[Resensi Buku] Antologi Puisi Isyarat oleh Kuntowijoyo (1974)
Resensi Buku
Antologi Puisi Isyarat oleh Kuntowijoyo
Judul :
Isyarat. (Sajak-sajak 1974)
Penulis :
Kuntowijoyo
Penerbit :
Pustaka Jaya
Cetakan :
I, 1976
Tebal :
84 hlm
Harga :
Lupa
Dalam “Maklumat Sastra
Profetik”-nya Pak Kunto menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah
sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari
penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari
tangkapan saya atas realitas “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra
ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah
sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”
Apa yang dinyatakan oleh Pak Kuntowijoyo
di atas adalah sebuah pilihan di tengah aneka ragam pilihan yang ada di dunia ini.
Jadi, jika orang lain boleh memilih paham yang lain, kenapa Pak Kuntowijoyo
tidak boleh memilih suatu pilihan yang lahir dari kejujuran hati nuraninya?
Selagi ia memilih dan mewujudkan pilihannya tanpa maksud memaksa dan merugikan
orang lain, itu sah saja dan bebas dengan pilihannya itu. Apa lagi, sastra itu
untuk ibadah, untuk pencerahan dan kemanusiaan. Tentu tidak ada orang lain yang
berhak menghalanginya. Kalau sekadar tidak setuju, silakan! Sebagaimana Pak
Kuntowijoyo tidak ingin membredel paham orang lain yang berbeda dengannya.
Pandangan-pandangan yang lain
yang berbeda bisa melakukan dialog dengan pandangan Pak Kuntowijoyo, juga
dengan pandangan-pandangan lain karena perjalanan kebudayaan adalah dialog
kreatif tak kunjung berhenti.
Kenapa sastra sebagai ibadah?
Menurut Pal Kuntowijoyo, Islam yang utuh itu harus meliputi seluruh
muamalahnya. Pak Kuntowijoyo berangkat dari firman Allah dalam al-Qur’an:
“Masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (Q.S. 2:208).
Pengarang yang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal,
tetapi pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah, menurut Pak
Kuntowijoyo, Islamnya belum kaffah.
Pandangan itu bisa dirujuk dengan
tauhid, meskipun dalam maklumatnya Pak Kuntowijoyo lebih sering menyebut iman,
kaffah, profetik dan lain-lain. Tauhid di sini, tidak saja menyembah
satu-satunya Dzat Tuhan, satu-satunya Pencipta alam semesta, yaitu Allah. Lebih
dari itu, tauhid bermakna menomorsatukan nilai-nilai yang dari Allah.
Alasannya, karena manusia itu milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Pak Kuntowijoyo tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri karena
itu ia harus muslim (menyerah, damai) kepada Allah.
Buku Isyarat adalah kumpulan 72
sajak yang beliau tulis selama bermukim di Amerika, yang sebahagian besar belum
pernah dimuat dalam majalah. Dalam sajak-sajaknya ini, terasa benar ia banyak
mempersoalkan hidup dan kehadiran manusia dari segi filosofis, bahkan jika
melukiskan keadaan kotapun ia berusaha mencari dan melihat latar belakang yang
lebih jauh lagi.
Mendapati kenyataan bahwa Pak
Kuntowijoyo tak hanya berkreasi dengan cerpen sedahsyat “Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga”, “Sepotong Kayu untuk Tuhan” tetapi juga merambah ke ranah puisi,
ya baru kutahu setelah membaca buku ini.
Dari 72 puisi yang ada, kehadiran
yang transenden –yang biasanya lekat pada tema-tema cerpen Kuntowijoyo– hanya
hinggap di beberapa puisi-puisinya seperti puisinya berjudul “Bangun-Bangun”
cerita tentang Engkau yang bicara pada awan, pada manusia, pada Pak Kunto. Aku
suka kutipan ini:
“Tiba-tiba Engkau campakkan isyarat:
Bangun-bangun”
Atau puisinya yang berjudul “Perjalanan ke Langit” yang
dibuka dengan kalimat semenarik ini:
“Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
kereta cahaya ke langit”
Sedang yang lain, seperti puisi berjudul “Vagina” memiliki
keunikan dari segi tema.
VAGINA
Lewat
celah ini
engkau mengintip
kehidupan.
Samar-samar
dari balik sepi
bisik malam
menembangkan bumi.
Engkau tidak paham
mengapa laut tidak bertepi
padahal engkau berlayar setiap hari.
Tutup kelopak matamu
bulan mengambang
di balik semak-semak.
Menantimu.
Misteri itu
gugur
satu-satu
setiba engkau di sana
merebahkan diri.”
Tema yang lain, seperti seks seperti pada puisi “Zina” dan
“Perempuan Tak Setia” juga menarik, lalu Pak Kunto juga bicara cukup sering
tentang rahim, kelahiran, dan perkawinan. Semua seliweran di buku ini, dibalut
dengan filosofi beraliran sufi. Yang suka puisi bolehlah baca Isyarat. Sekian