Filsafat Jodoh bagian kedua : Mendegar Keciap Burung dan Fungsi Waktu
Apa artinya bersambung ? apakah
sebuah kelanjutan kronologis atau hanya berkaitan? Entahlah. Yang jelas ini aku
anggap sebagai sambungan dari Filsafat Jodoh bagian pertama.
Bagian kedua
Filsafat Jodoh : Mendegar Keciap
Burung dan Fungsi Waktu
Sore menjelang malam itu. Aku
mengajukan satu pertanyaan kepada tiga pemikir ITB. Institut Tiang Bendera.
Dialah Okie, Haris, dan Choirul.
Menurut kalian apa itu jodoh?
Choirul : Gak Valid, Terlalu
Mengkuantifikasi
Dengan singkat dan sambil
memainkan mouse dan keyboard (dalam rangka mengurus DotA),
Choirul menjawab, “Gak Valid sih. Sesuai selera. Terlalu mengempiriskan
dan mengkuantifikasi”.
Okie : Fungsi Waktu
Lalu aku beralih ke Okie. Dia
menjawab bahwa jodoh itu adalah sesuatu yang dinamis dan bergerak. Disuatu saat
mungkin kita berjodoh dan bisa jadi di suatu masa lain tidak. Dia menganggap
jodoh itu sebagai sebuah kejadian atau kondisi yang dibentuk oleh diri dan
faktor-faktor di luar diri. Misalnya dia memberi contoh bahwa saya dengan dia
sekarang adalah jodoh. Sebab dibentuk oleh keinginan masuk teknik fisika itb
dan kemudian diterima. Kemudian ketertarikan akan filsafat membuat titik temu
dan itulah jodoh. Tetapi itu untuk saat ini. Belum tentu sepuluh atau dua puluh
tahun mendatang. Saat diri sendiri dan faktor di luar diri sudah membentuk
kesukaan lain bisa jadi kami tidak lagi berjodoh. Atau barangkali ketika kami
sudah mulai tergabung dalam partai yang berbeda bisa jadi lawan. Itu berarti
bukan tidak jodoh tetapi jodohnya sudah sampai disitu saja. Dan muncullah jodoh
baru bagi diri saya dan dia. Dia menambahkan dengan kasus yang lebih historis
yaitu kisah cinta seorang kawan misalnya. Andi dengan Ani. Andi suka Ani dan
Ani suka Andi mereka itu cocok. Namun karena sesuatu hal mereka memutuskan
untuk berpisah, putus, dengan alasan suatu sebab misalnya. Itu menurut Okie
adalah bukan berarti tidak jodoh tetapi jodohnya sampai di situ saja. Bahkan
ekstrimnya pasangan suami istri bisa dikatakan tidak jodoh bila suatu masa di
waktu depan sang suami mulai merasa tidak cocok dengan istrinya, akan tetapi
cocok dengan wanita lain. Dan perjodohan itu sampai disitu saja, dan bukan
berarti tidak jodoh. Dia, jodoh itu dinamis. Dalam masa waktu tertentu. Fungsi
waktu, Okie menyederhanakan.
Haris : Keciap Burung
Giliran Haris, matematikawan
kelas mimpi itu. Dia menjawab dengan panjang lebar dengan analogi yang romantis.
Keciap Burung.
Misalkan ada keciap burung saat ini di sini (markas tiben) tetapi hanya Haris
yang mendengar. Tidak aku, tidak Okie, maupun Choirul, ya, hanya Haris. Keciap burung yang ‘menyingkapkan’ dirinya
itu didengar oleh ‘telinga’ Haris. Dia lalu mencari dan mendapatkan keciap makin kuat dan jelas. Nah, saat keciap itu juga menemukan bahwa ada
ketersingkapan lain yang menemukan ketersingkapan dirinya dan mencari. Ia juga
melakukan hal serupa mencari dan menyingkapkan. Hingga bertemu dan itulah jodoh
dalam kerangka filsafat keciap Haris.
Menarik. Dia menjelaskan ketika
dia dahulu masuk tiben melalui keciap
burung yang dia dengar, sehingga kemudian semakin kesini (waktu) ia merasa
jodoh dengan tiben.
Lalu dia menganggap bahwa mencari
dan menemukan itu bentuk materialnya dalam pasangan adalah meluangkan waktu,
menyentuh atau membelai atau melayani ketersingkapan oleh adanya jodoh itu.
Ketika kutanyakan pertanyaan
lanjutan bagaimana dengan kaitan dengan laki-laki yang baik untuk perempuan
yang baik ? Dengan khusyuk Haris menjawab. Masalah itu adalah masalah ‘telinga’
itu. Kita mencari dan mendengar keciap
itu selaras dan seumpama dengan ‘mengasah’ ‘telinga’juga. Yang kita lakukan
dalam keseharian itu adalah ‘mengasah’ ‘telinga’ sendiri seraya membentuk
frekuensi keciap. Apa yang kita
perbuat yang kita kerjakan menjadi ‘telinga’. ‘Telinga’ itu juga hanya akan mendengar frekuensi keciap yang prosesnya juga mirip dengan
yang kita kerjakan. Artinya mendukung pernyataan ayat suci ini. Namun mengenai
masalah kelanggengan, Haris berkomentar saat usaha ‘mencari dan mendengarkan’
ini terkikis atau berhenti, maka kelanggengan jodoh bisa hilang.
Selanjutnya aku mengadakan studi
kasus. Misalkan ada seorang pemuda bernama Ahmad, dia adalah seorang Santri
pesantren, Hafidz Qur’an, lalu lulus dan melanjutkan studi di Al-Azhar Mesir.
