[Resensi Buku] Antologi Puisi Tepi Waktu Tepi Salju Soni Farid Maulana
Resensi Buku Antologi Puisi Tepi
Waktu Tepi Salju
Judul : Tepi Waktu Tepis Salju
Penulis : Soni Farid Maulana
Penerbit : Kelir
Cetakan : I, Februari 2004
Tebal : x+100 hlm
Harga : Rp
Tepi waktu tepi salju merupakan
variasi tema antologi puisi cinta, kesepian, kesunyian, dan juga persoalan
sosial-politik yang diseleksi dan dihimpun dari sejumlah antologi puisi Soni
yang telah terbit selama ini.
Soni Farid Maulana lahir di
Tasikmalaya pada 19 Februari 1962 dari pasangan R. Sarah Solihati dan Yuyu
Sulaeman. Setamatnya SMA Pancasila-Tasikmalaya (1982) melanjutkan kuliah di
Jurusan Teater ASTI (STSI) Bandung.
Sejumlah puisi yang ditulisnya
dalam bahasa Indonesia telah membawanya pergi ke beberapa negara di Asia
Tenggara dan Eropa. Antara lain diundang mengikuti South East Asian Writers Conference di Quezon City Filipina, dan Festival de Winternachten di Den Haag,
Belanda (1999). Yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi di KBRI di Paris,
Perancis. Selain itu pada tahun 2002 mengikuti pula forum puisi Internasional
Indonesia di Bandung, yang diprakarsai oleh Rendra.
Sajak-sajaknya yang ditulis dalam
bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dipublikasikan di “Lembaran Pertemuan
Kecil” asuhan penyair Saini KM di Harian Pikiran Rakyat. Setelah itu kemudian
tersebar di majalah Sastra Horison, Cak, Republika, Media Indonesia, Kompas, Jurnal Puisi, Koran Tempo, dll. Puisi-puisinya sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa. Berthold Damshausser ke bahasa Jerman, A Teeuw
dan Linda Voute ke Bahasa Belanda dan Ian Campbell dan Harry Aveling ke Bahasa
Inggris.
Adapun kumpulan puisinya yang
telah terbit adalah : Selepas Kata (Pustaka Latifah, 2004); Variasi Parijs van
Java (Kiblat Buku Utama, 2004).
Pada buku tepi waktu tepi salju
ini dipilih puisi 1983-2004. Testimoni dari Rendra dan Dr. Bambang Sugiharto
dan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri turut menyertai antologi ini.
Rendra
Pendalaman Soni terhadap
pengalaman pribadinya sendiri, membuat sajak-sajaknya menarik untuk
direnungkan. Sejumlah karyanya menunjukkan penguasaan metafora dan plastisitas
bahasa, serta temanya menunjukkan kesetiaan dan kesadaran akan kehidupan.
Sajak-sajak yang ditulisnya pun terus berkembang, menunjukkan kemajuan.
Dr. Bambang Sugiharto
Pilihan diksi Soni memang tidak
aneh-aneh, bahkan biasa saja. Namun cara ia memadukan dalam sebuah
kalimat-kendati struktur dan sintaksisnya biasa saja-seringkali membawa efek
imajinatif dan konseptual yang tidak biasa, bahkan sering mengejutkan. Saya
kira itulah kekuatan Soni : kesahajaan yang menggigit, mengejutkan, dan
kelembutan yang menyingkap bahkan membongkar.
Berikut ini puisi yang saya sukai
diantara beberapa yang dimuat dalam antologi Tepi Waktu Tepi Salju
Angin Kaliurang
aku terpejam dalam pelukan
malammu
biar dalam biar likat kau gali
sumur rindu
dalam gelap aku mengenal sinar
matamu
lebih menggetarkan dari bulan diatas kuburan *)
angin yang turun dari tetangkai
cemara
mendesir, memainkan helai demi
helai rambutmu
arsiran tanganmu yang hangat dan
lembut
mendenyutkan alir darahku yang
nyaris beku
di kulkas kesepian. Kau tahu,
setiap kecup
bibir mawarmu di tiap lekuk
tubuhku mengisah
puncak tercapai : merekah gairah
semekar mawar
di arus nafasku : bikin ajal cemburu menatapmu
malam di sini mengurai makna
taman kau dan aku dalam hakikat
cinta
1996
*)dalam puisinya Malam Lebaran
penyair Sitor Situmorang menulis larik
bulan di atas kuburan
Sonet ini, mungkin terlalu
berlebihan, tetapi harus jujur mengingatkanku kepada Sapardi, Acep Zamzam, Joko
Pinurbo dan Rendra. Angin yang turun memainkan helai rambut adalah cita rasa
yang selezat Acep Zamzam. Arsiran tanganmu yang hangat dan lembut potongan
metafora yang sedahsyat Sapardi. Dalam gelap aku mengenal sinar matamu lebih
menggetarkan serasa sedalam Sapardi dan Rendra. Puisi ini menggunakan komposisi
yang pas menurutku. Baik rima dalam dan rima luar tertata rapi. Di kulkas
kesepian, aku langsung teringat kepada Joko Pinurbo. Memang Soni Farid Maulana
boleh dikata adalah penyair yang sedang berkembang. Ia mulai menemukan dirinya
sendiri. Dengan tidak berlebihan dan lebay dia memuisikan angin kaliurang
dengan indah dan bertaut logis larik demi larik. Dan saat ia menggunakan bulan
di atas kuburan, tidak malu-malu Soni menambahkan catatan-catatan pada
puisinya.
Surat
bersurat-suratan dengan angin
dengan kediaman batu-batu yang
sunyi. Beribu kamus
tak menulis apa makna kehadiran
kita ?
ada atau pun meniada
tetap saja rahasia. Kekal.
Membenam kita dalam tanya
1983
Dalam puisi surat. Apa artinya
bersurat-suratan dengan angin dengan kediaman batu-batu yang sunyi. Beribu
kamus tak menulis apa makna kehadiran kita ? ada atau pun meniada tetap saja
rahasia. Kekal. Membenam kita dalam tanya. Apakah ini ejawantahan kesepian yang
begitu padat? Tentang seorang kekasih yang mencari makna dan arti keberduaan
yang senantiasa rahasia dan selalu menimbulkan tanya. Dengan kembali bersuratan
dengan angin di kediaman batu-batu yang sunyi, Soni bertanya.
Tepi Waktu Tepi Salju
sesenyap batu
di dasar kali yang beku
maut membayang
di hatiku. “ Hangatkan
tubuhmu dengan segentong
anggur,” katanya, sebelum
jam kehilangan bunyi
di tepi waktu, di
tepi salju
1999
Puisi ini
menjadi judul antologi. Ini semacam kontemplasi mendalam atas diri. Atas
kematian yang sebelumnya kita wajib hidup. Mungkin mati adalah bekunya
eksistensi. (disinggung dengan adanya salju). Akan tetapi sebelum itu hangatkan
dirimu. Teruskan proyeksi diri dengan menjadi cair, cairkan eksistensi dengan
hangat dari segentong anggur. Yang memabukkan dan menghangatkan. Sebelum jam
kehilangan bunyi karena eksistensinya beku.
Antologi puisi
Soni Farid Maulana ini menjadi pilihan bacaan puisi-puisi cinta, kesepian,
kerinduan dan kesunyian. Selamat merasa !