[Resensi Buku] Orang Lain Adalah Neraka. Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Resensi Buku
Judul :
Orang Lain Adalah Neraka. Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Penulis :
Wahyu Budi Nugroho
Penerbit :
Pustaka Pelajar
Cetakan :
I Januari 2013
Tebal :
171 hlm
Harga :
Rp30.000,00
Sartre. Tokoh eksistensialisme
dari Prancis ini memang dikenal sebagai sastrawan dan filsuf. Beberapa karyanya
yang terkenal dapat dijumpai berupa novel dan esai seperti Being and Nothingness, Existensialism
and Human Emotion, La Naussea dan
lain-lain.
Buku ini menggarisbawahi
kutipannya : Hell is others. Orang lain adalah neraka.
Sesuai dengan keterangan pada
kata pengantar buku ini. Ini adalah skripsi Wahyu yang semula berjudul Sosiologi
Eksistensialisme Jean Paul Sartre (studi konsep interaksi sosial dalam
eksistensialisme Jean Paul Sartre).
Buku ini terdiri dari 6 Bab:
1. Latar
Belakang Kelahiran Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
2. Epistemologi
Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
3. Pandangan
Eksistensialisme Jean Paul Sartre atas Interaksi Sosial
4. Kedudukan
Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul Sartredalam Berbagai
Paradigma Sosial
5. Praksis
dan Relevansi Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul Sartre dewasa
ini
6. Beberapa
kritik atas konsep interaksi sosial eksistensialisme jean paul sartre : dari
Aquinas, De Maistre, Iqbal hingga Syariati
Sebagai jabat tangan dengan ide
dan arus pemikiran Sartre, buku ini cukup hangat. Wahyu membahas
eksistensialisme Sartre dengan titik tolak sosiologi dan psikologi. Konsep Sartre
tentang etre en soi, etre pour soi,
mauvaise soi, meradikalkan perspektif mikrososiologi klasik, modern, kritis
dan posmodern.
Pada bagian awal dibahas tentang
asal muasal kelahiran filsafat Jean Paul Sartre. Beberapa kerangka pokoknya
adalah yang pertama sejarah konsep “manusia-sentris” dari masa ke masa serta
tokoh dan pola pemikirannya. Kedua adalah secuplik sketsa perjalanan hidup
Sartre serta karya yang sudah ia hasilkan(semacam biografi mini). Ketiga,
analisis konteks “ sosial-internal” perjalanan hidup Sartre. Keempat analisis
konteks “sosio-eksternal” perjalanan hidup Sartre. Kelima, sekilas respons
aliran filsafat eksistensialisme bercorak “teistik” dalam memandang
“keberadaan” manusia dan kehidupannya.
Kemudian diulas epistemologi
Filsafat Eksistensialisme Sartre : Fenomenologi sebagai sentral dalam filsafat
eksistensialisme Sartre.
Sartre tertarik terhadap
fenomenologi ketika rekannya, Raymond Aron berkata dalam pertemuan di sebuah
kafe, “Kau tahu sahabat kecilku, apabila
kau seorang fenomenolog, kau dapat berbicara mengenai minuman ini dan itulah
filsafat.” Itulah awalnya yang menjadi penyebab Sartre berangkat ke Berlin
untuk mempelajari Fenomenologi Edmund Husserl.
Pada bagian tengah, dibicarakan
dalil dasar Eksistensilaisme. Eksistensi
mendahului esensi. Berbagai turunan dari dalil ini adalah “kebebasan”,
“pilihan-bebas”, “absurditas”, etre en
soi, etre pour soi,”kesadaran
reflektif-non reflektif”, mauvaise soi,
“objektivasi” (other is hell) serta “faktisitas”.
Kebebasan dan Pilihan
Dalil utama eksistensialisme,
yakni “eksistensi mendahului esesnsi”
bagi Sartre mengindikasikan ketiadaan Tuhan, oleh karenanya kabar baik bagi
manusia adalah keberadaannya yang bebas sebebas-bebasnya di dunia ini, bahkan
menurutnya manusia ini adalah kebebasan itu sendiri. Terlebih, dengan
pernyataan Sartre bahwa pertama-tama manusia “ada”, dan ia bukanlah “apa” atau
“siapa” sebelum memaknai dirinya sendiri, tak ada kuasa bagi orang lain atau
masyarakat memaknai dirinya karena pada hakekatnya keberadaannya sui generic.
