[Resensi Buku] Eksistensi Manusia
Resensi Buku Eksistensi Manusia
Judul :
Eksistensi Manusia : Perspektif Tasawuf dan Filsafat Mengatasi Problema
Eksistensial Manusia Jalaluddin Rumi
sampai Fillosof Kontemporer (Judul Asli : Existensialism in the Islamic and
Western Educational Philosophies)
Penulis : Prof. Dr.
Bayraktar Bayrakli
Penerbit : Perenial Press
Cetakan : I,September 2000
Tebal : 144hlm
Harga :
Diperlukan jalan berliku untuk
memecahkan masalah-masalah eksistensial manusia. Jika tak terpecahkan maka kan
timbul “penderitaan dan penyakit eksistensial,” seperti hidup tak bermakna,
terasing, hampa, frustrasi hidup yang tercekam rasa takut. Akhirnya hidup kita
tidak menemukan apa-apa kecuali kehancuran.
Ini bukanlah
permasalahan-permasalahan obyektif rasional. Anda tidak usah minta jawaban
kepada siapapun , kecuali kepada para “Sufi dan filosof”. Buku ini menawarkan
jawaban tuntas untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dalam perspektif
tasawuf dan filsafat. Keduanya saling mengisi, untuk menunjukkan jalan yang
“terang benderang”. Jalan mendaki lagi sulit dan penuh tantangan bagi manusia,
menuju kesadaran makrifat dan hakekat.
Eksistensialisme, yakni suatu
filsafat tentang krisis, lebih dekat dengan konsep khusus daripada konsep umum.
Ia bekerja keras untuk menemukan makna eksistensi kita dan memperlihatkan suatu
gaya hidup. Ini suatu masalah berkenaan dengan filosof Muslim dan Barat secara
konsensus.
Pendekatan filosof barat,
khususnya Sartre, berawal sebagai reaksi terhadap positivisme, materialisme dan
perlawanan terhadap pragmatisme. Ia berlawanan dengan rasionalisme dan
idealisme, karena menempatkan kehidupan melawan intelek. Menurut Sartre,
pikiran tidak dapat memecahkan misteri dan problem-problem kehidupan. Sedangkan
filosof Muslim memaparkan intelek sebagai kekuatan yang memiliki kapasitas
memecahkan misteri dan struktur kompleks kehidupan. Karena itu, dua macam
filosof yang berbeda tersebut tidak berbagi dalam pandangan yang sama, tentang
hubungan antara kehidupan dan intelek.
Apa itu bebas? Jika Sartre
mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Dan jika manusia bebas artinya
tidak ada Tuhan dan jika ada tuhan manusia bebas. Filosof agama tentu memunculkan
pertanyaan yang harus Sartre jawab, siapa yang mengutuk itu? Tentu masih bisa
diperdebatkan dengan panjang. Apakah mesti tidak ada Tuhan manusia itu bebas?
Atau justru dengan adanya Tuhan manusia itu bebas. Kebebasan manusia ditentukan
fasanya menurut waktu. Boleh jadi bahwa dengan eksisnya Tuhan manusia itu
sebetulnya dipersilakan bebas, bahkan untuk tidak mempercayai pencipta. Namun
akhirnya Sartre yang tidak peduli apakah ada Tuhan atau tidak dan fokus kepada
manusia adalah proyek dirinya. Pernyataan itu menjadi hal yang tren dan banyak
diikuti oleh pemuda tahun 50an terutama di Perancis. Buku ini tidak terfokus
dalam membahas eksistensi Tuhan, lebih kepada tentang eksistensi manusia.
Manusia yang berada di dunia dengan cara berada yang khas dari benda lain.
Dalil Eksistensi mendahului esensi eksistensalisme Sartre diamini buku ini.
Pandangan tentang filosof muslim tentang adanya manusia dan keberadaannya juga
dibahas dalam buku ini.
Eksistensialisme ateis dan
eksistensialisme religius dipaparkan dengan gamblang di dalam buku ini.
Pandangan beberapa tokoh seperti Kierkegaard, Heidegger, Sartre, Gabriel
Marcel, Karl Jaspers, Rumi dan Ibn Sina dan Farabi turut mengambil peran dalam
mengklarifikasi nilai-nilai eksistensialisme.
Eksistensialisme religius
memasukkan Tuhan ke dalam relasi-relasi keberadaan manusia dengan yang lain.
Mereka percaya bahwa Tuhan akan menunjukkan diri-Nya sendiri kepada manusia
dalam suatu dimensi yang absolut dan universal. Inilah kepercayaan, yang
membuat kita membedakan keimanan eksistensialis dan eksistensialisme ateis.
Kehendak untuk menidak atau
menegasikan diri adalah bagian dari ciri-ciri manusiawi. Manusia telah berusaha
menemukan suatu solusi terhadap semua kebutuhan ini melalui sejarah, dan salah
satu solusi tersebut adalah Tuhan. Kepercayaan, yang mana di alam semesta ini
manusia tidak dapat digantikan dengan yang lain, adalah gagasan mendasar dalam
esensi agama-agama yang terorganisasi. Hubungan manusia dengan Tuhan yang
metafisika yang kita sebut “Yang Esa” adalah hubungan tentang penghambaan dan
kepatuhan. Eksistensialis religius mempertahankan bahwa kita akan menuju
keimanan hidup kita dalam eksistensi Tuhan.
Hal ini dapat kita simpulkan,
eksistensialis religius menempatkan nilai keyakinan sebagai jaminan kebebasan
dan tingkat tertinggi relasi manusia, sedangkan eksistensialisme ateis
mengganggap keyakinan kepada Tuhan menjadi biang kehancuran kebebasan.
Buku tipis ini merupakan salah
satu buku yang menghadirkan eksistensialisme dengan dua kutub yang berbeda.
Ateis dan Religius. Dengan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya menjadikan
buku ini penting dan seru untuk dibaca oleh para pecinta atau oleh orang yang
sekadar ingin tahu apa itu aliran eksistenisialisme dalam filsafat.
Dengan penerjemahan yang cukup
baik, buku ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Beberapa dalil kitab
suci Al-Quran bisa ditemui di dalam beberapa bagian buku ini. Penulis buku yang
seorang pakar filsafat islam, teologi dan filsafat barat tidak terlihat
kesulitan dalam menerangkan eksistensialisme versi ateisme dan religius.
Selain itu terdapat juga indeks
yang sangat membantu menemukan terminologi khusus.
Kekurangan buku ini adalah
bukunya susah didapat dan pembagian tema dan bab yang kurang terstruktur.
Berbeda dengan buku-buku filsafat serupa yang membahas pemikiran suatu tokoh.
Dijelaskan dengan gamblang kronologi dan urutannya. Namun didalam buku ini tidak
demikian. Pembagian babnya kurang rapi.
Secara umum buku ini menyajikan
pengetahuan-pengatahuan eksistensialisme yang pantas dan layak dibaca.