Filsafat Jodoh Bagian Ketiga
Sampailah kita pada bagian
ketiga
Filsafat Jodoh
Karena pernyataan menarik tentang
Wanita yang Baik untuk Lelaki yang baik pada kesempatan sebelumnya (bagian 2).
Kali ini kita akan mencoba
membahas firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 26.
Pemaparan ini diambil dari blog
Rizki Lesus
Yang Baik hanya untuk yang baik?
AnNur ayat 26
dari sini kebawah diambil dari blog berikut (alumni ITB) dengan sedikit perbaikan.
https://rizkilesus.wordpress.com/2010/05/02/yang-baik-hanya-untuk-yang-baik-annur-ayat-26/
اَÙ„ْخـَبِيـْثــاَتُ
Ù„ِÙ„ْØ®َبِÙŠْثـِÙŠْÙ†َ Ùˆَ اْلخَبِÙŠْØ«ُــوْÙ†َ Ù„ِÙ„ْØ®َبِÙŠْثاَتِ
Ùˆَ الطَّÙŠِّبَاتُ Ù„ِلطَّÙŠِّبِÙŠْÙ†َ Ùˆَ الطَّÙŠِّبُÙˆْÙ†َ Ù„ِلطَّÙŠِّبَاتِ.
“
Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki
yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang
baik untuk wanita yang baik. (QS. An-Nur : 26)
Beberapa waktu yang lalu saya
mendapatkan SMS tausiyah yang berisi ayat diatas yaitu surat An-Nur ayat 26.
Lalu ada seorang teman yang menanyakan, apakah benar isi ayat ini? Apakah mesti
“otomatis” wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik juga?
Bagaimana Seandainya dalam kehidupan nyata ada seorang pria yang baik dan dia
mendapatkan wanita yang tidak baik? Apakah ayat Al-Quran di atas salah?
Pertanyaan seperti itu sebenarnya
menjadi pertanyaan saya juga dari dulu dan saya mencoba memahami apa yang saya
pahami dari ayat tersebut.
Al-Qur’an sebagai Petunjuk
Umat Islam diseluruh dunia
meyakini bahwa Quran itu firman Allah. Artinya apa yang dikatakan Allah dalam
Quran dipastikan benar. Tuhan memberi tahu kepada kita bagaimana cara kita
mengenalnya dengan diutusnya nabi. Sebab akal manusia tidak akan sampai untuk
mengenal siapa Tuhannya. Oleh karena itu Tuhan memberi petunjuk. Petunjuk jalan
yang lurus agar dapat mengenalnya. Dalam memahami petunjuknya berupa
firman-Nya, terdapat keterbatasan diri kita, sehingga firman Tuhan yang sudah
pasti benar, bisa saja menjadi salah dengan pemahaman kita.
Karena apa yang dimaksud
baik-salah itu adalah menurut Tuhan. Standar baik-buruk itu tentu saja sudah ditentukan
oleh Tuhan. Bahkan kata baik-buruk itu ada karena adanya agama. Artinya apa?
Jika kita menilai sesuatu itu
baik-buruk tentu saja berdasarkan kepada ajaran agama. Karena tidak logis jika
kita menilai sesuatu itu baik/buruk hanya berdasarkan pemikiran sendiri, karena
premis baik atau tidak baik itu muncul dari adanya Tuhan. Tuhan yang menentukan
standar ini baik dan ini buruk. Sangat tidak rasional jika hanya menentukan
baik/buruk hanya menurut kita karena premis yang digunakan kita ketahui dari Tuhan,
sehingga dalam memahami ayat yang diturunkan Tuhan (Kauliah) atau ketetapan
yang terjadi di bumi secara logis dapat kita katakan bahwa Allah-lah yang
mengetahui sesuatu itu baik atau tidak.
”Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Berangkat dari pemahaman diatas,
tentu saja kita bertanya-tanya apakah yang dimaksud baik disini? Atau keji?
