan puisi macam
begini.
Setelah
Melihat Api Bekerja, Tidak Ada Newyork Hari Ini, dan Sebelum Sendiri, Aan hadir
kembali kepada penikmat puisi melalui Perjalan Lain Menuju Bulan. Kalau dalam
Melihat Api Bekerja Aan memadukan puisinya dengan sapuan kuas cat air emte,
lain hal dalam Tidak Ada New York. Ia menyandingkan puisi-puisinya dengan karya
fotografi Mo Riza (Tidak Ada New York juga merupkan puisi-puisi yang dipakai di
film AADC 2). Kali ini, Perjalanan Lain Ke Bulan juga merupakan kolaborasi Aan
bersama sebuah proyek film, musik dan buku. Aan memperoleh peran sebagai
penulis buku puisi dengan ide Perjalanan Lain Menuju Bulan. Filmnya, terlebih
dahulu dirilis dalam festival film di Belanda dengan Judul "Another Trip
to the The Moon". Sementara album musik dan buku puisi digabung menjadi
satu dalam buku ini.
Rasanya
Aan merupakan penyair yang cukup ramah untuk berkolaborasi dengan bidang seni
lain. Terbukti melalui buku puisi yang ia terbitkan sebelumnya. Barangkali ini
ada berkait dengan slogan yang terdengar klise: bring puisi to the next
level. Di zaman sekarang bring to the next level menjadi
amunisi ampuh demi meninggalkan yang terasa usang dan membawa angin kesegaran.
Beberapa
penyair yang pernah mencoba mengawinkan multi disiplin seni ke dalam puisi
adalah Wing Kardjo dalam Fragmen Malam-nya. Puisi-puisi soneta beliau diiringi
oleh lukisan para karib senimannya. Tidak lupa juga Yudhistira ANM Massardi
dalam buku puisi 99 sajaknya menggunakan ilustrasi Ramadhan Bouqie di setiap
judul puisinya. Namun rasanya untuk kolaborasi dengan film baru Aan Mansyurlah
yang melakukannya. Entah boleh disebut mengampanyekan Puisi via Film, yang
dengan begitu buku puisi menjadi karya turunan dari film atau tidak. Namun
paling tidak akan jadi data pencilan untuk membantah bahwa buku puisi sudah
tidak dapat tempat di ruang baca para pecinta buku di Indonesia. Tidak Ada New
York berhasil membuktikan itu dengan mengalami beberapa kali cetak ulang dalam
waku singkat.
Kerja Aan dalam
"mengampanyekan" dan inovasi puisi perlu diberi ucapan terima kasih
oleh para penyair lain. Sebab Aan sudah membuka pintu kerjasama untuk membawa
puisi ke the next level. Usaha Aan pantas
diapresiasi.
Menulis puisi dengan sebuah wacana utuh atau satu kisah
tentu mempunyai tantangan tersendiri. Kelihaian untuk memindahkan tema cerita
yang notabene prosa ke dalam bentuk puisi perlu keterampilan khusus yang halus.
Buku
ini memuat tiga bab yaitu Ibu yang Menunggu, Lelaki yang Anjing, dan Perempuan
yang Mencintai Perempuan Lain. Ada minimal tiga suara naratif: ibu, lelaki, dan
sang anak perempuan. Di Perjalanan Lain Menuju Bulan ini, Aan sering
menggunakan kata ‘adalah’ dan sinonimnya ‘ialah’. Untuk jumlah 30 puisi, total
22 ‘adalah’ dan 4 ‘ialah’ merupakan angka yang banyak. Uniknya, porsi ini
didominasi oleh 10 puisi pertama. Manakala ‘suara’ sang Ibu muncul untuk
berpuisi. Karakter seorang ibu yang sudah banyak mengenyam asam dan garam
kehidupan menjadikan motif puisi definitif model begini wajar adanya.
Untuk
penggarapan tema, tentang perjalanan perempuan menemukan kebebasannya, terasa
Aan cukup kesulitan berpegang pada tema tersebut. Aan memang mencoba dengan frasa
"Aku tidak mencari diriku. Aku tahu semua perempuan tahu dirinya perempuan
tetapi mereka sedang merebut sesuatu yang diambil darinya". Sebenarnya ide
ini menarik untuk dieksplorasi lebih mendalam. Namun dalam 3 bab puisi ini Aan
luput menjabarkan hal itu. Justru ia lebih suka menampilkan anasir bunyi,
penciptaan rima yang indah. Dapat dilihat melalui permainan bunyi seperti:
Aku tangkai patah yang hanyut
dan tersangkut di tungkai kakimu—
demi mengembalikanmu ke bumi
dan kau berdetak lagi bersama waktu (halaman 13). Suasana muram ditimbulkan oleh efek kakofoni bunyi k,t,s,p pada bait ini.
Atau bait pembuka puisi Ibu yang
menunggu ini:
Pergi adalah kemestian
bagi seorang anak. Pergilah.
Bertualanglah. Jangan hilang. (halaman 2)
bagi seorang anak. Pergilah.
