Resensi Novel Genesis
Resensi Novel Genesis
Judul : Genesis
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : INSISTPress
Cetakan : I, Juni 2005
Tebal : vii+203 hlm; 15x21 cm
Harga : Gratis. Pemberian Jaja Suharja Lampung
Bung Jaja Suharja adalah orang
yang memberikan novel Genesis ini kepada saya. Awalnya saya minta buku cerpen
Iwan Simatupang Tegak Lurus dengan Langit, akan tetapi kata beliau buku itu sudah
tidak ada di Perpustakaan Lampung. Jadilah ia mengirimkan buku ini. Karena
tabula rasa saya belum punya, buku Genesis yang merupakan novel kedua inilah
yang saya baca.
Genesis. Seperti nama sebuah grup
band rock 80-an. Aku tidak tahu apa artinya, yang jelas, ini adalah prerogatif
penulis untuk menjuduli karyanya apa. Oh ya aku sempat menggugling genesis itu
lebih kurang adalah daur penciptaan dan pembinasaan.
Genesis menceritakan tentang pergumulan seorang
perempuan dengan kehidupan. Pawestri namanya. Pawestri tumbuh dalam keluarga katolik yang taat. Saat
beranjak dewasa, usia 19 tahun ia jatuh cinta kepada seorang lelaki. Lelaki
inilah yang kemudian menjadi sumber malapetaka baginya, sumber konflik novel
ini. Lelaki ini menghamilinya sebelum mereka menikah dan pergi meninggalkan
Pawestri begitu saja. Mengetahui kehamilan anaknya sang ayah murka. Ia
menganggap peristiwa ini sebagai aib yang menimpa keluarga. Ia tidak bisa
menerima kenyataan. Pawestri dicoret sebagai anak oleh ayahnya, ia diusir dari
rumah. Bukan hanya dicoret Pawestri dihapus sebagai anggota keluarga, ia seakan
tidak pernah ada oleh ayahnya.
Ibu Pawestri juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Ia mesti tunduk pada suaminya yang keras itu. Ia hanya
menanggungkan pedih dalam diamnya.
Kepergian Pawestri menambah luka hati sang ibu. Seperti bakteri makin
menggerogoti dan mengunyah luka itu hingga bertambah dalam. Hingga jiwanya
terganggu. Ia selalu menganggap Pawestri ada di rumah itu. Hadir diantara
mereka. Ibunya di bawa ke rumah sakit jiwa.
Pawestri yang diusir itu tinggal
di sebuah rumah kost. Ia masih mempertahankan jabang bayinya. Ia punya pilihan
untuk aborsi tapi tidak ia lakukan.
Melalui sebuah iklan ia berhasil
menemukan seseorang untuk melahirkan bayinya dengan bantuan dukun. Seorang
wanita, Sawitri menawarkan rahimnya bagi janin itu dan berkat bantuan sang
dukun, pemindahan itu berhasil. Setelah melahirkan anak itu diberi nama Noah.
Setelah janin itu terpisah dari
tubuhnya, Pawestri mesti memilih kehidupannya. Ia bergulat dengan pilihan hidup
dan kesalahan masa lalu memburunya dari belakang.
Untuk meredam itu Pawestri
memutuskan untuk menyerahkan hidupnya pada Tuhan saja. Ia ingin menjadi abdi
yang abadi.
Melalui perjuangan yang panjang
Pawestri akhirnya menjelma menjadi seorang biarawati atau suster. Setelah
beberapa tahun berkaul, Sr. Maria Faustina, nama pembabtisannya, ia diutus ke
Ambon.
Dengan kaul kemurnian aku telah berjanji hidup murni tidak menikah demi
kerajaan Allah. Aku telah dibebaskan dari kekerasan hati, dari keinginan tak
teratur untuk memiliki orang lain, dari ketakutan mederita, dari iri hati dan
dengki, dari ketakutan dan kesepian, agar aku bisa mengabdi total dan memiliki
sikap lepas bebas dan penyangkalan diri
Tapi tubuhku berkata lain ! (Ratih Kumala : 2005)
Di Ambon waktu itu sedang
tersulut konflik atas nama agama. Maria Faustina mesti awas terhadap hal-hal
kecil yang dapat saja merenggut nyawanya. Kedatangannya sebagai seorang suster
tentu lekat dengan identitas yang kentara. Namun dengan kekuatan tekad ia bisa
meyakinkan dirinya.
