[Resensi Novel] Ziarah (1969)
Hidup sajalah jangan banyak Cingcong
Judul :
Ziarah
Penulis :
Iwan Simatupang
Penerbit :
Djambatan
Cetakan :
VI, 1997
Tebal :
142 hlm;21cm
Harga :
Rp150.000,00
“Tentang Ziarah
saudara, saya merasa kagum dan menganggap perlu menerbitkan segera...(Surat H.B
Jassin pada Iwan Simatupang, (26/6/1963)”...karena akan membuka halaman baru
pula dalam kesusasteraan Indonesia seperti halnya tempo hari dengan puisi
Chairil Anwar.” (Surat H.B Jassin pada Iwan Simatupang 16/7/1963)
“Suatu novel sangat
interesan dengan tema yang pada dasarnya sangat sederhana sekali, tetapi
memerlukan pengetahuan psikologis dan intelek untuk dapat mengungkapkannya.
Novel ini dapat dinakaman parodi atau satire.” (Gajus Siagian, 1963)
Di Kotapraja, seorang pelukis
terkenal di seluruh negeri terkapar trauma. Ia ditinggal mati istrinya yang
sangat ia cintai. Istrinya itu adalah dia yang dikawininya secara tiba-tiba.
Suatu hari disaat Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya
yang memikat semua orang dijagat bumi ini. (Beberapa kritikus seni bilang bahwa
dia adalah Nabi Seni Lukis masa depan) yang mengakibatkan ia memiliki banyak
uang dan membuatnya bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat
bunuh diri dengan meloncat dari lantai hotel. Ketika terjun, dia menimpa
seorang gadis cantik. Tanpa diduga pula sang pelukis langsung melakukan
hubungan badan dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang
histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan
sipil dan mengawinkan mereka.
Pelukis merasa benar-benar
kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung
pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada
tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak
tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada
istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat
penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi
walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan
masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut
menghadiri penguburan Istri pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha
penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya
mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak
kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata
adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang
suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru
membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan
sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut
kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia
bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan.
Ziarah tanpa melihat makam istrinya.
Setelah itu hidup pelukis semakin
tak jelas arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi
harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana
dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan
nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya
datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja
yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan
esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam
berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah
dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis
sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan
opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu,
Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi.
Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan
memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada
selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari pelukis
mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam
berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata
pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan
bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan
opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada
itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi
hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter
berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter
yang kemudian menceritakan riwayat opseter.
Pada akhirnya pelukis pergi ke
balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus
berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.
Sinopsis diambil dari http://milicarosemary.blogspot.com/2012/09/analisis-transformasi-kehidupan-pelukis.html
dengan sedikit perubahan.
Salah satu khasnya novel Iwan
adalah tokohnya yang tidak bernama. Saya jadi ingat Tuhan, nama seseorang asal jawa
itu. Foto KTP-nya beredar di internet. MUI turun tangan dengan menyarankan
belaiau mengganti nama. Lalu muncul Syaithon di Palembang. Nah kalau Novel
Ziarah Iwan nama tokohnya adalah tokoh kita, bekas pelukis, walikota, opseter
pekuburan. Yang ada hanya profesinya. Mungkin ini ada hubungannya dengan
Manusia adalah Proyek dirinya. Kata Sarte demikian. Manusia selalu berubah-ubah
tergantung kepada apa yang ia kerjakan dan ia perbuat. Tidak ada pelabelan
khusus pada tokoh-tokoh novel ini.
Iwan mengakui bahwa novelnya merupakan terapan Noveau Roman yang kelewat berani. Noveau roman sebuah bentuk sastra yag
tumbuh dalam sastra prancis mutakhir dengan Allain Robbee-Gillet sebagai
tokohnya.
Iwan menamakan novelnya dengan
“novel esai” novel masa depan, novel tanpa pahlawan, tanpa tema, tanpa moral.
(Dami N. Toda; Novel Baru Iwan Simatupang)
Penderitaan, kesunyian,
kekosongan,kesepian dan kegelisahan akan pencarian makna hidup. Setelah manusia
mengalami keterlemparan ia dihadapkan dengan sunyi, sepi, dan senyap. Akan
tetapi dengan ruh kebebasan yang disematkan kepada manusia dia bisa memilih.
Manusia dikutuk untuk bebas. Ia lahir membawa kebebasan itu. Dan setelah
keterlemparan menemui kesunyian ia bertemu manusia yang juga membawa kesadaran.
Disalah manusia harus sadar bahwa ada kesadaran lain pada orang lain.
Jalanilah hidupmu.
Berperanglah dengan absurdnya hidup, memberontaklah kepada segala bentuk
pengekangan. Gunakan kebebasan yang terbatas oleh kematian.
Iwan jago mengawinkan filsafat
dengan novel. Kehidupan yang serba absurd ia potret dan kemasi ke cerita
perwakilan tokohnya. Yang sebenarnya tokohnya itu adalah bisa siapa saja.
Novelnya tidak biasa. Alur yang sorot-balik (Flashback) tetapi tidak membosankan. Memang butuh kesabaran untuk
membaca novel Ziarah. Selain itu butuh pengetahuan juga untuk mencernanya.
Meski demikian novel ini tidak berat dengan penuh istilah asing. Ia memaparkan
kisah sang pelukis saja. Jadi ya intinya kenikmatan novel ini berbanding lurus
dengan kesiapan kita untuk memaknainya.
Ziarah adalah novel yang
anti-plot dan anti-karakter. Membahas tema kematian, pemberontakan dan
kesadaran sosial. Tokoh yang terpencil, kesepian, dilanda tragedi, cenderung
murung. Tokoh kita mengisyaratkan kepemilikan kolektif milik bersama.
