[Resensi Buku] Kering (1972)
Resensi Buku Novel Kering
Hidup Mesti Terus Meski Misterius
Judul :
Kering
Penulis :
Iwan Simatupang
Penerbit :
CV HAJI MASAGUNG
Cetakan :
IV,1989
Tebal :
168hlm;21cm
Harga :
Rp150.000,00
Novel ini bercerita tentang
seorang mahasiswa berotak cemerlang, atas kehendaknya sendiri meninggalkan
bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan materi pendidikan yang
diterimanya. Pergi bertransmigrasi, juga atas kemauannya sendiri.
Kemarau yang sangat panjang
mendatangkan kesengsaraan bagi seluruh penduduk. Rumput-rumput merunduk layu,
satu persatu mata air kering. Satu demi satu enduduk meninggalkan desa
pemukiman yang hampir mati itu. Satu-satunya yang masih tinggal hanya Tokoh
kita. Tapi akhirnya ia kalah dengan musim dan terlempar ke kehidupan kota.
Sampai akhirnya Tokoh kita satu kali menerima harta warisan yang banyak dari
kematian teman dekatnya. Uang itu lalu ia gunakan untuk membangun satu kota
transmigrasi. (http://www.goodreads.com/book/show/3005671-kering)
Tokoh utama adalah tokoh kita
yang hidup menggelandang. Menjadi
manusia ubermensch. Tokoh kita adalah
awalnya mahasiswa. Setelah itu kemudian dia menjadi mantan mahasiswa karena
mengundurkan diri dari kampusnya. Ia ikut program transmigrasi. Ia memilih
hidup menggelandang dan tidak terikat dengan aturan-aturan formal hidup.
Dalam prinsipnya hidup jalan
terus, bekas mahasiswa yang cerdas itu tidak lagi memedulikan eksistensinya.
Bahkan dia lupa eksistensi sosialnya. Namun demikian, ketika sahabatnya Si
Gemuk Pendek mati tertembak, tokoh kita tetap meneteskan air mata. Barangkali
Iwan menunjukkan bahwa segelandang-gelandang apapun manusia, nilai-nilai
universal tetap lekat dalam dirinya. Rasa riang dan sedih tetap lengket pada eksistensi
manusia. Tidak peduli apakah dia seorang kaya atau miskin.
Alur cerita Kering adalah sorot
balik (flashback). Beberapa kritikus
mengatakan bahwa di awal novel Iwan memadatkan ide-idenya dalam kalimat.
Sehingga di awal sudah mulai kelihatan konflik utama novel.
Keunikan tokoh dan penokohan :
tokoh tanpa nama, tanpa identitas. Yang ada hanyalah pekerjaannya. Iwan
menandai tokohnya dengan mahasiswa, mantan mahasiswa dll. Tokoh utama bisa
menjadi siapa saja yang dibayangkan oleh pembaca. Ia adalah perwujudan ide Iwan
yang menjalankan ide baru lagi. Tokoh utamanya bukan tokoh darah-daging, bukan
tokoh organis. Seperti saya bilang, dia tokoh ide, milik bersama dan kolektif.
Salah satu ciri inilah yang menjadikan novel Iwan Simatupang dinamakan sebagai novel baru.
Gaya bahasa dan diksi Iwan juga
khas. Kalimat-kalimatnya tidak muncul dengan gelas yang penuh. Dia tidak
mendoktrin. Dia menawarkan alternatif kemungkinan kepada pembaca. Dalam hal
pesan dia hanya menggambarkan alias menceritaka penderitaan tokoh utama dan
cara dia melewati dan menjalani itu. Beberapa kalimat terkesan berantakan dan
menggunakan ejaan yang tidak baku. Begitulah gaya bahasanya. Mungkin dengan
adanya sisipan filsafat dalam novel Kering menjadikannya bahasa yang kadang
mesti dibaca dua kali atau lebih.
