Filsfafat Jodoh Bagian Pertama
jo·doh 1 n orang yg cocok menjadi suami
atau istri; pasangan hidup; imbangan: berhati-hatilah dl memilih --; 2 n sesuatu yg
cocok sehingga menjadi sepasang; pasangan: mana -- sepatu ini; 3 a cocok;
tepat: ia
telah meminum obat itu, tetapi tidak --;
TETAPI MAKNA TIDAK
BERHENTI PADA KAMUS
Filsfafat Jodoh Bagian Pertama
Apa yang saya pikirkan pertama
kali kala menulis tulisan ini? Tidak tahu. Yang jelas ada beberapa poin yang
berputar dalam kepala saya saat mendengar kata jodoh. Salah satu idea random itu adalah apa hubungan
jodoh dengan bodoh? Apakah dengan memikirkan jodoh kita bisa menjadi bodoh?
Entahlah yang jelas jodoh tentu berkaitan dengan filsafat. Err?
Tulisan ini berjudulkan Filsafat
Jodoh. Dengan seenaknya saya memadukan dua kata ini biar terdengar enak dan
keren. Filsafat adalah sesuatu yang mesti kita pelajari dulu baru nanti kita
definisikan sesuai komposisi dan selera masing-masing. Setidaknya begitulah
kata Bung Hatta dalam pembukaannya dalam buku Alam Pikiran Yunani. Lalu
bagaimana dengan jodoh? Apakah begitu juga? Sesuatu yang mesti kita kecap
dahulu baru nanti kita artikan ? hmmm tentu saja terserah. Yang jelas tulisan
ini tidak akan membawa kemana-kemana kecuali anda sebagai pembaca memutuskan
untuk pergi ke mana-mana.
Jodoh kita batasi disini adalah
pasangan hidup. Pasangan hidup kita batasi lagi adalah manusia. Mengutip KBBI,
jodoh adalah orang yang cocok menjadi suami atau istri, pasangan hidup.
Ada dua terminologi yang perlu
digarisbawahi, dicetak tebal, dan digaris miring disini : orang, cocok,
menjadi, suami, istri. Untuk orang, kita tidak perlu berdebat lagi siapa saja
yang disebut orang. Meskipun menurut saya orang bukanlah sesuatu yang final, menyitir
Sartre, manusia adalah projek dirinya. Dan kaum moralis tentu tidak setuju bila sesosok orang yang menjadi pedofilia dan menyodomi puluhan anak
dibawah umur digolongkan sebagai orang, dia itu predator atau setan. Dan
sesosok orang yang membakar lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan di sebut
orang. Mereka barangkali lebih mau menyebut mereka (yang kedua) sebagai setan
atau iblis sekalian.
Jodoh. Oh. Seperti filsafat dia
juga sedikit rumit. Jodoh tentang kecocokan, suami dan istri. Kecocokan apa
itu? Ada yang bilang cocok itu sama, sepadan, seimbang, tidak berlainan, serasi
dan memenuhi syarat. Uh belakangan ini selain itu : harus seiman. Apa itu iman?
Waw tulisan ini memang penuh dengan pertanyaan. Iman adalah sesuatu yang
diucapkan oleh lisan (oleh mulut melalui lidah, pita suara dan kawan-kawannya),
dibenarkan oleh hati (bukan hepar :
organ tubuh yang terletak di rongga perut sebelah kanan), dan diamalkan oleh
perbuatan (alias dikerjakan).
Jodoh adalah pasangan hidup istri
atau suami. Suami dan istri tidak dapat kita pungkiri mesti dilalui melalui
tangga pernikahan. Pernikahan yang menjadi otoritas agama dan negara. Kita
tidak bisa mengklaim Christian Sugiono, Zayn Malik, Sandra Dewi atau Dian
Sastro sebagai istri atau suami kita tanpa terlebih dahulu melegalisirnya ke
KUA atau penghulu. Ya, Pasangan Sartre
dan Beauvoir tidak bisa dibilang suami istri sehingga tidak cocok disebut
dengan jodoh menurut pendefinisian KBBI.
Tetapi bukankah makna itu tidak berhenti dalam kamus? Makna itu adalah
makna itu sendiri. Kata ini Cuma tanda. Makna bukan milik siapa-siapa. Ia etre en soi. Huh makin gak jelas saja.
OK baiklah. Jodoh bila
difilsafatkan akan menjadi apa? Filsafat menurut etimologi itu berasal dari dua
kata dari bahasa Yunani yakni Philein
dan Sofis artinya cinta
kebijaksanaan. Jadi lebih kurang filsafat jodoh adalah suatu aliran sok keren suatu paham yang membahas
jodoh berdasarkan asas asas yang bukan apa-apa melainkan cinta kepada
kebijaksanaan. (bukan berasaskan Pancasila kecuali Pancasila merupakan salah
satu bentuk kebijaksanaan). Jika yang
dicintai adalah kebijaksanaan lalu kapan mencintai pasangan? Nah makin liar ini
pertanyaan. Mencintai bukan sesuatu yang determinatif, mencintai pasangan
mungkin bentuk lain juga dari bentuk mencintai kebijaksanaan. Atau mencintai
kebijaksanaan adalah bentuk lain dari mencintai pasangan.
