Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem
Postmodernisme a la Derrida,
Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem
“ Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh
sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”-Nietzsche-
Apa itu
postmodernisme?
Sebuah anekdot lucu berpendapat.
Postmodernisme adalah ketika kau bermain bola di lapangan dan terserah mau
membuat gol ke gawang siapa(sebab modernisme hanya menginginkan kau untuk
membuat gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan).
Jangan dikacaukan dengan : Bermain bola di lapangan tapi terserah ingin
memainkan apa. Entah itu menulis puisi, bermain skak atau sholat dhuha. Sekilas begitulah postmodernisme.
Barangkali ada lagi anekdot
menarik. Jika modernisme mengartikan postmodernisme, maka modernisme akan
berkata : dia (postmodernisme) terdiri atas 2 akar kata post, modern (isme
tidak dimasukkan). Post berarti setelah dan modern berarti modern.
Postmodernisme berarti isme setelah modern. Sementara postmodernisme sendiri dapat
memperkenalkan diri : “Saya adalah kata
yang tersusun atas huruf-huruf p,o,s,t,m,d,e,r,n,i,. Atau, Saya adalah apapun
yang kau pikirkan tentang Saya, sekaligus apa yang tidak kau pikirkan tentang
Saya.”
Sudah jelas bukan?
Biar sedikit bingung. Agar supaya tidak terlalu bercanda,
mari kita menyimak beberapa pandangan dari berbagai sumber berikut, dibawah ini
:
Lyotard dan Geldner : Postmodernisme merupakan lawan dari
modernismeyang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.
Postmodern adalah pemutusan secara total dari modernisme.
Derrida, Foucault dan Baudrillard : Postmodern adalah bentuk
radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan
teori-teori.
David Graffin : Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari
moderinisme.
Giddens : Postmodern adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri
dan menjadi bijak.
Habermas : Postmodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang
belum selesai.
Jacques Derrida
Beliau dapat disebut seorang
filsuf Prancis keturunan Yahudi. Derrida konon dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme—sebuah
ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa—Semua
kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang
sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida juga dikabarkan sebagai salah
satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Beberapa kata kunci filsafatnya yang
terpenting adalah dekonstruksi dan differance.
Dekonstruksi
Istilah dekontruksi untuk pertama
kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan
atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita
selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks
(dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut
sebagai logosentrisme. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang
berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkanbahwa filsafat barat seluruhnya
bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek
filsafat barat.
Differance
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha
menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan
“lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri
(presence-to- self)—yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau
ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain
dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya
sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika
dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses
perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak
akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian“tulisan” yang ingin
ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika
tentang tanda.
Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida
bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili
makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari
bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih
“istimewa” daripada ujaran.Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari
unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna
terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran
mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak
kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya
kaki (yang kita anggap sebagaimakna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis
dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya
persis sama dengan kata difference.
Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference, tidak hanya
dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat
tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini
Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.
Proses differance ini menolak
adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna
universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada
umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya
penjarakan (spacing), dimana apa yang dianggap sebagai petanda absolut
sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau
kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini
membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran”
ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan
begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu
kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang
bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti,
ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau
ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebasdengan perbedaan (to
differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan
dengan ketidakpastian.
Postmodern dan Positivisme
Nietzsche adalah tokoh postmodern
yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte,
subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual,
dapat diindra, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche, manusia tidak
tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek
itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68). Banyak pernyataan
bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui. Fakta kebenaran itu
tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan
dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak
itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas.
(ST.Sunardi,1999:180) sehingga bagi Nietzsche, kebenaran adalah suatu
kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.Tanggapan Terhadap
Postmodern Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan
persoalan yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi,
setiap orangmempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri
(berbeda-beda). Dalam perpektif,subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar,
namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain. Jika pada masa Modern,
manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada masa
Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas. Pada postmodern
ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (–isme) yang merupakan hasil
sinkretisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau
mungkin bahkan dalam kitab suci apapun, yang ada adalah kebenaran relatif,
kebenaran menurut masing-masing yang memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai
hakim penentu kebenaran, dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui
Kitab Suci yang diwahyukannya.
Derrida, melalui teori
Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika
ketidakberaturan atau semiotics of chaos.
Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan
makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam
proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap orang
bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas. Ruang makna
terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan
makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya
makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna.
Makna menjadi tidak berarti lagi. Fenomena postmodernisme ini memunculkan
berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak
lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek
pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenarantunggal dan sistem
mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian
juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak
individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim.