Seperti biasa. Ciri novel Iwan
yang tidak memberi nama pada tokoh utama. Sebutan untuk beliau adalah tokoh
kita. Dalil manusia adalah proyek dirinya sepertinya dipegang teguh oleh Iwan.
Profesi menjadi penunjuk tokoh novel Iwan.
Carilah kebenaran. Jalani Hidup Mesti Terus Meski Misterius
Tokoh kita yang menggelandang
meninggalkan studinya di universitas untuk hal yang tidak masuk akal. Dia
transmigrasi. Ah absurd. Barangkali dia memang mempercayai bahwa dia ingin
kebenaran bukan kebahagiaan. Jika ingin kebahagiaan maka percayalah jika ingin
kebenaran maka carilah.
Sama dengan novel-novel beliau
sebelumnya, merahnya merah dan ziarah. Kelebihan dalam kebaruan novel dalam
kesusastraan Indonesia. Gaya yang dipengaruhi oleh eksistensialisme Perancis.
Tokoh kita yang selalu
menggelandang penuh dengan sepi, terhenyak, terlempar. Namun begitu ia tetap
meyakini sesuatu yang ia rasa itu adalah proses panjang perjalanannya mencari
makna hidup yang absurd. Ternyata memang benar novel ini mirip dengan Sampar
dan Orang Asing, tokoh-tokohnya terasing bagi dunia. Namun dengan kedekatan
budaya novel Iwan Simatupang lebih mengena dibanding novel Albert Camus
tersebut. Pasalnya dari kebiasaan adat perliaku saja sudah dekat dan lebih
dapat dipahami alur dan perasaan para tokohnya
Seperti novel Ziarah, saya
terkesan dengan bahasa novel Iwan, meskipun tipis, 160-an halaman tetapi tidak
justru menjadikan novel ini enteng. Akan
tetapi bila dibandingkan dengan novel filsafat Dunia Sophie, Kering lebih
segar. Kita tidak perlu bolak-balik kamus untuk mencari arti istilah-istilah
sebab di Kering tidak banyak istilah. Kalau novel Dunia Sophie seperti diktat
resume filsafat barat Kering adalah kisah hidup yang jauh lebih filsafat.
Pasalnya memotret langsung kehiduapn Tokoh Kita sendiri. Konfliknya meskipun
datar-loncat-datar-loncat membuat kita tetap harus fokus dalam
menyelesaikannya.
Keingintahuan saya apa sebenarnya
yang hendak disampaikan oleh Iwan. Apakah ia hanya sekadar menulis novel untuk
menciptakan gaya baru? Apakah Iwan menulis novel untuk membuktikan bahwa
karyanya tidaklah terlalu dipengaruhi kebudayaan barat. Buktinya tokoh-tokoh
yang ia gunakan bukanlah tokoh borjuis, melainkan gelandangan : Bekas
mahasiswa.
Ya manusia adalah proyek dirinya.
Makanya aku setuju manusia tidak perlu dinilai sebelum ia mati sebab proyek
belum selesai. Pada saat hidup manusia baru pantas diberi saran saja. Bolehlah
sedikit kritik. Selain itu identitas bukanlah sebuah kemanunggalan aku yang
dulu bukanlah yang sekarang. Begitu lirik lagu Tegar mantan pengamen yang
berubah menjadi penyanyi di industri musik itu. Jangan-jangan dia pernah
mempelajari eksistensialisme. Nah seperti kata Sartre untuk menjadi
eksistensialis orang tidak perlu menamatkan teori-teori tentang etre pour soi, etre en soi, faktisitas, mauvaise
foi, cukup dengan merasa malu, merasa canggung dihadapan orang lain, merasa
iri itu sudah menandakan bahwa anda adalah seorang eksistensialis.
Referensi : Skripsi Sarjana,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Filsafat Depok 2011,Tika
Sylvia Utami. Ketidaktunggalan Identitas dalam Novel Kering Iwan Simatupang,
Tinjauan Berdasarkan Eksistensialisme Jean Paul Sartre.
1 comments:
Write commentshmm... eksistensi
Reply