Pergulatan hidup Suster Faustina
tidak berhenti di sini, malah inilah menjadi titik kritisnya. Peristiwa
penyerbuan perkampungan muslim oleh orang-orang kristen membuat ia kembali
mempertanyakan, dimanakah Tuhan? Mengapa Ia membiarkan hal ini terjadi?
Matanya terbelalak menyaksikan
kesadisan terjadi. Dan dengan demikian ia serasa dilanda gempa keimanan.
Kemudian Suster Faustina yang terjebak di permukiman muslim itu menyelamatkan
seorang bocah. Dan kemudian bertemu dengan rombongan bantuan kemanuiaan kapal
srigunting
Akan tetapi terjadi lagi
pergulatan dalam dirinya bahwa demi menaiki kapal itu ia mesti menanggalkan
seluruh identitasnya sebagai biarawati. Ia mesti mengganti bajunya, melepas
kalung rosarionya. Suster Faustina tidak punya pilihan lain.
Dan di dalam kapal inilah
akhirnya Faustina mengakhiri proyek eksistensialnya.
Novel ini mempunyai daya filosofis
yang kuat. Berbasis realitas yang dimunculkan dipertontonkan pula kemenjadian
Pawestri menghadapi kebebasan eksistensialnya. Pergulatan iman, interaksi
spiritualnya, kemanusiaan, keterusan ia dalam menjalani hidup. Ketabahan dan
kekuatannya dalam takdir. Pawestri mesti ‘berhadapan’ dengan laki-laki. Lelaki
yang pergi meninggalkan dia dan Ayah yang mengusirnya.
Laki-laki angkuh itu lalu pergi entah ke mana, meninggalkan aku yang
tengah berbadan dua. Pada saat yang sama diusir pula aku dari rumah. Aku bukan
lagi anak, jelas bukan isteri orang. Aku hanyalah: perempuan. (Kumala, 2005:
11)
Pawestri mencapai badai
pengarungan spiritualnya seperti tertunjuk dalam monolog berikut :
Jangan Kau reka sebuah skenario yang membuatku jatuh tak percaya
pada-Mu Tuhanku…
Telah lama aku menaruh curiga, dan tak cukupkah hukuman yang diberikan
kepada manusia?
Bukankah Kau telah dengan sengaja menciptakan kami manusia sebagai
boneka mainan-Mu dan menjanjikan Surga atau Neraka bagi mereka yang
mengimani-Mu dan yang tidak mengimani-Mu? (Kumala, 2005: 124)
Jika Kau benar ada, lindungi aku… (Kumala, 2005: 125)
Alur novel ini maju-mundur. Awal novel dibuka dengan kisah Pawestri
sebagai Suster Faustina yang mengunjungi sang Ibu di Rumah Sakit Jiwa di
Jakarta. Kemudian mundur ke masa lalu Pawestri dan maju lagi sampai akhir hayatnya.
Dengan teknik penceritaan yang seperti puzzle
berserak. Lama-kelamaan pembaca akan dapat menerima kepingan dan potongan
informasi tentang kisah Pawestri itu. Gaya bahasa yang mengalir dengan lepas,
tidak terlalu tinggi tidak pula terlalu banyak cakap, dan mudah dipahami.
Sepertinya penguasaan penulis tehadap tema ini sangat mendalam sebab ia cukup
banyak mengeksplorasai bahasa-bahasa keagaamaan dan penyisipan kisah-kisah yang
dinukil dari kitab suci sebagai hal-hal yang menguatkan daya filosofis dan
estetis novel ini
Butuh kesabaran untuk mencerap
realitas yang disuguhkan novel ini. Dengan penceritaan yang terkesan lambat dan
agak tenang, tetapi sebenarnya ada pergolakan arus di bawah. Maksud saya
konflik yang terjadi adalah dalam eksistensi Pawestri itu amat hebat. Bahkan
tragis. Tragik-tragik yang dialami oleh Pawestri seolah membuat saya sebagai
pembaca inginkan sebuah keajaiaban terjadi padanya di akhir novel. Agar
Pawestri dibalas dengan kebahagiaan dan keindahan. Tapi mungkin disitulah letak
keindahan kehidupan di saat tragedi itu lahir dan manusia mesti mencintainya.