Mekanika Kuantum
Mekanika kuantum lahir atas
keisengan-keisengan. Segelintir manusia mengamati fenomena atom dan sub-atom
sehingga muncullah spekulasi seperti : mengukur berarti mengganggu. Mengukur berarti menciptakan benda dll.
Mekanika Newton diruntuhkan
Einstein lalu determinasi Laplace diruntuhkan Born-Heisenberg lewat
Interpretasi Copenhagen.
Ada yang menarik apabila mekanika
kita klasifikasikan. Dia seolah akan menjadi tiga dalam satu : Mekanika
Newtonian, Mekanika Relativistik, dan Mekanika Kuantum.
Mekanika Newtonian berpangku pada
beberapa hukum Newton. Hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Mekanika
Relativistik bergantung pada kerangka relativitas umum dan khusus. Sedangkan
Mekanika Kuantum berspekulasi pada kemungkinan dan fungsi gelombang Schrodinger.
Beberapa diktum dari mekanika
kuantum :
1. Tidak ada realitas selama ‘ia’
belum diukur.
2. Tidak ada pengukuran yang
dapat menghasilkan nilai yang pasti.(Asas ketidakpastian Heisenberg).
3. Segalanya adalah fungsi
probabilitas. Seseorang boleh menyatakan sebuah objek sebagai apa saja tetapi
harus bertanggung jawab terhadap tingkat kemungkinan objek tersebut (Fungsi
gelombang Schrodinger).
Dunia tidak lagi seperti yang
dipikirkan oleh Newton, yaitu dunia yang mekanis dan dapat diramalkan. Teori
Kuantum berpendapat bahwa kita tidak bisa memprediksi gerakan ataupun relasi
partikel-partikel atom ataupun sub-atom yang kita amati. Paling-paling, kita
hanya dapat memprediksinya sampai tahap probabilitas.
Dunia ternyata lebih indah. Apa
yang kita lihat bukanlah dunia yang sebenarnya, apa yang kita rasa adalah bukan
yang sebenarnya, sebab dalam yang sebenarnya selalu terkandung komponen
imajiner yang mengandung tidak sebenarnya.
Jodoh Objektif
Tentang jodoh yang tidak bisa
dijelaskan secara sains dan objektif. Jika pun hanya bisa dibuat
analisis-analisis yang singkat yang mencoba meraba apa yang terjadi sebenarnya.
Jangan-jangan istilah jodohnya itu adalah tidak berjodoh merupakan sebuah
penjelasan juga.
Ada kalimat bertuliskan, Al-Haqqu Minallah. Lalu apa kaitannya
dengan jodoh? Saya akan mencoba mencocoklogikan secara radikal melalui tulisan
ini. Kebenaran itu datangnya dari Allah. Saya berkeyakinan bahwa kebenaran
ilahi, kebenaran objektif itu : tiada akses, tiada jalan menuju ke sana. Tiada
kesempatan untuk mengkonfirmasi kebenaran ilahi. Akan tetapi, ada semacam
alternatif : kebenaran subjektif. Mengutip sang melankoli garis abadi Soren Aabye Kierkegaard, hakikat kebenaran
objektif itu tidaklah menjadi hal yang utama. Yang utama adalah relasi dengan
kebenaran subjektif sendiri. Seberapa kuat ia digenggam dan dipeluk. Nah dengan
jodoh, adakah jodoh objektif, jodoh yang memang ditakdirkan dari surga, diutus
untuk dirimu wahai pembaca yang khusyuk ? tidak ada akses, tidak ada jalan dan
semacam alat konfirmasi tentang itu. Pada ujungnya, ya, jodoh subjektif-lah
yang ada dan seberapa intim dan seberapa kuat kau mempertahankannya.
Tentang filsafat jodoh, sedikit
pendapat-pendapatnya ada di sini.
2 Puisi Untuk Suplemen
Giliran
Ada yang datang ada yang pergi
Ada yang hilang ada yang
mengganti
Narasi menjadi metanarasi
Sementara Tuhan masih tetap
sendiri
Bandung, 2015
puisi mekanika kuantum erwin schrodinger
Aku kini kucing dalam kardus
Dan kau adalah materi radioaktif
meluruh di sekitarku
Pilihanku cuma menunggu
Sesiapa Tuhan siap membuka
Aku ada atau tiada
Bandung, 2015
Diolah dari berbagai sumber,
mohon maaf bagi yang merasa tulisannya saya copas, sila dicopas lagi kalau
tidak setuju.