[Resensi Buku] Enigma Wajah Orang Lain (2015)
Resensi Buku Enigma Wajah Orang Lain
Eksistensialisme Religius
Judul :
Enigma Wajah Orang Lain(Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas)
Penulis :
Thomas Hidya Tjaya
Penerbit :
KPG
Cetakan :
I, Februari 2015
Tebal :vi+172hlm;13
cmx19 cm
Harga :
Pinjaman Dari Syaikh Fauzan Al Anwari
Romo Magnis mengatakan bahwa
Levinas berusaha berfilsafat dengan kosakata yang belum digunakan manusia, ia
berfilsafat tentang sesuatu yang sesungguhnya tak dapat dikatakan atau
dituliskan. Alhasil, Levinas berputar-putar menggunakan terminus yang
sesungguhnya tak memadai melainkan sekadar “mendekati”. Namun tukas Romo
Magnis, bila kita tekun mengikuti alur pemikirannya, kita akan segera
mengetahui maksud Levinas.(Wahyu Budi Nugroho) http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2014/05/mengeja-eksistensialisme-emmanuel.html)
Dalam buku Enigma Wajah Orang
Lain Levinas menjelaskan tentang kesadaran dan wajah. Beberapa tema dalam buku
ini berkaitan dengan relasi subjek objek. Seperti contoh yang dikemukakan oleh
Levianas bahwa manusia mengungkapkan dirinya berbeda pada saat ada wajah orang
lain atau tidak ada wajah orang lain. Wajah yang dimaksud disini bukanlah wajah
muka yang terdiri mata pipi hidung mata dan kening. Atau permukaan kepala
bagian depan. Akan tetapi wajah adalah kehadiran kesadaran orang lain. Manusia
akan merasa perlu menampakkan dirinya yang berbeda bila ada wajah orang lain.
Misalnya manusia bila sendiri dalam kamarnya ia bisa saja menari tidak karuan,
telanjang dan berekspresi semaunya. Namun bila ada kesadaran yang hadir disana
selain dia, maka dia akan menampakkan sesuatu yang berbeda. Yang bisa jadi
merupakan kehendak dari yang lain itu. Dia akan berusaha menampakkan atau
mewujudkannya.
Penggalan novel All Quiet
menjelaskan itu semua. Pada saat seorang tentara yang dalam “kepala”nya bila
nanti ada musuh yang berlari atau meloncat ke lobang persembunyiannya, ia akan
langsung menusuk musuhnya sampai mati. Agar ia tidak ketahuan dan menyelamatkan
dirinya. Apapun yang terjadi. Jadi kesadaran yang ia tahu tentang wajah
musuhnya mesti dia bunuh. Akan tetapi ketika si musuh benar-benar melompat
kesana dengan luka dimana-mana. Darah mengucur, wajah yang lainlah yang hadir
kepada si tentara kita tadi, dia tidak jadi membunuh. Dia malahan merasa iba.
Kehadiran orang lain itu menjadikan kesadarannya untuk membantu orang itu.
Kehadiran orang itu dengan kondisi realitasnya menimbulkan kasihan sehingga si
tentara membantunya. Dia merawat luka dan membalutnya.
Mirip dengan Hell is Others-nya Sartre, eksistensialisme Levinas ini menganggap
kesadaran lain membuat diri menampakkan sesuatu yang lain pula. Akan tetapi
Levinas tidak menafikan bahwa orang lain adalah sebab kejatuhan dirinya.
Levinas juga mengatakan bahwa
Wajah Manusia Sebagai Jejak tak Terbatas. Inilah yang membedakan humanimenya
dengan humanisme ateis Sartre. Sartre bilang Tuhan tidak ada , jadi manusia
bebas mutlak. Ia bebas memilih dan bertindak ketika berhadapan dengan dunia.
Sementara Humanisme Levinas adalah Humanisme religius. Wajah manusia sebagai
jejak yang tak terbatas. Manusia bertanggung jawab terhadap orang lain. Bukan
karena rasa simpatik yang tiba-tiba akan tetapi memang karena objektifikasi
manusia yang memang bertanggung jawab kepada orang lain (others). Inilah
hakikat humanisme Levinas. (beberapa ahli juga bilang bahwa Levinas ini
termasuk Eksistensialisme religius).
Ketika manusia tega saling
membunuh demi ideologi dan ajaran tertentu, Levinas berkomentar bahwa manusia
itu sudah kehilangan wajahnya.
Emanuel Levinas juga bicara
masalah etika. Etika pertama-tama bukan menyangkut teori mengenai baik buruknya tindakan tertentu. Bukan
juga boleh dan tidaknya hal yang dilakukan oleh manusia. Etika merupakan relasi
yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Ethichal yang Levinas maksud adalah ethics of stranger. Yaitu etika yang
membuat kita bersedia dipertanyakan, diusik, diganggu oleh orang-orang yang
tidak kita kenal, dan bahkan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap mereka.
Kalau etika yang didengungkan ternyata hanya untuk mengabdi kelompok yang telah
kita kenal dengan baik dan kepentingan tertentu pula, itu hanyalah etika semu
belaka. Orientasi semacam ini juga merupakan transendensi semu, karena pada
akhirnya kita sesungguhnya hanya mencari dan mengabdi kepentingan diri kita
sendiri. Itulah tanda bahwa kita telah dikelabui moralitas.