Apakah kita dapat menentukan sesuatu itu baik atau tidak baik? Kalau kita
cermati ayat di atas merupakan satu paket ayat yang bersambung, tidak hanya
putus pada kalimat “untuk wanita yang baik” tetapi masih berlanjut dengan
bahasan tuduhan, juga ampunan. Artinya ayat ini sebenarnya diturunkan dalam konteks
tertentu. Coba kita lihat konteks ayat ini turun.
Ayat ini diturunkan untuk
menunjukkan kesucian ‘Aisyah r.a. dan Shafwan bin al-Mu’attal r.a. dari segala
tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam suatu
perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah
tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian
diantar pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada
suatu keperluan. Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan
menyusul rombongan Rasullullah SAW dan para sahabat. Akan tetapi rombongan
tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya
menjadi fitnah dikalangan umat muslim kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan
Yahudi dan munafik jika telah terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan.
Masalah menjadi sangat pelik
karena sempat terjadi perpecahan diantara kaum muslimin yang pro dan kontra
atas isu tersebut. Sikap Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh
‘Aisyah untuk segera bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena
tidak pernah melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya. ‘Aisyah hanya menangis
dan berdoa kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian
Allah menurunkan ayat ini yang juga satu paket An-Nur 11-26.
Penjelasan An-Nur : 26 menurut para ulama
Jika dilihat dari konteks ayat
ini, ada dua penafsiran para ulama terhadap ayat ini yaitu tentang arti kata
“wanita yang baik” dan juga “ucapan yang baik”. Sehingga dapat juga diartikan
sebagai begini.
Perkara-perkara (ucapan) yang
kotor adalah dari orang-orang yang kotor, dan orang-orang yang kotor adalah
untuk perkara-perkara yang kotor. Sedang perkara (ucapan)yang baik adalah dari
orang baik-baik, dan orang baik-baik menimbulkan perkara yang baik pula. Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kata khabiitsat biasa dipakai untuk makna ucapan yang kotor (keji), juga
kata thayyibaat dalam Qur’an
diartikan sebagai kalimat yang baik. Begitupun pada ayat ini berlaku bahwa kata
khabiitsat dan thayyibaat.
Hakam Ibnu Utaibah yang
menceritakan, bahwa ketika orang-orang mempergunjingkan perihal Siti Aisyah
r.a. Rasulullan saw. menyuruh seseorang mendatangi Siti Aisyah r.a. Utusan itu
mengatakan, “Hai Aisyah! Apakah yang sedang dibicarakan oleh orang-orang itu?” Siti Aisyah r.a. menjawab, “Aku tidak akan mengemukakan
suatu alasan pun hingga turun alasanku dari langit”. Maka Allah menurunkan
firman-Nya sebanyak lima belas ayat di dalam surah An Nur mengenai diri Siti
Aisyah r.a. Selanjutnya Hakam Ibnu Utaiban membacakannya hingga sampai dengan
firman-Nya, “Ucapan-ucapan yang keji adalah dari orang-orang yang keji..” (Q.S.
An Nur,26). Hadis ini berpredikat Mursal dan sanadnya sahih.
Ayat 26 inilah penutup dari ayat
wahyu membersihkan isteri Nabi, Aisyah dari tuduhan keji itu. Di dalam ayat ini
diberikan pedoman hidup bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan keji adalah
perbuatan yang amat keji hanya akan timbul daripada orang yang keji pula.Memang
orang-orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun
ucapan-ucapan yang baik adalah keluar dari orang-orang yang baik pula, dan
memanglah orang baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidak
menghasilkan yang bersih, dan orang baik tidaklah akan menghasilkan yang
kotor,dan ini berlaku secara umum
Di akhir ayat 26 Tuhan menutup
perkara tuduhan ini dengan ucapan bersih dari yang dituduhkan yaitu bahwa
sekalian orang yang difitnah itu adalah bersih belaka dari segala tuduhan,
mereka tidak bersalah samasekali. Maka makna ayat diatas juga sangat tepat
bahwa orang yang baik tidak akan menyebarkan fitnah. Fitnah hanya keluar dari
orang –orang yang berhati dengki, kotor, tidak bersih. Orang yang baik, dia
akan tetap bersih, karena kebersihan hatinya.