Jodoh, kalau kamu apa yang kamu
pikirkan tentang jodoh? Apakah sama dengan yang dipikirkan Ustadz Felix Siauw
atau Darwis Tere Liye? Entahlah.
Yang jelas ada poin menarik yang
dua tokoh ini lemparkan ke para fansnya di dunia fana kuadrat. Yaitu adalah
memantaskan diri dan bersiap. Jangan pacaran. Pacaranlah setelah menikah.
Sebuah ide yang sedikit brillian memang. Dengan konsep pacaran yang sudah
terlegalisasi. Dengan wacana bermesraaan dengan pasangan adalah ibadah setelah
dilegalisir hubungannya. Uh, indahnya.
Lalu apa yang mesti kita lakukan?
Gak tahu ya. Maaf tulisan ini
bukanlah sesuatu yang preskriptif dan solutif. Tulisan ini bersifat pandangan
subjektif saja yang bisa jadi diambil hikmahnya bisa juga dibuang. Memang ada
bagusnya Felix Siauw ini dan Tere Liye, mempersiapkan diri menjadi yang terbaik
bagi pasangan adalah suatu hal yang punya romantisme tersendiri. Menahan diri
hingga pada saat yang ditentukan adalah kenikmatan tersendiri. Apalagi
ditambahi dengan dampak pahala yang bisa bikin masuk surga. Amboi. Fabiayya ala irobbikuma tukazzzibaan.
Begini saja, ibarat puasa, menahan lapar dan haus, subhanallah akan terasa
sangat nikmat saat berbuka. Saat minum es kelapa muda, atau cendol
kolang-kaling. Atau es pisang ijo. Wah begitulah. Tapi ada kemungkinan rakus
juga. Berbuka puasa ibarat balas dendam atas menahan. Begitu pula dengan
pernikahan. Ada kemungkinan juga. Ujung-ujungnya kembali kepada orangnya juga.
Sekuat apa ia memahami dan menjalin relasi dengan kebenaran yang ia yakini.
Hehehe. Kierkegaard.
Pacaran setelah pernikahan, adakah
konsep ini ? Saya pribadi kurang setuju, pacaran itu menurut boros saya khusus
untuk orang yang belum menikah, kalau sudah menikah, namanya bukan pacaran
lagi. Itu namanya suami istri, dan kemesraan. Itulah cinta. Ya pacaran ini
anggap saja selevel di bawah cinta. Ah tidak juga kalau kau menganut
relativisme. Semua serba relatif.
Kembali ke permasalah yang
sebenarnya tidak jelas dimana. Jodoh, dengannya lah kamu nanti menjalani
kehidupan rumah tangga (jika kalian membeli atau membangun rumah
bertingkat)atau kehidupan berkeluarga. Memahami masalah ini tentu ada beberapa
kata kunci yaitu niat, kerja keras dan tanggung jawab. Ya setidaknya 3 hal
itulah yang dipentingkan dalam menjalani ini.
Jodoh pasangan hidup, jadi mesti
kenal. Mesti sesuai dan mesti memenuhi syarat. Siapa yang menentukan itu semua?
Dirimu. Siapa lagi. Apa dasarmu menentukan itu semua? Terserah. Bisa agama,
bisa yang lain-lain. Tetapi apakah yang tidak diatur dalam agama? Semuanya
sudah ada rules of the game-nya, sudah
ada manualnya. Tinggal kamu mau jalanin atau engga. Tinggal mau patuh atau mau taat.
Nah sekarang kita bahas lagi
jodoh dengan pacaran. Ya pacaran adalah salah satu bentuk penjajakan atas
jodoh, tetapi beberapa ahli agama menyatakan bahwa pacaran adalah bentuk
mendekati zina jadi haramlah hukumnya. Nah bagaimana? Saya tidak bisa kasih
komentar tentang ini. Jangankan pemahaman yang dalam, ilmu yang sedikitpun tak saya punya disini.
Yang jelas ya itu. Tidak yang
jelas kecuali kau menjelaskan sendiri kepada dirimu.
Jodoh dimana kini kau berada ?
Carilah. Metodenya banyak. Salah
satunya adalah mempersiapkan dirimu. Mengumpulkan informasi. Menyibukkan diri.
Peganglah sesuatu yang ingin kau pegang. Sekali kau pegang, genggam dengan
kuat, dengan sepenuh hati. Jangan kecewakan. Jika tidak yakin kau akan
menikahi, lebih baik jangan berpacaran dengannya. Itu bisa membuat sakit dan
luka di kemudian hari. Bisa buat kenang-kenangan yang buruk.
Bersambung ke bagian kedua