[Resensi Buku] Novel Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo
Novel Khotbah di Atas Bukit
Penulis :
Kuntowijoyo
Penerbit :
Bentang
Cetakan :
I. 2008
Tebal :
iv+ 198 hlm; 20,5 cm
Harga :
Rp
Khotbah di Atas Bukit bercerita
tentang Barman, seorang laki-laki tua (65 tahun) pensiunan pegawai negeri.
Barman yang ingin menyepi di masa tuanya memutuskan hidup di villa di
perbukitan. Apa yang akan kau bayangkan dengan vila di bukit? Tentu saja udara
segar, keheningan dan pemandangan hiijau. Suasana sejuk dan damai. Ketenangan
dan ketentraman.
Bobi, anaknya menyediakan
fasilitas itu. Sebagai anak yang berbakti, Bobi juga menyertakan ‘perawat’ bagi sang ayah. Popi namanya, perempuan muda,
berkulit kuning, tinggi semampai, tak terlampau kurus atau pula gemuk, cukup
proporsional, dan tentu saja cantik. Segera Barman dan Popi resmi menjadi suami
istri. Popi adalah perempuan mantan tuna susila. Meski demikian ia, seorang
yang cerdas: sarjana filsafat. Popi juga
pandai memasak dan paham dengan Barman dengan dalam. Mereka berdua seolah
pasangan suami istri yang sudah lama menikah.
Hubungan Barman dan Popi sangat
mesra dan intim sekali. Barman bahkan mengerahkan seluruh detik hidupnya untuk berdua dengan Popi, demi bermanja dan bercengkerama dengan istri terakhirnya
itu.
Suatu hari Barman bertemu dengan
Humam di bukit. Humam lelaki yang ‘mirip’ dengannya. Barman menjalin
persahabatan dengan Humam. Banyak pelajaran yang didapat Barman dari Humam.
Persahabatan Barman dengan Humam menyebabkan
hubungan Barman dengan Popi agak merenggang. Barman juga sempat iri kepada
Humam saat ia melihat wajah Humam lebih bercahaya daripada dia. Dia merasa
seolah ada yang kurang dari diriinya. Makanya dia terus belajar kepada Humam. “Bung, kesenangan itu tak bertambah atau
berkurang. Kebahagaiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.”
Itulah salah satu sabda Humam yang senantiasa diingat Barman. Barman makin intens
mendengarkan ceramah-ceramah Humam yang terasa menyegarkan dirinya.
Tak lama kemudian Humam
meninggal. Ia meninggal di atas kursi dalam keadaan tersenyum. Setelah kematian
Humam, Barman menjalankan ajaran Humam dan menyebarkan ajarannya kepada
penduduk sekitarnya. Penduduk pun banyak yang berdatangan. Tetapi ketika orang-orang
sampai di bukit, Barman justru bingung. Akhirnya, Barman mampu mengucapkan
khotbahnya dengan mengatakan bahwa “Hidup
ini tidak berharga untuk dilanjutkan, maka bunuhlah dirimu”. Setelah Barman
meninggal, Popi pun meninggalkan rumah itu dan ia menemui seorang laki-laki
dengan melepaskan hasratnya yang selama ini ia pendam pada orang yang
disayanginya.
“Hidupilah Hidup, jangan berfikir!” Di akhir
novel ini, Popi digambarkan meninggalkan villa dan hidup bersama seseorang yang
baru dikenalnya di dalam truk pengangkut sayur-sayuran dari bukit menuju kota.
Novel Khotbah di Atas Bukit
(1976) melukiskan kehidupan manusia modern di tengah hiruk pikuk materialistis
hedonis. Hidup yang segera dipertentangkan dengan ketenangan jiwa dalam sepi
pengasingan. Barman tua yang letih dalam kehidupan kota merasa perlu menyepi ke
bukit bersama Popi muda nan cantik agar dapat menikmati sisa hidupnya dengan lebih nikmat. Akan tetapi
pertemuannya dengan Humam menyebabkan Popi dan sisa hidupnya tak bermakna sama
sekali. Dengan kalimat “Bunuhlah dirimu!” yang diajarkan Humam, Barman tenggelam dalam kehidupan sunyi nan misterius.
Oleh beberapa kritikus, novel ini
dianggap sebagai representasi gagasan filsafat dan tasawuf. Dalam Khotbah di Atas Bukut, Kuntowijoyo menghadapkan dua kutub : material dan spiritual, dunia fisik dan
batin, kota dan desa, hiruk-pikuk dan sepi di dalam latar waktu dan kultur kehidupan
manusia modern. Budaya Jawa dan Islam
menjadi tekstur seluruh jalinan peristiwa dan tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Novel ini sesungguhnya merupakan
kritik tajam terhadap kehidupan modern yang sesak dengan sikap pragmatis-materialis
dan karena itu di titik inilah gagasan sufistik/profetik lahir. Tokoh Humam dan
bukit yang sepi adalah simbol transendensi akhir dari perjalanan manusia dalam
menempuh kehidupan. (Maklumat Sastra Profektik: Kaidah Etika dan Struktur
Sastra).