Dengan ketiadaan Tuhan, maka
manusia tak memiliki patokan baku dalam penyusunan etika, nilai dan norma bagi
dirinya, ia secara otonom memiliki pilihan bebas guna menentukan apa yang
dianggapnya baik, dicita-citakan serta bagaimana seharusnya bertingkah laku.
Dalam ranah spat kapitalismus, pemahaman
yang demikian kiranya potensial menghindarkan individu pada bentuk-bentuk
pencangkokan nilai dan norma oleh para pemilik nilai dan norma oleh para
pemilik modal atau kapitalis. Dalil pertama eksistensialisme di atas faktual
telah menunjukkan penolakannya yang keras akan one dimensional society, yakni
masyarakat yang terseragamkan oleh kapitalis sehingga melenyapkan keontetikan
masing-masing individu. Dalam ranah praksis, dalil tersebut mengisyaratkan pada
masing-masing individu untuk tak sekonyong-konyong mempercayai bahwa manusia
yang utuh adalah mereka yang mempunyai rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas Armani, sepatu Nike, dan
sejenisnya sebagaimana dikonstruksikan oleh kapitalis melalui berbagai media
film maupun iklan
Etre En Soi dan Etre Pour Soi
Pemikiran Sartre dikenal pula
sebagai bentuk ontologi radikal dengan oposisi biner di dalamnya –essay on phenomenological ontology. Hal
tersebut tampak melalui upaya Sartre mendikotomikan segala sesuatu ke dalam etre en soi dan etre pour soi. Bagi Sartre, etre
en soi ‘berada dalam dirinya’ merupakan segala sesuatu yang tak memiliki
kesadaran, sebagai misal kursi, meja, dan bangunan. Berbagai benda tersebut tak
memiliki tujuan atas eksistensinya, dengan kata lain tujuan keberadaanya
sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Namun demikian, etre en soi, memiliki kelebihan yakni bahwa ia sempurna, ia tak
memiliki celah atau kekosongan untuk dikritisi, ia sempurna sebagai kursi,
meja, bangunan dan sebagainya.
Berseberangan dengan etre en soi, bagi Sartre etre pour soi merupakan segala sesuatu
yang berkesadaran, dalam hal ini manusia. Kesadaran yang dimiliki manusia mau
tak mau menuntutnya untuk memaknai dan menentukan tujuan hidupnya
sendiri—bukannya ditentukan pihak lain. Namun demikian, tak dapat dipungkiri
bahwa etre pour soi memiliki
kekurangan, yakni celah dan kekosongan yang ditandai dengan selalu munculnya
berbagai keinginan pada diri manusia.
Menurut Sartre, pada hakikatnya
manusia selalu ingin menjadi sempurna—tak memiliki celah dan kekosongan—serta
tetap berkesadaran, yakni etre en
soi-etre pour soi, namun yang demikian hanyalah sifat Tuhan semata. Oleh
karena itu, secara tragis Sartre menyimpulkan ,”Human is useless passion!” (Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”)
Terkait pengkajian atas one dimensional society, bilamana setiap
individu memahami eksistensinya sebagai useless
passion, ‘hasrat kesia-siaan’,
kiranya hal tersebut bakal ‘menyadarkan’ bahwa berjubel keinginan yang
dimilikinya pada produk-produk kapitalis merupakan suatu hal yang sia-sia dan
tak berkesudahan. Dengan demikian, human as useless passion diharapkan mampu
meredam budaya konsumerisme di era kapitalisme lanjut, individu tak lagi
terjebak pada konsumsi berdasarkan “gaya hidup”, melainkan “kebutuhan hidup”
Mauvaise Foi
Mauvaise foi merupakan istilah yang digunakan Sartre untuk
menunjukkan seseorang dengan “keyakinan yang buruk”. Eksistensialisme Sartre
memberikan dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara
otentik atau hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’.
Contoh yang dekat adalah sebagai
berikut. Ada seorang pemuda yang kerapkali ‘dijauhi’ oleh seorang wanita.