Mungkinkah dia berjodoh dengan seorang artis Luna? Haris menjawab tenang. Bisa.
Asal Luna ini menampakkan ketersingkapannya dengan palsu. Ia membentuk kerja
yang menimbulkan frekuensi keciap
yang bisa di dengar oleh ‘telinga’ Ahmad. Dan Ahmad mendengar serta mencari.
Nah frekuensi keciap Luna ini bisa
dirasakan akhirnya oleh Ahmad. Akan tetapi frekuensi keciap Ahmad tentu saja tidak bisa di dengar oleh Luna. Sehingga
hubungan atau kelanggengan relasi mereka berpotensi singkat.
Saat kuajukan lagi pertanyaan
jodoh itu ditangan Tuhan, Haris mulai bingung(apa gegara dia tidak punya
ini?Tuhan.). Dengan demikian berarti bahwa jodoh itu sudah final. Sudah ada
nama di atas sana. Haris bungkam. Ia juga mulai berpikir, dan berkomentar. Itu
bukan sesuatu yang terlalu penting. Apa sikap kita terhadap keciap bisa kita tentukan sendiri.
Mencari atau mengabaikan. Kita tidak akan tahu bahwa si ‘ada yang berkeciap’
yang kita hampiri itu adalah jodoh atau bukan. Yang bisa kita lakukan adalah
memilih dan menentukan sikap. Mendengarkan dan mencari atau mengabaikan dan
mulai mendengarkan keciap lain.
Kalau jodoh tak akan kemana.
Itulah statement kedua saya kepada
Haris. Ia berkomentar sama, “ya sikap kita lah yang menentukan. Apakah dengan
statement itu kita pasrah dan mengabaikan semua keciap dan mengasah telinga untuk yang lain atau bagaimana.”
Kembali kepada Okie, dia
berkomentar lagi bahwa jodoh tetap hal yang berubah, mengikuti entah itu waktu
atau diri kita sendiri yang mengubahnya. Yang jelas jodoh itu adalah kecocokan
pada suatu waktu tertentu. Dan bisa berkaitan dengan jodoh sebelumnya. Misal :
Andi yang putus dengan Ani tadi mengubah sikap Andi yang awalnya terbuka dan
ramah menjadi dingin dan pendiam. Justru dengan karakter baru ini lah Andi
menemukan jodoh barunya misal Rina yang merasakan Andi adalah jodoh sesuai dan
cocok baginya (dingin dan pendiam).
Senartogok : Tidak Ada
Kemudian di tengah pergumulan
tidak jelas tersebut melintaslah Mahaguru Senartogok. Aku bertanya, “Jadi
mahaguru, jodoh itu apa, siapa dan bagaimana sih?”. Seenaknya dia bilang jodoh
itu gak ada. Aku makin bingung.
Bagaimana tidak ada? Kenapa? Mesti dijelaskan dan disusun kerangkanya mengapa
sampai pada kesimpulan jodoh tidak ada? Singkat dia jawab. Cuma menambah
variabel saja. Aku langsung mafhum, dia memberikan waktu dan ruang buat kami
untuk mendiskusikan lebih lanjut dan mengkritik ketidakadaaan jodoh menurut
beliau.
Aku kemudian menghadirkan lagi
dua sosok yang aku banyak menemukan kutipan tentang jodoh pada keduanya yaitu
Tere Liye dan Felix Siauw. “Menurut mereka adalah begini Ris, jodoh itu tidak
perlu dinikmati keciap-nya itu, tetapi
cukup memantaskan diri. Dengan belajar yang tekun, sekolah yang baik, bekerja.
Nah aku melontarkan pernyataan yang butuh konfirmasi oleh Haris. Apakah bentuk
ini juga sama dengan ‘bekerja mengasah telinga’ sehingga mampu menangkap keciap-keciap ini? Cuma mereka membatasi
metodologinya saja. Tidak boleh berpacaran dan bermesraan. Haris membenarkan.
Mungkin demikian, ini masalah konstruksi sosial tentang moral. Begitu
ungkapnya. Haris menekankan sekali lagi bahwa kita dapat menentukan sikap
terhadap keciap-keciap yang kita
dengar, baik itu dengan melarutkan diri dalam ketersingkapan keciap itu ataupun dengan mengabaikannya. Ya benar. Bedanya
dengan Tere Liye dan Felix Siauw mereka membatasi proses ‘mendengar’ itu. Mereka
melarang pacaran. Entahlah Haris. Sepertinya dia menyerahkan kepada para
pendengar keciap itu sendiri.
Jodoh yang dibatasi oleh Haris
dan Okie adalah sangat umum. Tidak cuma menyangkut soal relasi hubungan manusia
dengan lawan jenis, tetapi manusia juga dengan apa kecintaanya, baik sepakbola,
hobi , penelitian atau bidang ilmu pengetahuan.
Namun bisa diterapkan pada relasi
itu (pasangan hidup). Sebab ketika saya menguji dengan beberapa kasus pertanyaan,
dia cukup kokoh. Ujung-ujungnya saya terpaksa mengutip Kierkegaard untuk
semakin menguatkan kerangka filsafat keciap
Haris.
Hakikat jodoh atau bukan itu
bukan hal yang utama dan pertama, yang menjadi fokus adalah relasi kita dengan keciap-keciap itu adalah sikap atau tindakan yang sepenuhnya kita pilih
dan bangun. Kita tidak pernah tahu itu jodoh atau bukan tetapi kita cerap keciap-keciap itu sebagai apa?
Bersambung ke bagian tiga