Yang Baik Hanya Untuk yang baik?
Pembahasan kedua yaitu tentang
maksud ayat diatas yaitu “wanita yang baik” dan “wanita yang keji”. Dalam hal
ini terjemahan Depag menggunakan arti wanita yang baik dan pemahaman ini
berangkat dari para ulama yang menyatakan bahwa Aisyah menrupakan wanita yang
baik-baik, karena konteks ayat tersebut turun satu paket yaitu ayat 11-26
dengan ayat sebelumnya tentang seseorang menuduh wanita yang baik-baik berzina.
Maka jika diartikan begitu sesuai dengan pernyataan diatas
”Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Dalam kaidah ushul ditetapkan bahwa kekhususan sesuatu tidak dapat diterima dan
ditetapkan berdasarkan perkiraan, tetapi harus didukung dengan dalil. Dalam nash ini tidak ada dalil tentang
kekhususan ayat ini. Ayat Qur’an bermakna umum, artinya berlaku juga untuk
umatnya kecuali ada dalil tentang kekhususan ( bukan berarti kekhususan ini ada
kata-kata ‘khusus’ contohnya pada wajibnya hijab hanya khusus pada istri nabi
walalupun tidak ada kata khusus, dan tidak ada alasan untuk meniru-niru
kekhususan hijab bagi istri nabi).
Ayat ini bersifat umum, bahwa wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, begitu juga sebaliknya. Namun yang
perlu dipahami adalah ayat ini sebuah kondisi atau memang anjuran, sebab para
ulama banyak mengemukakan pendapat tentang hal ini. Syaikh Muhammad Mutawalli
as-Sya’rawi, ulama Mesir pernah berkata: ada dua macam kalam (kalimat sempurna)
dalam bahasa Arab. Pertama; Kalam yang mengabarkan kondisi atau suasana yang
ada.
Kedua Kalam yang bermaksud ingin
menciptakan kondisi dan suasana. Kalam seperti ini bisa ditemukan dalam qur’an.
Seperti firman Allah QS. Ali-Imran: 97: Barang siapa yang memasukinya
(baitullah itu) menjadi amanlah dia. Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah
sedang mengabarkan kondisi dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada,
maka tentu tidak akan terjadi hal-hal yang bertolak belakang dengan kondisi
itu. Akan tetapi, kalau ayat itu dipahami, sebagai bentuk pengkondisian
suasana, maka Allah sesungguhnya tengah menyuruh manusia, untuk menciptakan
kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun kenyataan banyak terjadi, bahwa kota Mekah
kadang tidak aman, maka hal itu artinya, manusia tidak mengejewantahkan
perintah Allah.
Pemahaman yang sama juga bisa
ditelaah pada ayat ini; Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. An-Nur: 26). Pada
kenyataan yang terjadi, ternyata, ada laki-laki yang baik mendapat isteri yang
keji, begitupula sebaliknya. Maka memahami ayat tersebut sebagai sebuah
perintah, untuk menciptakan kondisi yang baik-baik untuk yang baik-baik, adalah
sebuah keharusan. Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah yang akan terjadi
Kalau kita bandingkan dengan
Annur ayat 3 yang mana kalimat digunakan untuk umum
“laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”(An Nur ayat 3) yang mana di ayat ini lebih tegas
mengandung “unsur perintah” untuk mencari pasangan yang sepadan. Sehingga ayat
26 bisa dimengerti sebagai sebuah motivasi atau anjuran untuk mengondisikan dan
bukan sebagai ketetapan bahwa yang baik “otomatis” akan mendapatkan pasangan yang
baik. Hal ini tentu memerlukan usaha untuk memperbaiki diri lebih baik.