Kemudian pada suatu waktu ketika ada wanita lain, yang sebenarnya dia ingin
dekati tetapi tidak dilakukannya, sebab ia merasa pesimis atas
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Pemuda ini dikategorikan sartre menganut
‘Mauvaise foi’ atau ‘keyakinan yang buruk’. Barangkali ini bisa dianggap sikap
pesisime. Seorang eksistensialis tidak punya sifat ini, ia memilih otentik
dengan menganggap segala kemungkinan dapat terjadi. Jadi bila dia ingin dia
akan lakukan.
Other Is Hell
Ide “Other is hell” (“Orang lain
adalah neraka”) dalam eksistensialisme-Sartre terkait erat dengan konsepnya
mengenai faktisitas. Menurut Sartre faktisitas merupakan fakta-fakta yang tak
dapat dihindari manusia, seperti time(waktu),
past(masa lalu), place(tempat), dan other(orang lain) ‘liyan’ Sartre menegaskan bahwa keberadaan liyan selalu mengancam eksistensi diri. Hal tersebut karena
eksistensi liyan yang selalu
mengobjekkan diri kita, oleh karenanya tak heran Sartre menganggap orang lain
sebgai “neraka”.
Secara konkret dapat dimisalkan
dengan kesendirian di sebuah taman. Saat aku duduk di kursi taman memandangi
bunga yang beraneka warna, menyaksikan kupu-kupu dan kumbang beterbangan ke
sana- kemari. Menghirup aroma tanah dan rumput. Ketika hal itu berlangsung,
maka seluruh yang dalam jangkauan indrakumenjadi objekku. Namun ketika orang
lain datang, situasi pun berbalik di mana akulah yang kemudian menjadi objek; aku
tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut ‘dunia’-ku.
Di era kontemporer, faktisitas
adalah totalisasi kapitalisme yang
telah mencengkram berbagai sendi kehidupan masyarakat. Melalui berbagai
gelagatnya, tampak jelas bahwa kapitalisme dan berbagai pihak yang telah
terjerat maupun terintegrasi di dalamnya mengobjekkan individu di luar in group-nya. Mereka membuat konstruksi
mengenai kebaikan, kecantikan, kemajuan, kecanggihan, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, individu yang tak memiliki kapasistas mental memadai dapat
dipastikan dengan mudah terjerat ke dalam jaring penyeragamannya(kapitalis).
Namun, tak demikian halnya dengan seorang eksistensialis, sebagai respons atas
faktisitas tersebut ia akan segera mengalihkan perhatian, tak mengacuhkan, dan
mengubah struktur tersebut sebagai “neraka”.
Beberapa Kritik atas Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul
Sartre dari Aquinas, , Iqbal hingga
Syariati
“I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati’s(Islam).”—Sartre
Thomas Aquinas
Seorang teis sekaligus agamawan
berkata bahwa Manusia tidaklah ‘menciptakan’, tetapi ‘menemukan’.
Santo Thomas Aquinas berpendapat
bahwa setiap patokan yang ada dalam masyarakat
pasti bersumber dari nilai-nilai
transendensi (ketuhanan). Misalnya nilai dan norma sosial pada hakikatnya diposisikan
sebagai sesuatu yang universal. Hal itu dapat dimungkinkan mengingat ditemuinya
“hukum universal” dalam setiap masyarakat di muka bumi. Contoh : larangan untuk
menghilangkan nyawa orang lain, larangan untuk memperkosa, larangan untuk
mencuri.
Dengan demikian, Aquinas menegaskan
bahwa manusia tidaklah ‘menciptakan’ nilai dan normanya sendiri, dengan kata
lain, manusia tidak berada pada “proses penciptaan yang terus menerus’ dan
berulang-ulang pada dirinya sendiri”, melainkan sekadar ‘menemukan’ serta
kembali ‘menemukan’ secara terus menerus dan berulang-ulang, tanpa henti.
Muhammad Iqbal
Berbagai pemikiran Iqbal dalam
buah karyanya yang berjudul The
Reconstruction of Religious Thought in Islam menunjukkan beberapa sendi
“kemiripan” Islam dengan konsep manusia dalam filsafat eksistensialisme Sartre.