-Kekejaman NAZI terhadap orang Yahudi. Korban sekitar 6 juta
orang
-Pembantaian 2 juta orang di Kamboja oleh rezim Khmer Merah
1975-1979
-Kejahatan Genosida di Rwanda 1994. Pembantaian 800ribu suku
Tutsi oleh pihak Hutu
-Tragedi G30S /PKI 1965 diperkirakan jumlah korban 2 juta
orang
-Tragedi Tanjung Priok 1984
-Tragedi Mei 1998
Bagi yang mengamati dari luar,
efeknya mungkin tidak terlalu tragis. Namun bagi keluarga atau orang-orangyang
mengenal korban secara dekat, peristiwa-peristiwa jenis ini ibarat mimpi buruk
yang tidak pernah berakhir.
Bagi Emmanuel Levinas (1906-1995)
filsuf Perancis yang kehilangan hampir semua anggota keluarganya di tangan
NAZI, ingatan tentang Holocaust dan Shoah bagai tumor tak tersembuhkan.
Waktu boleh berlalu, namun ingatan akan hal itu selalu menimbulkan kepedihan
dan vertigoyan gsama parahnya. Waktu tidak selalu berdaya menyembuhkan, apalagi
untuk peristiwa semacam ini.
Mengapa manusia lain dapat
dipandang begitu rendah dan dianggap ‘lain’ (other) begitu saja? Apakah dasar keberlainan (otherness) ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang antara
lain berkecamuk dalam diri Levinas. Keluarga dan orang-orang dekat dengan
korban tentunya akan mengajukan pertanyaan yang serupa.
Levinas mempelajari fenomenologi.
Fenomenologi membantu kita mendalami berbagai fenomena dalam kehidupan sehari
hari memahami bagaimana kita berinteraksi dengan fenomena tersebut, serta
menyadari bagaiman fenomena tersebut mempengaruhi cara kita berpikir dan
bertindak entah kita sadari ataupun tidak. Levinas menempatkan dirinya sebagai
orang pertama (Aku dan The I) yang berhadapan dengan berbagai macam hal atau
fenomena di depannya meja, kursi, rumah, pohon, manusia, pasar, sekolah dan sebagainya.
Dalam perjalanan hidup sehari-hari kita biasanya menempatkan diri sebagai
aku-aku yang berteman dan berhadapan dengan berbagai macam orang, benda dan
peristiwa dalam hidup. Dalam hal ini semua yang ada di sekeliling kita (yang
didalam filsafat disebut sebagai pengada-pengada atau beings) bersifat lain
(others) daripada diri kita karena semuanya bukanlah bagian dari diri kita.
Karena itu, secara umum semua hal atau pengada yang di luar orang yang
mengamatinya dapat disebut sebagai yang lain(other).
Meskipun ada berbagai fenomena di
luar dirinya, Levinas menyadari bahwa kita tidak memperlakukan semua fenomena
itu dengan cara yang sama. Misalnya kita jarang memperhatikan kursi dan meja
kita dengan seksama. Kecuali kursi atau meja tersebut mengalami kerusakan.
Cara berinteraksi kita dengan
orang-orang pada dasarnya tergantung pada cara pandang kita terhdadap mereka
dan pada apa yang kita perlukan.
Wajah : Keseluruhan cara orang
lain memperlihatkan dirinya pada kita (the
face atau le visage).
Wajah manusia bukanlah sekadar
fenomen, melainkan sebuah enigma. Sebuah fenomen, seperti batu, rumah, pohon,
pasar, atau kota, merupakan bagian dari tatanan realitas yang dapat dijadikan
sebagai objek pengetahuan secara keseluruhan sedangkan enigma memuat unsur-unsur
yang melampaui sejak usaha obyektivasi dan penangakapan akal budi kita. Wajah
orang lain tidak dapat begitu saja ditangkap seperti objek pengetahuan manusia
lainnya.
Orang tidak sama dengan meja,
kursi, dan pohon. Kita cenderung bertindak bebas meski ada pohon atau meja.
Tetapi bila ada orang lain, kita respons dengan mungkin memperbaiki posisi
duduk, merapikan rambut, mengecek resleting, memasang senyum atau
memperlihatkan sikap yang berkenan.
Kita bisa mengabaikan kaki meja
yang patah namun tidak untuk orang lain yang kakinya patah dan butuh bantuan
dan pertolongan.
Dalam memandang dan memperlakukan
orang lain kita sudah lebih sering menggunakan kategori-kategori pemikiran yang
sudah kita miliki (praanggap) : bahwa mereka berasal dari suku bangsa ini, menganut
agama itu, memiliki sifat-sifat demikian, dsb. Akibatnya kita tertutup terhadap
apa yang dapat dan mungkin tersingkap dari kehadiran orang lain tersebut.
Kelekatan kita pada gagasan yang kita miliki mengenai orang lain seringkali
membuat kita gagal memperlakukan mereka sebagai manusia.
BAB I Riwayat hidup Levinas,
Latar belakang filsafatnya dan orientasi pemikirannya
BAB II Etika. Sebagai relasi yang
lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain. Relasi etis terjadi ketika saya
merasa terusik oleh kehadiran orang lain ketika kenyamanan dan kebebasan saya
dipertimbangkan oleh orang lain ketik kenikmatan hidup saya diinterupsi
olehnya.
BAB III Penggalan novel All Quiet
on the Western Front karya Erich Maria
Remarque
BAB IV Subjektifitas Manusia
BAB V Signifikasi Wajah Orang
Lain sebagai Yang Tak Terbatas (The Infinite)
“Wajah tidak hanya mengusik saya akan tetapi mengajarkan
sesuatu yaitu meningkatkan tanggung jawab”.
Itulah kira-kira sekilas gambaran
tentang buku Enigma Wajah Orang Lain ini. Buku ini bagus untuk pemula yang
ingin mendalami filsafat eksistensialisme. Bahasanya ringan dan mudah dipahami. Selain itu
penggunaan kutipan novel sebagai medium memudahkan untuk memahami enigma
Emmanuel Levinas. Sekian