[Resensi Buku] Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Resensi Buku Filsafat
Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Judul : Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Penulis : A. Setyo Wibowo dan Majalah Driyarkara
Penerbit : Kanisius
Cetakan : V, 2015
Tebal : 227hlm
Harga : Rp
Untuk mengenang 100 tahun kematian
filsuf besar eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, beberapa tokoh intelektual
dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menulis tentang beliau. Setelah dimuat
di jurnal Driyarkara Th. XXVIII
no.4/2006, kemudian Penerbit Kanisius menerbitkannya dalam bentuk buku. Dan
ditambah dengan tulisan Ito-Prajna Nugroho dengan judul : “Diri dan ‘Ketiadaan’
dalam Filsafat Sartre : Memahami Kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi
Husserl”.
Buku ini sejatinya adalah mencoba
menjelaskan Sartre dengan berbagai perspektif. Perspektif itu mulai dari
historis kehidupan Sartre, karya-karyanya serta kehidupan pribadinya. Tulisan
keroyokan yang mencoba menjelaskan siapa dan apa Sartre ini menjadi buku yang
sangat saya suka. Dengan bentuk dan struktur jurnal, tulisan di dalam buku ini
terkesan ilmiah dan bernilai akademik.
Beberapa tulisan dalam buku ini
adalah :
1. Jean
Paul Sartre oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ
2. Eksistensi
Kontingen : Satu Sudut Pandang Membaca Kisah Hidup dan Pemikiran Jean-Paul
Sartre oleh Dr. A. Setyo Wibowo
3. Relasi
Antar Manusia Menurut Jean Paul Sartre, Beberapa Catatan oleh Prof. Dr. Alex
Lanur OFM
4. La
Literature Engagee : Menggagas Sastra yang membebaskan oleh J. Supriyono
5. Ateisme
Sartre : Menolak Tuhan, Mengiyakan Manusia oleh Dr. SP. Lili Tjahjadi
6. Emosi,
Bentuk Eksistensi Manusia dalam Ke-‘segera’-an (spontanitas) oleh Sayyidah
Muniroh
7. Relasi
dengan Orang Lain dan Paham Kebebasan dalam Drama Sartre Huis Clos oleh Thomas Hidya
Tjaya
8. ‘Diri
dan ‘Keitadaan’ dalam Filsafat Sartre Memahami Kesalahpahaman Sartre atas
Fenomenologi Husserl oleh Ito Prajna-Nugroho.
Meluruskan Neraka Adalah Orang Lain
Banyak hal
menarik di dalam buku ini, seperti tulisan tentang pelurusan l’enfer c’est le autres Sartre yang
acapkali disalahpahami oleh pembacanya. Thomas Hidya Tjaya mencoba meluruskan
kutipan ini. Beredar kesan bahwa bagi Sartre, kehadiran orang lain merupakan
sumber malapetaka bagi seorang subyek. Kehadiran orang lain, dengan tatapannya,
sungguh membuat seseorang tidak bebas, cemas, khawatir, terutama dengan penilaian
dan pandangan atas dirinya. Implikasinya, relasi manusia dengan yang lain
selalu dilihat sebagai yang penuh racun, tidak ubahnya seperti di neraka.
Thomas melalui pembahasan Drama Sartre Huis
Clos mencoba menafsirkan lebih mendalam atas pandangan Sartre di atas.
Menurut Thomas, Sartre sebenarnya hendak
memberikan gambaran ekstrem mengenai relasi yang mungkin terjadi antar manusia,
yakni relasi yang saling mengobyekkan dan destruktif. Filsuf Perancis ini ingin
menunjukkan bahwa kalau seseorang menempatkan dirinya dalam ketergantungan
total pada orang lain, khususnya dalam memberikan penilaian terhadap dirinya
sendiri, orang itu sungguh-sungguh berada dalam sebuah situasi seperti di
neraka. Situasi seperti ini merupakab bukti bahwa kebebasan orang tersebut
telah ditolak. Pandangan Sartre mengenai relasi dengan orang lain ini merupakan
konsekuensi dari pandangannya mengenai manusia sebagai kebebasan dan kesadaran
mutlak, yang mampu memberikan makna dan mendasari tanggung jawab atas
eksistensinya. Refleksi filosofis Sartre ini justru berkebalikan dengan
kecenderungan dunia kapitalis yang sering memperlakukan manusia sekadar sebagai
objek belaka, dan bukannya subyek yang bebas.
