Catatan Liburan Akhir Tahun 2015
30 Desember 2015
Hari itu hari penuh rindu. Kepada
apa aku tak tahu. Mungkin atas nama kesendirian yang mencapai selaput
kekekalan. Dua hari yang lalu aku membincangkan dengan Okie, saudara
seperguruan sepertrongkrongan tentang rencana berlibur ke kota Yogyakarta dan
bertahun baru di rumah saudara Kukuh Samudra. Kemarin Okie sudah berangkat,
menyusul Haris dan Jul yang sudah mendahului berangkat ke Jogja. Okie, menurut
penuturannya, ke Tasik dulu hadiri acara keluarga dan kemudian ke Jogja. Aku
pun mempersiapkan diri. Pokoknya besok ke Jogja. 30 Desember penghujung tahun
yang ngepas bila diputar lagu
Malam-malam di Beranda Franky Sahilatua.
Aku dapat pesan via Line dari
sahabat penjual buku di Balubur. Kumpulan cerpen Daun-daun Bambu Yasunari
Kawabata sudah tersedia di tokonya. Aku segera merapat. Kuambil satu dan
kubayar. Aku menceritakan tentang rencanaku ke Jogja, beliau pun memberi saran
bahwa sebaiknya naik di Cibiru saja, di PO Budiman biar tidak transaksi dengan
calo. Aku amini. Aku pulang ke kosan.
Datanglah sms dari Kang Syafiq
mahasiswa pecinta alam dari Unpad itu, katanya dia tertarik dengan buku Mangir,
ya intinya dia mau beli. Aku balas, besok saja siang kalo bisa sebab sore aku
mau ke Jogja. Hehehe. Beliau menyanggupi.
Hari yang cerah jam 2 aku bertemu
dengan Kang Syafiq dan bertransaksi. Setelah selesai aku segera naik angkot
jurusan Caheum-Ledeng. Itulah angkot hijau yang waktu itu sedang mengetem di
depan gedung rektorat ITB, diapit Baltos dan gedung berlambang gajah duduk
pemalas itu. Sebelumnya aku sudah menyiapkan baju, celana dan pakaian dalam,
serta tentu saja uang. Sebelum berangkat. Transaksi dengan Kang Syafiq cuma
suatu hal yang kutunggu sebelum berangkat ke Jogja, pemantik, ya boleh juga.
Rencananya, aku akan naik
Caheum-Cibiru sesampai di Caheum (kalau ada angkot jurusan itu) dan pesan tiket
Bus Budiman ke Jogja. Aku tiba di terminal Caheum sekitar jam 3 sore. Aku naik
Caheum Cileunyi, sebab untuk ke Cibiru itulah angkutan kota yang tersedia. Aku
setuju saja. Aku naik dan sebagai penumpang yang pertama. Angkot yang tadinya
mengetem itu mulai merangkak perlahan. Setelah hampir sejam perjalanan (aku tidak
benar-benar mengukur waktu), aku sampai di Cibiru, dan kutanyakan dimana itu PO
Budiman, Bapak-bapak yang sedang nongkrong itu menunjukkan jalannya. Lurus saja
belok kanan di perempatan, disana ada plakatnya. Oke terima kasih Bapak.
Sesampai di PO, aku menanyakan
adakah tiket? Setelah sebelumnya buang air kecil dulu dan bayar 2000. Sudah
habis katanya. Dia menyuruhku ke terminal Caheum dan berkata, siapa tahu masih
ada. Aku lalu bertanya apakah ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Mengingat
perjalanan Caheum Cibiru itu cukup lama(sebab kecepatan angkot yang sangat
tidak cepat). Tidak.
Dengan agak kesal bercampur harap
aku memutar badan, jalan ke simpang ke angkot. Aku lalu mengecek Go-Jek. Dan
ternyata tarif ke Caheum 20Ribuan. Aku jadi urung. Mending naik angkot saja.
Aku akhirnya memutuskan naik angkot saja, menimba ilmu sabar juga. Dengan
kecepatan sekitar lima belas kilometer per jam angkot membelah jalanan cibiru,
melewati UIN dan keramaian. Seperti pisau majal yang tengah memotong bawang.
Huh. Hahaha.
Sekitar jam setengah lima angkot
hijau yang pelan itu sampai juga di terminal Caheum aku lekas masuk ke loket.