Ayat tersebut bukanlah merupakan
janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan dengan pasangan yang baik.
Sebaliknya ayat tersebut merupakan peringatan agar umat Islam memilih manusia
yang baik untuk dijadikan pasangan hidup. Oleh karena itu nabi bersabda tentang
anjuran memilih pasangan yaitu lazimnya dengan 4 pertimbangan, dan terserah
yang mana saja,namun yang agamanya baik tentu sangat dianjurkan, hal ini sesuai
dengan anuran surat Annur ayat 26
Lalu bagaimana jika seseorang
yang baik mendapatkan wanita yang tidak baik ?
Ayat diatas pemahaman saya memang
bukan janji Allah tentang otomatisnya orang yang baik akan mendapat pasangan
yang baik. Ayat tersebut secara umum memberitahukan kita bahwa orang –orang
yang baik akan mendapat pasangan yang baik juga, dengan berusaha mengondiskan
diri menjadi baik dan juga berikhtiar mencari pasangan yang baik. Namun baik
dalam hal ini,pun secara logika dapat diartikan bermacam-macam. Secara khusus
Allah membuat perumpamaan bagaimana seorang yang baik mendapatkan pasangan yang
tidak baik.Hal ini dapat kita lihat pada kisah nabi Nuh, Nabi Luth,dan Juga
Firaun.
“Allah
membuat istri nabi nuh dan istri nabi luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang
kafir. keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang
shalih di antara hamba-hamba kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua
suami mereka, maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka
sedikitpun dari siksa Allah, dan dikatakan kepada keduanya: ‘masuklah kalian berdua ke dalam neraka
bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (At-Tahrim: 10)
Allah menakdirkan istri kedua
nabi yang mulia ini justru tidak menerima dakwah suami mereka. padahal keduanya
adalah belahan jiwa yang saling melengkapi, saling menemani dan mendampingi.
kedua istri ini mengkhianati suami mereka dalam perkara agama, karena keduanya
beragama dengan selain agama yang diserukan oleh suami mereka. Keduanya enggan
menerima ajakan kepada keimanan bahkan tidak membenarkan risalah yang dibawa
suami mereka.
Lalu di ayat selanjutnya kita
temukan perumpamaan lain tentang suami yang tidak baik (fasik) dengan istri
solehah salah satunya adalah asiyah binti mazahim, istri fir’aun. Walau berada
dalam kekuasaan fir’aun, Asiyah mampu menjaga akidah dan harga dirinya sebagai
seorang muslimah. Asiyah lebih memilih istana di surga daripada istana di dunia
yang dijanjikan fir’aun. Allah mengabadikan doanya, dan Allah menjadikan
perempuan fir’aun teladan bagi orang-orang beriman, dan ia berdoa, ya Tuhanku,
bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku
dari fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim (at
tahriim [66]: 11)
Bagi kita mungkin Firaun
merupakan pria yang jahat,namun kisah Asiyah ini di Abadikan dalam Quran. Allah
menjadikan Firaun merupakan pribadi yang “baik” bahkan sangat “baik” bagi
Asiyah karena secara logis membuat Asiyah menjadi wanita yang ditinggikan derajatnya.
Ia tetap dapat menjaga akidahnya, dari fitnah besar suaminya.Dalam hal ini baik
tidak baik terlihat sekali, tentang suami soleh atau zalim, yaitu dalam hal
Aqidah.
Referensi: Tafsir Al Azhar
,Hamka,Annur ayat 26
Tafsir Al Quranul Azhim,Ibnu
Katsir
Saatnya Menikah,Muttawali Syarawi
https://rizkilesus.wordpress.com/2010/05/02/yang-baik-hanya-untuk-yang-baik-annur-ayat-26/