Bertualanglah. Jangan hilang. (halaman 2)
Kemudian
yang menarik adalah seperti yang dituliskan Sapardi dalam pengantar buku puisi
Aan sebelumnya, Melihat Api Bekerja, puisi Aan serupa lompatan-lompatan aksara.
Benar saja. Ditilik dari pola sintaksis dalam subbab 7 dari Lelaki Yang Anjing
:
Mereka yang menghindari kesedihan-kau
pergi,
aku tahu, tidak untuk itu-adalah mereka yang lebih
banyak menangis dan rawan jatuh ke liang keyakinan. (halaman 37)
aku tahu, tidak untuk itu-adalah mereka yang lebih
banyak menangis dan rawan jatuh ke liang keyakinan. (halaman 37)
Gaya
bahasa interupsi yang disisipkan Aan menjadi daya tarik tersendiri. Demi
menambah kesan suara narator yang memahami objeknya: kau pergi, aku
tahu, tidak untuk itu. Aan menyajikannnya dengan apik.
Puisi
Aan cenderung menjadi puisi yang indah untuk dikutip dan terkutipkan
(quotable). Ambil saja contoh satu-dua larik: Satu-satunya aturan
petualangan : jangan pernah kembali ke rumah membawa kaki dan hati yang patah.
Kebebasan Cuma penjara jika kau tidak tahu apa yang kau lakukan di dalamnya.
Atau larik yang menampilkan paradoks hasrat manusia: Aku ingin kau jadi
milikku, tetapi aku butuh kau tetap saja milikku-aku ingin memiliki keinginan
selamanya. Menarik bukan? Jika hasrat telah terpenuhi maka apa lagi hakikat
manusia? Bukankah ia makhluk yang selalu berhasrat, mengosngkan
dirinya demi memburu hasrat yang menerus akan dikosongkan?
Dalam
subbab nomor 4 dari Perempuan yang Mencintai Perempuan Lain, terasa ada
sentuhan T.S. Eliot dan sedikit citarasa Zen.
Aku
ingin berhenti berusaha menemukan perbedaan antara awal dan akhir. Aku ingin
tiba di suatu tempat (atau waktu?) di mana hidupku kehilangan segala dan aku
merasa memenangkan sesuatu. Tetapi kemenangan, kata ibuku, adalah tunas
penderitaan yang lain.(halaman 58)
Dalam Four
Quartet T.S. Eliot mencantumkan kalimat yang terkenal the
beginning is the end. Narator di puisi halaman 58 ini, ingin menemukan itu,
dimana awal dan akhir tidak memiliki beda walau sekulit aripun. Lalu diktum
tentang hidup ialah penderitaan semacam roda samsara kerap menjadi alusi yang
dirujuk kepada Buddha aliran Zen.
Percobaan
Aan dalam mengikuti surealisme perjalanan lain ke bulan, dapat kita jumpai
dalam bait ini:
Dulu setiap hari aku
menyaksikan ibu menyiram sore di halaman. Ia melakukannya bukan karena melihat
waktu layu. Ia menginginkan pagi mekar lebih cerah.(halaman 66). Di sini, saya teringat lukisan Surealis
Dali yang berjudul Persistence of Memory. Jam menjadi simbol waktu
diolah menjadi benda fisik yang meleleh. Di bait ini Aan menggantikan posisi
bunga yang dalam realitas sehari-hari di siram agar mekar. Aan memainkan
penggantian objek bunga menjadi waktu yang diturunkan lagi menjadi sore di
halaman dan pagi yang mekar lebih cerah. Jenius.
Perjalanan
Lain Menuju Bulan tidak seambisius akrobat linguistik seperti di buku Tidak Ada
New York Hari Ini, (kau yang panas di kening dan dingin di kenang), atau
penggantian relasi sintagmatik yang kerap menjadi andalan Aan. Maupun
pembongkaran suku kata seperti ini: Masa remaja adalah negeri yang
jauh. Jatuh dan patah. Seolah jauh merupakan akronim dari jatuh dan patah.
Atau Bintang-bintang sudah lama tanggal lampu kota bagai kalimat
selamat tinggal. Contoh lain seperti menyerahkan diri untuk
dinikmati, tetapi menolak untuk dimiliki. Atau pada kalimat aku
bagai menyelami sepasang kolam yang dalam dan diam di kelam wajahmu. Bunyi
‘lam’ yang bertubi-tubi, menganalogikan mata dengan kolam yang dipadu dengan
suasana kelam wajah. Tiap kata yang kau ucapkan selalu berarti kapan.
Tiap kata yang aku kecupkan melulu berarti akan. Lihai sekali bukan
ucapkan à kecupkan, kapan à akan, repetisi yang ciamik.
Semuanya tidak ditemukan di Perjalanan Lain Menuju Bulan ini.
Puisi
prosa Aan yang terkutipkan, berisi nasihat santun ini cenderung lebih tenang.
Aan mengajak pembacanya berdialog melalui metafora-metafora yang ia dihadirkan.
Tidak lupa buku ini dilengkpai dengan CD album musik, sesuai dengan diktum di
awal : bring puisi to the next level.