Senada dengan Sartre, hanya saja melalui titik tolak yang berbeda, Iqbal
menunjukkan betapa Islam mengakui manusia sebagai makhluk yang individualis dan
unik—otentik. Hal tersebut setidaknya merujuk pada kitab suci Alquran dimana
hanya manusia dengan segenap keyakinannya menyatakan kesanggupannya memikul
amanah Tuhan yang mana pada awalnya tak disanggupi langit dan bumi serta
gunung. Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara manusia dengan berbagai
entitas lain ciptaan-Nya dimana kemiripan oposisi biner dengan eksistensialisme
Sartre ditemui, yakni manusia sebagai etre
pour soi, sedang langit-bumi dan gunung sebagai etre en soi.
Iqbal berseberangan dengan Sartre
dalam konsep interaksi sosial-eksistensialisme. Sartre me’neraka’kan orang lain
atau menyatakan bahwa orang lain adalah sebab kejatuhannya. Akan tetapi Iqbal
menawarkan “Aku menang, Engkau menang, Aku
berhasil, Engkau berhasil”. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan mudah
berkat konsep “objektivasi” dalam
Islam sebagaimana diutarakan oleh Kuntowijoyo,” Seorang muslim yang memberikan zakat mendapatkan keberuntungan berupa
pahala, sedangkan orang nonmuslim yang menerimanya, juga mendapatkan kebahagiaan.”
Dengan demikian, diperoleh
kesimpulan berbeda antara keduanya. Apabila Sartre melalui filsafat
eksistensialisme-nya memberikan kesimpulan tragis bahwa ‘manusia adalah hasrat kesia-siaan’, maka Iqbal mendiktumkan sebuah
harapan bahwa ‘manusia adalah makhluk
yang berguna’
“Amatlah mustahil kiranya bahwa satu makhluk yang evolusinya telah meminta waktu berjuta-juta tahun itu harus dibuang begitu saja sebagai benda yang tiada berguna. Akan tetapi, hanya sebagai diri yang tetapdan terus menerus bersih saja ia dapat mempunyai makna dalam alam semesta itu”—Muhammad Iqbal.
Ali Syariati
“Hidup dijalani tanpa bobot bagai meloncat dari satu rumus ke rumus baru. Demikianlah yang digambarkan Sartre : Absurditas melekat pada hidup para ilmuwan yang hilang bobot kemanusiaanya serta bagi manusia yang hilang makna.”—Ali Syariati
Pernyataan Syariati di atas
secara tegas dan jelas menyitir Sartre. Ia menganggap bahwa eksistensialisme
merupakan filsafat yang ‘lesu’, sia-sia, tak seimbang, bahkan ‘tak waras’. Hal
tersebut pulalalh yang dapat berimplikasi pada para pengikutnya kemudian. Di
sisi lain, Syariati mendaulat pula eksistensialisme sebagai ‘filsafat
kebingungan’ dimana seorang manusia merasakan kedekatan yang lebih intim dengan
dirinya, namun keluarga dan dunianya makin terasa jauh. Lebih lanjut Syariati
mengatakan bahwa eksistensialisme mengakui kematian, namun perasaan para
pendukung paham ini bakal tetap hidup dan menimbang apa yang terjadi dengan
kebutuhan spiritual dan transendennya. Kesadaran akan tak terpenuhinya kedua
kebutuhan tersebut menyebabkannya terus berada dalam kubang keterasingan.
Oleh karenanya, guna memecahkan
persoalan diatas, Syariati menekankan pentingnya “kesempurnaan” ketimbang
“kenikmatan”. Menurutnya, kesempurnaan bertalian erat dengan berbagai bentuk
kesulitan dan rintangan, sementara kenikmatan terikat pada ‘tempat’ dan
‘keberadaannya’. Namun di balik semua itu, kesempurnaan terikat pada dinamika
gerak, ia senantiasa berjalan tanpa kenal henti. Kesempurnaan selalu menuntut
manusia untuk terus mengembara sembari memperbaiki maknanya. Berseberangan
dengannya, kenikmatan menghendaki perbaikan kualitas hidup dengan mengikat
manusia pada tempat dan keberadaannya. Lebih jauh, Syariati menegaskan bahwa
kesempurnaan adalah proses ‘menjadi’, sementara kenikmatan adalah proses
‘mengada’. Dengan demikian, kesimpulan akhir yang ditarik Syariati kemudian
adalah “pencarian akan kesempurnaan”, yang mana lebih mendekatkan pengertiannya
pada arah pengenalan diri manusia, ketimbang pola pikir “pencarian akan
kenikmatan”.