Dua hal yang ada dipikiranku waktu itu, harga tiket Bandung-Jogja 110Ribu dan
aku mesti berangkat hari ini. Seorang agen menawari 170 ribu , tetapi dengan
bangku semacam tempel dekat sopir. Aku menolak. Lalu aku ke bapak yang tengah
asik menulis karcis bertulis Budiman di atasnya. Pak ada tiket ke Jogja? Untuk
Hari ini? Iya. Sudah habis. Tapi kalau
mau naik Bandung-Wonogiri saja, berangkat jam 5, nanti diturunkan di jogja.
Muncul secercah harapan bagiku. Bisa ya pak? Lewat Jogja kah? Aku bilang : saya
mau ke UGM, itu spontan kuucapkan sebab pikirku UGM itu dekat aksesnya
kemana-mana dan kawan-kawan yang sudah di Jogja tidak akan kesusahan mencariku
bila sudah tiba di UGM. Bisa nanti ngomong aja ke sopir. Pak tolong dikasih
tahu ya. Aku memberi penekanan. Ya. 135 Ribu. Bukannya 110 Pak? Itu kalau ke Jogja
Dek, ini ke Wonogiri. Aku tidak ingin berdebat bahwa aku ini cuma sampai Jogja,
yang penting karcisnya aku dapat, tiket atau karcis sama saja. Dia menulis
namaku sambil menukas, nanti dapat makan. Oke ini sesuai dengan perkataan Kang
Deden, Budiman itu dikasih makan. Hmmm. Tiket sudah ditangan aku segera menuju
bus. Di dalam terminal.
Aku mengecek bus itu. Terkunci,
namun ada seorang berdiri disana. Bertanya, mau kemana Dek? Mau ke Jogja Kang,
disuruh naik ini. Oo...lalu ada beberapa kalimat yang membuat aku merasa kurang
percaya diri, mestinya naik ini itu saja. Nanti turun di sana. Naik ini. Lebih
dekat. Tapi aku mencoba yakin, biar saja, ini juga nanti sampai Jogja kok.
Tekanku dalam hati. Aku cemas sedikit melihat bus ini belum ada isinya dan
terkunci. Gagalkah? Ditipukah? Aku ingin mencoba membuka, terkunci. Lalu aku
ingin ke tempat karcis. Dan sebelumnya bertanya kepada si Kakang, dikunci ya Kang?
Engga. sudah ada orangnya? Sudah didalam. Tiba-tiba dia membukakan pintu,
ternyata membuka pintu bus tidak ada tekniknya. Bodohya aku, pantas belum
pantas dapat gelar sarjana.
Aku masuk ke dalam dan mencari
tempat duduk, tidak ada nomornya jadilah aku mengira-ngira saja. Diluar aku
mendengar ada yang bertanya kepada seseorang yang sedang mencoba menyetel musik
dalam bus. Aku mengasumsiannya adalah sopir. Sambil menelepon ia dengan headset masih tercantol di sebelah
telinga kirinya. Dia menjawab, ya, nanti turun di Gamping. Dua orang itu masuk
dan aku bertanya, mas turun di Jogja ya ? Iya. Oke kita sama kataku. Nanti
tolong ingatkan ya. Saya juga ingin ke Jogja. Kami berkenalan dan ternyata dia
adalah mahasiswa S2 di UPI Bimbingan Konseling. Aku sendiri mereka berdua.
Asik. Aku sekarang merasa aman.
Bus yang katanya berangkat jam 5
itu baru beranjak dari terminal sekitar jam enam. Sebelumnya seisi bus sudah
dihibur oleh pengamen dan penjual makanan dan power bank. Aku membeli tahu sumedangnya. Dan aneh aku beli 5000
katanya dapat sebelas cuma ada delapan. Penipu.
Tidak
hanya orang besar yang menipu di negeri ini, pedagang kecil juga banyak yang
tidak jujur.
Aku
kemudian tidur. Dan bangun-bangun bus ini sudah terjebak macet saja di jalan
A.H Nasution. Lalu sekitar jam tujuh sampai di PO Budiman di Cibiru. Bus ini
menaikkan penumpang lagi. Aku yang tadi sendirian sekarang sudah ada teman. Dia
seorang perempuan berjilbab yang disuruh pulang oleh orang tuanya. Padahal baru
tadi pagi sampai di Bandung. Dia mau ke Kebumen, aku jadi punya prasangka buruk
ada keluarganya yang meninggal. Huh. Aku tidur lagi. Lalu Bus ini berhenti
untuk makan di Ciamis. Tidur lagi dan setelah subuh, aku turun di Pasar
Gamping. Jogja.