Selain bagian Neraka adalah Orang Lain yang menarik
dari buku ini adalah kehidupan Sartre yang unik. Mulai dari sikap hidupnya yang
berubah-ubah sampai dengan kisah cinta segibanyak-nya.
Sikap yang berubah-ubah
Sartre sering
berubah sikapnya baik dalam politik, sikap terhadap wanita-wanitanya, sikap
terhadap posisi-posisi filosofisnya sendiri. Dr. A. Setyo Wibowo bertanya
adakah Dia selalu terombang-ambing? Ataukah dia melakukan perubahan mengikuti situasi, yang memang menuntut keluwesan
sesuai dengan konsepnya tentang pemikiran yang selalu dalam/tergantung situasi? Ini pertanyaan yang sulit dijawab dengan
tegas.
Contoh yang
pertama menurut uraian Dr. A. Setyo Wibowo adalah perubahan sikap politiknya
tentang NAZI Jerman. Saat Sartre tinggal
di Jerman (1933-1934) harusnya dia tahu bahwa saat itu Hitler sedang
‘membersihkan’ lawan politiknya. Hitler melalui mesin aryanisasi bidang sosial
politik dan kultural. Tapi Sartre tidak melihat apa-apa. Ia sibuk belajar
Husserl dan Heidegger dan menulis la
Nausee. Sartre sama sekali tidak merasakan adanya sesuatu yang membahayakan
sedang muncul. Bahkan pada detik-detik akhir Hitler menyerbu Perancis (1939),
Sartre pun masih tidak percaya bahwa Hitler akan melakukan itu. Nantinya
setelah Hitler memorak-morandakan Eropa, setelah semua itu terjadi, di Sorbonne
Sartre membuat deklarasi untuk mengundang “rasa tanggung jawab politis para
penulis guna mencegah terjadinya hal-hal (buruk) dalam sejarah”. Di sini kita
berhadapan dengan dua Sartre yang berbeda ? Sartre pra PD II yang terlalu sibuk
dengan “kebebasan individualnya” (sibuk menulis La Nausee dan mempelajari
Husserl) dan Pasca PD II yang mulai melihat pentingnya “kebebasan sosial”,
pentingya dimensi historis dalam aktivitas berpikir?
Kemudian sikap
Sartre terhadap partai komunis. Tahun 1952 Sartre mendukung habis-habisan rezim
diktatorial Stalin, dan baru pada tahun 1956, ketika URSS menyerbu Budapest, Sartre sadar telah mendukung
rezim yang salah. Meski demikian, ia masih memuja komunisme. Tahun 1960 Sartre
berkunjung ke Kuba, terpesona dengan Revolusi yang dipimpin Fidel Castro, lalu
memuja-muja rezim Kuba. Tahun 1971 Sartre menyadari kesalahannya, dan
memutuskan hubungannya dengan Lider
Maximo itu.
Perubahan-perubahan
posisi di bidang filsafat atau dalam sikap politik, kesadaran yang terlambat,
semua itu sama sekali bukan untuk mengurangi kebesaran seorang pemikir.
Pertanyannya adalah : apakah perubahan dan keterombang-ambingan itu berkaitan
dengan visi Sartre yang memandang eksistensi sebagai sesuatu yang kontingen
(yang bisa diubah-ubah begitu saja dengan ringan, bisa disikapi A lalu non-A tanpa konsekuensi yang berat) ?
La Literature Engagee : Menggagas Sastra
yang Membebaskan.