Barman yang sudah tua ingin
mencari makna kehidupannya. Ia
berharap dengan menyepi di perbukitan ia sanggup memuaskan kehendak untuk memaknai tersebut. Bayangkan saja seorang pensiunan
menghabiskan waktu bersama istri muda nan cantik di bukit. Lantas terus-menerus mempertanyakan
kebahagiaan yang belum pernah didapatkannya. Sampai-sampai pertanyaan itu
menjalar kepada orang-orang lain. Ujung-ujungnya ia membentuk jemaah dengan dirinya sendiri sebagai
pemimpinnya.
Perjalanan tokoh Popi juga
menarik untuk direnungkan. Popi yang dahulunya bekerja sebagai pelacur kini
menikah dan bersuami. Sebagai sarjana filsafat ia terus melanjutkan hidupnya. Subjektivitasnya dalam menilai manusia beralih menjadi objektivikasi yang lebih
intens. Ia mulai merasakan spirit dalam dirinya. Popi melupakan masa lalunya dan
tidak ingin berlarut-larut di dalamnya. Ia terus melanjutkan hidup. Hidup meski
terus meski misterius.
Sedangkan Humam, dia adalah
gambaran tokoh yang sudah mencapai tingkat religiusitas tertentu. Ia berbuat seolah sudah
bertransendensi dengan Yang Transenden. Manunggaling. Sehingga segala
tindak-tanduknya tidak butuh pertimbangan baik dan jahat lagi, dia adalah kebaikan. Hanya saja dalam kisah ini Barman baru
akan menempuh tahap Humam.
Barangkali memang ada benarnya
juga Pak Nietzsche. Jika ingin kebenaran maka carilah, jika ingin kebahagiaan,
percayalah. Barman sebenarnya cukup dengan percaya saja, maka dia akan
merasakan bahagia. Tetapi jika ia terus bertanya. Ia ttidak akan pernah bahagia
sebab akan terus mencari. Kebenaran-lah barangkali nanti yang ia temui, sebagai ganjarannya. Lalu janganlah terlalu rakus. Kebahagiaan dan kebenaran tidak muat dalam satu dimensi
manusia.
Pada cover novel ini dicetak : Masterpiece tentang Perburuan Spiritual. Sebuah Mahakarya tentang pencarian jati diri dan kebahagiaan. Tidak mengada-ada menurutku. Memang novel ini menceritakan pegalaman
dan perjalanan tokoh-tokohnya. Terutama Barman yang terus mencari, memburu
sesuatu makna dan hakikat. Ada pepatah yang bilang bahwa jika kau terus mencari
apa itu bahagia kau akan lupa merasakannya. Jalani saja, nikmati.
Bahasa yang digunakan Kuntowijoyo
indah sekali. Boleh dikatakan bahwa banyak kalimat-kalimatnya yang indah dan puitis.
Novel ini menjadi bacaan wajib bagi seseorang yang suka dengan cerita tentang
pencarian makna kehidupan. Kuntowijoyo mengolah ide transendensinya dalam
bentuk karya sastra yang mudah dilahap. Mirip dengan Kumpulan Puisi beliau
Makrifat Daun, Daun Makrifat dan Suluk Awung-awung. Mengangkan semangat yang
sama. Sastra profetik begitu ia menamakan. Sastra yang tidak hanya dunia imajiner,
tetapi lebiih dari itu : ibadah, tidak hanya memuliakan Tuhan tetapi juga
memuliakan manusia.
Kekurangan novel ini adalah
bentuk bukunya kurang saya sukai (subjektif sekali). Bentuk buku saku yang memanjang ke bawah
dan tata letak yang padat membuat mata saya lelah. Sampul buku ini mestinya bisa dibuat menarik agar kesan spiritualnya lebih mengena. Selain itu pada saat pertama membaca, saya kurang sreg karena agak terkesan datar.
Konfliknya tidak jedar-jedor seperti
novel cerita laga, tidak teriak-teriak, barangkali memang dibuat demikian. Peribahasa
air beriak tanda tak dalam sepertinya cocok dengan novel ini. Air yang tenang
menghanyutkan. Ide yang serius dibawakan dengan tempo lambat biar bisa
direnungkan dan dinikmati.
Secara umum tidak berlebihan jika
menyebut bahwa Khotbah di Atas Bukit adalah novel mahakarya yang wajib dibaca bagi penyuka novel sastra.
Mudah-mudahan menemukan sendiri pesan, citarasa, dan makna novel ini.
Selamat Membaca !
4 comments
Write commentsDijualkah?
Replymaaf mas Gandi Laksono, engga, cuma resensi aja
ReplySorang pelacur sarjana filsafat?
ReplyWow. I dont think so.