Terhenyak dari semua ikatan
kemasyarakatan, terlepas dari semua ikatan dan konvensi, semua kapal di
belakangnya sudah terbakar. Manusia gelandangan pada hemat Iwan memiliki posisi
dan status “manusia terbuka” mengunjuk segala penjuru, “fatum” mereka tidak
kenal determinisme-determinisme. Makhluk dengan “kemungkinan pilihan”tak
terbatas. (Dami N.Toda)
Penulis yang sedang menggemari
eksistensialisme menemukan kesegaran baru dalam novel Ziarah. Seluruh bagian
novel membuat penulis terkesan. Baru membacanya dua kali saat menulis resensi
ini. Dalam proses itu, terus penulis menemukan hal baru dalam pengulangan
membaca tersebut.
Pada saat pertama baca, banyak hal yang penulis belum paham.
Belum maqomnya mungkin ya. Lalu baca lagi baru sedikit-sedikit mengerti.
Manusia mesti melawan
penderitaan. Mesti melawan absurdnya dunia
Manusia seakan-akan serba salah,
terkapar di tengah kemungkinan-kemungkinan ganda, di tengah kemungkinan “ada
pilihan” dan “tidak ada pilihan” di “tengah panggilan untuk hidup bahagia” dan
sekaligus juga “panggilan untuk hidup susah derita dan kematian”. Suatu
kejamakan “naussea” (Sartre) ataupun “absurd”(Camus) yang menimbulkan istilah
“persekongkolan(perkomplotan) yang parah” (la complicite fatale) dari Allain
Robbe-Grillet (1963:70). Kesan tragis lebih dalam lagi oleh adanya kenyataan
bahwa setelah diberi “akal” (ratio), ternyata manusia tidak dapat andalkan
kemampuan(ilmu) akal budi tersebut untuk menyelamatkan diri.
Dalam Ziarah, kegelandangan fisik
itu dibela atau diargumentasi oleh peristiwa anti rasionalisme dari kasus
“mati”. Ketakpahaman dari kasus tersebut membenarkan moralitas tokoh
kita(protagonis Ziarah) hidup dalam pilihan tembok pekuburan, indiferen
terhadap status dan harta benda dunia yang berbising sementara di luarnya. Akal
sehat (rasio) dinegasikan dengan kasus ketakpahaman yang menyata dalam hidup
manusia. (Dami N. Toda)
Biografi Singkat
Pengarang (diambil dari buku Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air)
Iwan Simatupang dilahirkan di
Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970,
berpendidikan HBS Medan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlanggadi Surabaya
(1953, tidak tamat) dan tahun 1954-1958 memperdalam pengetahuan di Eropa
(antropologi di Univeristas Leiden, drama di Amsterdam, dan filsafat di
Universitas Sorbonne, Paris). Pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP di Sumatera
Utara (1949), guru SMA Jalan Wijayakusumah di Surabaya (1950-1953), redaktur
majalah Siasat(1954-1959), redaktur
majalah Gajah Mada (1956-1959),
redaktur harian Gotong Royong(1967-1970).
Esainya,
“Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”, memperoleh Hadiah Kedua majalah
Sastra tahun 1963; novelnya Koong (1975), mendapat hadiah dari Yayasan Buku
Utama Departemen P&K tahun 1975; dan tahun 1977 Iwan Simatupang memperoleh
hadiah Sastra ASEAN. Karyanya yang lain : Buah
Delima dan Bulan Bujur Sangkar (drama, 1960), RT Nol/RW Nol (drama, 1960), Petang
di Taman (drama, 1966), Cactus dan
Kemerdekaan (drama, 1969). Drama Iwan Simatupang ini dijadikan satu
kumpulan dan diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul, Square Moon and Three Other Short Play(dengan kata
pengantar oleh Frans M. Parera, 1997), Merahnya
Merah(novel, 1968), Ziarah (novel, 1969; diingriskan Harry Aveling dengan
judul The Pilgrim, 1975), Kering
(novel, 1972;diinggriskan Harry Aveling dengan judul Drought, 1978), Tegak Lurus dengan Langit (kumpulan
cerpen, 1982; diedit oleh Dami N. Toda), Surat-surat
Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1968; diedit dan diberi pengantar oleh
Frans M. Parera), Ziarah Malam: Sajak-sajak
1952-1967 (kumpulan sajak, 1993; diedit oleh Oyon Sofyan dan S.
Sjamsoerizalz Dar). Selain itu, tiga buah esainya dimuat dalam Satyagraha
Hoerip, editor, Sejumlah Masalah Sastra
(kritik dan esai, 1982).
Studi mengenai
karya Iwan Simatupang diantaranya : Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang, Jakarta, 1980, Faruk HT, Merahnya Merah Iwan Simatupang: Sebuah
Tinjauan Secara Strukturalisme-genetik, Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981, V.M. Nilawati Hadisantosa,
Absurdity and Revolt in Albert Camus’s
The Stranger and Iwan Simatupang’s Ziarah, Skripsi Sarjana, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1982, Korrie Layun Rampan, editor, Iwan
Simatupang, Pembaharu Sastra Indonesia, Jakarta 1985, J.Prapta
Diharja, Gaya Iwan Simatupang dalam
Ziarah. Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra UI, Jakarta 1985, Okke K.S.
Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya
Iwan Simatupang, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990, dan Kurnia JR, Inspirasi ? Nonsen ! Novel-novel Iwan
Simatupang, Magelang, 1998.
Iwan Simatupang
dianggap sebagai tokoh “Angkatan 70” di bidang prosa.