Untuk menjadi seorang yang
eksistensialis, tidak harus kenal apalagi paham dengan terminologi-terminologi “kebebasan”,
“pilihan-bebas”, “absurditas”, etre en
soi, etre pour soi,”kesadaran
reflektif-non reflektif”, mauvaise soi,
“objektivasi” serta “faktisitas”. Akan ketika seseorang tengah merasa gugup
(nervous), malu, merasa terasing, merasa terkucil maka dia sudah tergolong
eksistensialis menurut Sartre.
Secara umum buku ini mengurai
filsafat eksistensialisme Sartre dengan bantuan tangan sosiologi. Uraian-uraian
yang ringkas dengan kerangka jelas menjadi keunggulan buku ini. Selain itu
struktur yang tidak terlalu rumit dengan adanya sub-bab sub-bab menjadikan buku
ini enak dibaca. Namun dengan banyaknya tanda kutip untuk istilah dan tanda petik
untuk kata bahasa Indonesia dengan makna yang konotasi membuat buku ini seharusnya
ditopang glosarium yang lengkap. Inilah salah satu kekurangannya. Ketiadaan
glosarium membuat paparannya menjadi kurang sempurna. Selain itu untuk
menghindari jumlah tanda kutip dan petik (yang cukup mengganggu) alangkah lebih
baik di cetak miring (sebagai variasi) saja beberapa kata tersebut.
Karya-karya Sartre
Filsafat
La Transcendance de l’ Ego ‘Transendensi Ego’ (1936); L’Etre et le Neant ’Ada dan
Ketiadaan’(1943); L’Existensialisme est
un Humanisme ’Eksistensi adalah Humanisme’ (1946); Questions de Methode ‘Persoalan-persoalan Metode’ (1957); Critique de la Raison Dialectique ‘
Kritik atas Rasio Dialektis’ (1960)
Sastra
La Nausee ‘Rasa Muak’ (1938);
L’Age de Raison ‘Abad Pemikiran’ (1945);
Les Chemins de la Liberte ‘Jalan-jalan Kebebasan’ (1944,1945,1946); Les Mots ‘Kata-kata’ (1963)
Drama
Les Mouches ‘Lalat-lalat’ (1943); Huis Clos ‘Pintu Tertutup’ (1945); Morts Sans Sepulture ‘Orang Mati Tanpa Terkubur’ (1946); La Putain Respectuese ‘Pelacur
Terhormat’ (1946); Les Mains Sales
‘Tangan Kotor’ (1948); Le Diable et le
Bon Dieu ‘Setan dan Allah yang Baik’ (1951); Les Sequetres d’Altona ‘
Tahanan-tahanan dari Altona’ (1960)
2 comments
Write commentsDari dulu saya tidak pernah suka "buku yang ditulis orang lain tentang pemikiran sartre (filsuf lain)" dan tidak akan pernah suka. Mereka (penulis) dengan bangga mengira bisa menyelami pemikiran sang jenius dengan mudahnya, kemudian menarik kesimpulan yang justru terkesan invalid dan penuh hipotesis, "pseudo-intellectual" sejati. Kita lihat saja judulnya "Orang lain adalah neraka". Padahal dalam drama No-Exit, Sarte jelas-jelas menuliskan "L'enfer, c'est les autres" (Hell is other people) dan artinya Neraka adalah orang lain. Kenapa judulnya dengan enteng diubah jadi "Orang lain adalah neraka". Secara penarikan term dan strukturisasi kalimat, jelas maknanya sudah beda. Silakan dinilai.
ReplyKalau saya, pembacaan terhadap Sartre, selalu sah-sah saja. Sepanjang tidak ada klaim yang mana yang lebih valid atas pembacaan tersebut. Mungkin persoalan term dan strukutrasi yang dimaksud akan bernilai benar bila diuji dalam kerangka ilmu sintaksis. Yang jelas, pembacaan baru selalu menjadi 'karya yang lain'. Disitu mungkin istilah dialektika eksis.
Reply