[Resensi Buku] Tuhan, Kita Begitu Dekat
Resensi Buku
Judul : Tuhan, Kita Begitu Dekat (Antologi Puisi)
Penulis : Abdul Hadi WM
Penerbit : Komodo Books
Cetakan : I November 2012
Tebal : 183 hlm ; 14 x 20,5 cm
Harga : Rp45.000,00
Antologi dari penyair yang terpengaruh puisi timur ini terbagi menjadi 8 babak.
(1)Pembuka (2) Langit dimana-mana (3) Bahkan Batu pun Ingin Berbunga (4) Tak Ada Pemimpin Di Atas Sepotong Roti (5) Nyanyian Kabut (6) Pembawa Matahari (7) Meditasi dan (8) Penutup.
Sebelum mengulas antologinya alangkah sopannya jika kita membaca dahulu siapa Abdul Hadi W.M (Wiji Muthari). Beliau lahir di Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Abdul Hadi memperoleh gelar Ph.D. di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan di Universiti Sains Malaysia. Penyair ini menjadi Guru Besar di Universitas Paramadina dan dosen tamu di FIB UI dan Islamic College for Advance Studies, London, cabang Indonesia. Ia juga menerjemahkan karya-karya Goethe, William Blake, Iqbal, Hafiz, Rumi, Ibn ‘Arabi, TS Elliot, Octavio Paz, dan Li Po. Abdul Hadi memperoleh beberapa penghargaan antara lain: Hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ (1978) ; Anugerah Seni Pemerintah RI (1979); SEA Write Award(1985) dll.
Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, Jepang, Korea, Cina, Arab, Urdu, Turki, Bengali, Thai, dll.
Saya akan mereview secara ringkas antologi ini. Pada bagian pertama, ada satu judul puisi yang juga menjadi judul antologi ini. Tuhan, Kita Begitu Dekat. Berikut kutipannya,
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
1976
Jujur saya merinding membaca puisi ini. Benar kata Kang Acep Zamzam Noor, puisi bagus itu selalu punya jalan memberdirikan bulu kuduk. Saya jauh dari sanggup untuk mengulas dan mengupas apa yang dialami dan dirasakan oleh Abdul Hadi dalam puisi ‘Tuhan, Kita Begitu Dekat’. Barangkali pengalaman spiritual dan kehidupan panjangnya sampai kepada analogi api-panas, metafora kain- kapas, angin-arah, kata-dalam, nyala lampu padam. Waw, indah sekali.
Tema puisi ini menurut saya adalah tema yang sufistik. Puisi yang kerap dikumandangkan oleh para sufi. (Sebab mungkin puisi yang sanggup menjadi media menampung ekspresi perjalanan spiritual mereka). Rumi, Al-Hallaj, Ibn Arabi sampai mengeluarkan Ana Al-Haqqyang sangat kontroversial.
Pada bagian Langit Di Mana-mana. Puisi-puisinya banyak becerita tentang kenangan pada suatu tempat seperti pada puisi Madura, Sarangan, Kalianget, Pelabuhan Banyuwangi I, Potret Panjang Seorang pengunjung pantai sanur, Dari Tawang Wangu, Winter Iowa 1974
Pada bab meditasi muncul lagi aliran profetik, sebab dari judulnya saja dapat dilihat : Nyanyian Senggang Syeh Siti Jenar, Jayakatwang, Al-Hallaj, Nyanyian Hamzah Fansuri, nukilan dari Lagu Syeh Siti Jenar, Doa.
Penyair Abdul Hadi memang pelopor sastra profetik di Indonesia. Sutejo, seorang yang pernah membahas proses kreatif Abdul Hadi WM berpendapat begini :
(a) dia banyak memperoleh ide saat membaca al-Qur’an, (b) dia banyak mengamati realita sosial hingga muncul refleksi profetiknya, (c) aura liris-profetik karya-karya adalah pilihan pengucapan yang konsisten, (d) corak multikulturalisme sebagai ladang kreatif, (e) gerakan profetik dengan mengembalikan makna karya sastra sebagai gerakan kembali ke sumber, dan (f) pengalaman pembacaannya atas teks-teks sastra sufi tampaknya memengaruhinya untuk berkarya.
Pada bagian penutup hanya ada satu judul puisi seperti pada bagian pembuka juga. Judulnya barat dan timur
Barat dan Timur
Barat dan Timur adalah guruku
Muslim, Hindu,Kristen, Buddha,
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud,Lao Tze
Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Serta Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana
Dalam konteks membumikan sastra profetik (paradigma kesenian Abdul Hadi ini), sebagai penulis pemula misalnya, kita penting untuk mengenali, menghayati dan –barangkali—menjadi corak ini sebagai pola diikuti dengan pengucapan yang matang. Makna di balik pilihan demikian adalah makna pesan tersembunyi yang digerakkan teks sastra. Dunia sastra dengan sendirinya adalah jembatan budaya di satu sisi dan di sisi lain merupakan jembatan layang untuk menanamkan berbagai kepentingan. Gagap sosiologis masyarakat kita, dengan demikian, merupakan bagian dari kegagalan pembelajaran sastra secara tidak langsung. (Sutejo : 2008)
Abdul Hadi, seperti apa yang dipesankan Sutardji Calzoum Bachri, “Dul, jadilah dirimu sendiri. Bukan antek Barat.” Dan, memang Abdul Hadi telah merentas karakter teori dan teks sastra dengan pola sendiri. Termasuk pola penafsiran hermeneutik dengan metode ta’wil yang ditawarkannya. Hal itu dilakukan, barangkali karena konteks sosiologis yang mengalirinya adalah muara multikultural yang –sesungguhnya sudah realita yang menarik—untuk ditarik pada makna yang komprehensif. Sebab, baginya kehidupan itu tidak dapat dipilah-pilah sebagaimana realita sekarang. (Sutejo : 2008)