“Thus, whether he is an essayist, a
pamphleteer, a satirist, or a novelist, whether he speaks of individual
passions or whether be attacks the social order, the writer, a free man
adressing free men, has only one subject freedom.” (J.P. Sartre, Qu’est ce que la Litterature)
Sejauh ini,
tidak ada yang menyangkal bahwa Sartre amat dipengaruhi oleh gagasan Karl Marx.
Dalam What is Literature? Sartre menilai bahwa sastra kaum borjuis (dengan
adagium art for art’s sake) berada di
luar jangkauan kaum proletar. Apalagi teknik sastra cenderung dibatasi pada genre tertentu sehingga kurang
leluasa. Kendati sejumlah karya sastra
yang simbolis dan surealis saat itu mengecam bentuk-bentuk sastra serta sikap
kompromistis kaum borjuis, mereka sama sekali tidak mengubah struktur
masyarakat.
Kebencian
Sartre terhadap kemandulan sastra bagi perubahan sosial ia tuliskan dalam
cerita pendek The Childhood of a Leader
(1938). Boleh dikatakan bahwa, sebagaimana ditulis Caute, Sartre sedang
menggemakan Marx : “para filsuf telah menafsirkan dunia belaka, sementara yang
penting adalah mengubahnya.” Menurut LaCapra, Sartre terjun dan terlibat ke
dalam ranah politik itu baru setelah perang. Sartre ante-bellum adalah Sartre yang menghayati hidup cenderung
individualis dan apolitis.
Mencermati
teori Sastra Sartre, kita mendapati upaya Sartre untuk menggabungkan filsafat
eksistensialismenya dengan Marxisme. Dari sudut eksistensialisme, ia berbicara
tentang kebebasan manusia untuk memberikan makna pada dunia sedangkan dari sisi
Marxisme, ia menempatkan kaum proletar sebagai subyek literature of praxis. Sartre rindu untuk membebaskan kaum proletar
sehingga mereka dapat menentukan sejarah dunia tidak lagi didominasi kaum
borjuis. barangkali Sartre merindukan zaman ketika sastra dapat menggelorakan
masyarakat Perancis sampai melahirkan Revolusi Prancis di akhir abad XVIII.
Sartre
mengapresiasi Marxisme sebagai filsafat di Perancis pasca perang sedangkan
eksistensialisme berada dalam margin filsafat tersebut. Penggabungan ini memiliki pengaruh pada gagasan kebebasan yang
selalu dibicarakan Sartre dalam filsafatnya. Ia tidak lagi hanya membebaskan
kebebasan dalam taraf ontologis tetapi juga sampai dalam level praktis. Sartre,
mengadaptasi Marxisme, mengubah konsep kebebasan : manusia tidak saja mencipta
dunia melainkan dipengaruhi dunia.
Teori sastra
Sartre harus diakui sebagai semacam resep bagi pengarang Sartre memberitahu
mereka apa yang harus ditulis dan apa yang harus dilakukan.
Buku ini
semacam biografi Sartre yang dikerjakan bersama-sama. Tidak luput kisah
kasihnya dengan Simone de Beauvoir dan Bianca Lamblin dan beberapa nama
menghiasi kehidupan filsuf besar ini. Keunikan hidupnya yang khas menembus
tirai dan tabir-tabir moral di perancis tahun 1950an. Sartre dipuja sebagai
intelektual yang sangat berpengaruh. Tidak heran proses pemakamannya dihadiri
oleh 50ribuan orang.
Buku ini
menjadi acuan penting bagi siapapun yang ingin mengenal Sartre. Baik kehidupan
pribadinya maupun pandangan-pandangan filsafatnya. Selain itu semua, dibahas
juga oleh Ito Prajna-Nugroho tentang kesalahpahaman Sartre atas fenomenologi
Husserl. Ito Prajna-Nugroho mengatakan bahwa ada cacat epistemologis paa pembacaan
Sartre atas fenomenologi Husserl. Sehingga eksistensialisme Sartre terlahir
prematur dan oleh sebab itu eksistensialisme pada dirinya menuntut untuk
dikritik, dirobohkan, dan kemudian dilampaui.