[Resensi Buku] Obrolan Urban. Tiada Ojek di Paris
Judul : Obrolan Urban. Tiada ojek di Paris.
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Mizan
Cetakan : I April 2015
Tebal : 202 hlm
Harga :Rp49.000,00
Ini merupakan kumpulan esai Seno Gumira tentang masyarakat urban, terutama IbukotaIndonesia, Jakarta. Menurut penerbit, esai-esai ini sudah dimuat di dua buku : Affair dan Kentut Kosmopolitan dan juga majalah Djakarta. Meskipun buku ini kronologinya dari tahun 2000 sampai 2013 namun masalah-masalahnya tetap relevan sampai sekarang.
Obrolan urban ini terdiri dari 44 esai Seno tentang Jakarta dan masyarakatnya. Membaca buku ini mengingatkan saya dengan buku sejenis : Berhala Kontemporer, Ahmad Tohari (1996). Bedanya kalau Ahmad Tohari melihat dari titik amat agama dan kemanusiaan, terlihat dari judulnya (Berhala Kontemporer, renungan lepas seputar agama, kemanusiaan dan budaya masyarakat urban). Selain itu Kebetulan juga ada judul “Berhala” pada salah satu esai Seno ini.
Yang saya kagumi dari tulisan Seno ini adalah kelihaiannya memperhatikan hal-hal yang luput dari pengamatan saya. Barangkali karena Seno punya sensitivitas yang tinggi, sementara saya tidak. Mulai dari “Manusia Mobil”, “Intelektual Starbucks”, “Mode Kelihatan Pusar”, “Listrik Mati”, “Kebudayaan Gosip”, “Kepercayaan terhadap Media Massa”.
Pada “Manusia Mobil”, Seno menyentil kehidupan masyarakat Jakarta yang hampir sepertiga hidupnya dihabiskan dalam mobil (meskipun ia bukanlah seorang sopir angkot atau taksi).
Melihat ini saya menjadi ikut tersinggung juga, sebab meskipun yang disorot adalah Jakarta, sebenarnya itu juga terjadi pada daerah lain, dan bukan hanya fokus kepada daerahnya saja tetapi juga individu dalam masyarakat tersebut, misalnya zebra cross, ya jangan naif dengan membandingkan zebra cross di Jakarta dengan di Jepang, katanya. Pengalaman teman saya yang pernah ke Swedia bahwa dia pernah berdiri saja di pinggir jalan dan itu tidak terlalu dekat dengan zebra cross tetapi kendaraan bermotor semua berhenti padahal ia tidak mau menyeberang jalan. Kemudian Seno mengulang cerita itu dalam buku ini, dia pernah hanya bermain-main dekat zebra-cross, tetapi sama dengan kejadian teman saya itu, kendaraan berhenti untuk mempersilahkan lewat.
Melirik mode yang serba terbuka dan disebutkan oleh Seno, “Mode Kelihatan Pusar”membuat kaum adam jadi serba salah. Apa maksudnya baju demikian? Paha terbuka dan pusar telanjang? Bukankah juga akan bisa dilihat-lihat oleh mata telanjang? Tetapi jangan sampai itu dilakukan, karena akan ada konsekuensi yang tidak sesuai harapan: Si pemilik pusar akan berkata, “dasar pikiran jorok, kotor”.
Ya, ruang privat dan ruang publik sudah tidak jelas lagi di Jakarta, kota dengan masyarakat urban yang modern. Bahkan kata Seno sampai ada yang bercinta dalam mobil. Tidak salah sih, tapi itu kalau mobilnya di garasi rumah dan dilakukan dengan istri atau suami sah. Jangan di jalanan kota yang notabene adalah ruang publik. Silahkan bertelanjang, namun di dalam kamar masing-masing.
Kemudian masih dalam ruang privat dan publik, media lihai untuk mendapatkan untung dengan eksploitasi berita dan gosip. Kehidupan artis yang privat dibongkar demi berita dan rating tinggi ke publik yang dengan gampang keenakan menikmatinya. Bahkan jika ditarik ke masa sekarang, kata Seno hal ini makin menjadi-jadi: Kasus perceraian dan pernikahan yang diliput seharian, bahkan konon persalinan seorang artis juga tidak luput jadi komoditas berita live. Jangan-jangan, kata seorang komedian, nanti kalau anggota Koboy Junior sunat(khitan), akan ada juga siaran langsungnya.
Namun kelebihannya lagi di buku ini Seno tidak memberikan dua sisi hitam putih bahwa penyebrang jalan selalu benar dan pengendara bermotor selalu garang tidak peduli dengan zebra cross. Orang-orang juga menyeberang jalan seenaknya, baik di zebra crossmaupun tidak, dan bahkan ada juga yang menyeberang di jalan tol.
“Mau menyeberang? Gua dulu, dong!” atau “Sedang menyeberang? Gua tabrak baru tahu lu!” Hal itu terasa sekali pada diri saya, bahwa untuk menyebarang di Bandung amat susah kecuali di zebracross yang ada lampu merahnya. Para pengendara tentu tidak berani, bukan karena takut kecelakaan, melainkan takut ditilang Polantas. Oh ya, untuk memberi tahu saja, teman saya setelah kembali ke Indonesia dari Swedia, akhirnya jadi takut campur cemas saat menyeberang jalan di Bandung.
“Kota bukanlah hutan beton, kota adalah kebun binatang manusia” Desmond Morris, The Human Zoo, 1969.
Identitas manusia sebagai makhluk sosial Indonesia yang ramah-tamah dan gotong royong yang mungkin hendak dipertanyakan Seno dalam kumpulan esai ini.
Perilaku manusia seiring perkembangan kota menunjukkan siapa manusia sebenarnya. Karena waktu adalah uang maka semua kegiatan harus dilakukan seefisien mungkin, nyetir sambil menelpon dan sambil menyetel lagu bisa juga sambil sarapan, atau multitasking yang lainnya. Sebab barangkali memang uang sudah menjadi Tuhan bagi masyarakat modern - Kukuh Samudra- .