Refleksi 2015
Refleksi Kehidupan
Belakangan
Belakangan ini aku merasa ada
yang monoton dalam kehidupan ini. Apakah arti dari kemonotonan? Ya salah satu
bentuknya adalah kehidupan yang makin ramai dengan pertanyaan. Dan entah kenapa
pada suatu saat aku menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah perlu.
Akan tetapi di suatu saat yang lain, aku juga menganggap hal itu adalah hal
yang esensial. Dan apa itu yang perlu? Mengapa harus ada yang perlu dan tidak
perlu? Samakah ia dengan kebutuhan? Yang bila tidak terpenuhi dapat menyebabkan
luka atau kehilangan eksistensial ? Tiga kata : aku tidak tahu.
Beberapa bulan terakhir ini
melalui unit LS aku berkenalan dengan sesuatu yang baru. Baru bagi diri ini.
Dunia yang sebelumnya tidak pernah terbayang. Mulai dari manusia nihilis,
sampai ajaran dan aliran sampai manusia yang mengaku sebagai dinamit. Ah
manusia, memang kadang-kadang suka Maha Ngaku. Sebut saja nama seniman yang
tidak jelas itu : senartogok (sebab
kalau jelas, ilmuwan lah namanya).
Manusia ejawantahan Mersault tahun 2015 di ITB. Choirul Muttaqin. Ikhwan
Abdul, matematikawan matriks mimpi, Kukuh
penjual buku mahal dan jujur, Ofek
dan kawan-kawan lain yang belum disebutkan namanya.
Aku tidak tahu apa yang aku ingin
dan mau sebenarnya. Akan tetapi aku hanya dapat memperoleh dampak dan
pengaruhnya. Apa itu? Aku makin haus dengan ilmu. Aku mulai membuka buku dan
membacanya satu per satu. Meskipun tidak paham aku akan tetap terus membaca.
Dan terus membaca. Iqra’ aku menghubung-hubungkan firman Tuhan kepada Muhammad
ini dengan kegiatan membacaku ini.
Selain suasana kehausan, aku juga
dilanda iklim berkarya. Ego diriku seolah ingin terus bersama mengeluarkan
karya-karya tulisan yang kemudian ku posting di blog pribadiku. Berlomba dalam
kebaikan bersama senartogok.com,
wartamerta.com, phusiz.tumblr.com(sekarang sudah dot kom). Entahlah apakah ini kebaikan yang sedang
aku kerjakan atau tidak. Meskipun hanya puisi-puisi kelas sampah dan
catatan-catatan yang buruk, aku harus menerima mereka : karya-karyaku sebagai bagian dari diriku yang pernah dan
masih akan bersamaku.
Dunia kecil ini acap melantunkan
diskusi, meskipun kecil tetaplah kecil. Biasanya diskusi-diskusi ini bertemakan
random, nanti aku akan postingkan poster-posternya. Tentang tujuannya aku tidak
begitu paham. Namun dampaknya terasa,
ilmuku seolah bertambah dan relasiku dengan kawan-kawan semakin dekat. Dalam
diskusi-diskusi ini kami menggunjingkan Sokrates, Plato, Aristotles,
Kierkegaard, Hegel, Nietzsche, Heidegger, Husserl, Sartre, Camus, Foucault,
Derrida, Lyotard, sampai orang-orang macam sekarang : Iwan Fals, dan
kawan-kawan sendiri. Kami saling bertukar bacaan. Dan kalau kau ingin melihat
hasilnya ada didokumentasikan oleh kawan Adit. Kahim Matematika itu.
Aku ingin menamakan
kegiatan-kegiatan itu dengan kegiatan pura-pura. Pura-pura berfilsafat,
pura-pura berintelektual dan pura-pura kritis, sebab hakikatnya manusia adalah
hamba Tuhan.
Relasi dengan Lawan Jenis Sebagai Proyeksi Diri
Aku dengan segala pengetahuan dan
informasi yang kuperoleh memang sulit dekat dengan manusia lain. Terutama
dengan perempuan sebagai lawan jenisku. Padahal lawan disini harus dan mestinya
dijadikan kawan. Beberapa kawan-kawanku (sealmamater SMA) berpendapat bahwa
faktor sistem pendidikan SMA-ku. Kata sebagian mereka, model pendidikan karakter
yang dijalankan di SMA ku ini membuat kemampuan interaksi antara laki-laku dan
perempuan menjadi kurang. Sebab rumit. Dan aku merasa kagok juga. Barangkali
tesis ini tidak sepenuhnya benar. Dan tentu tidak sepenuhnya salah. Bagiku yang
jelas adalah dampaknya. Aku berdiri di dunia yang kemudian begitu dinamis
dengan relasi hubungan laki-laki dan perempuan. Pada beberapa waktu lalu aku
sudah mengeposkan tentang kisahku yang tragis dengan perempuan lewat judul sekelingking cerita perkenalan. Kali ini
aku ingin cerita yang lain. Sebelumnya mungkin akan kubuka dengan tragik
seorang kawan bernama Heru, yang dikenal dengan Romo Heru.
Heru punya pacar, namanya Lydia.
Wanita, cantik, mahasiswi ITB, pintar dan baik. Heru berbahagia dan begitu
menikmati hubungannya dengan Lydia. Perasaan getar cinta itu merambat ke
sekujur tubuh dan batin Heru. Kemesraan mereka lalui melalui obrolan,
percakapan, jalan-jalan berdua, pegang-pegangan tangan, dan nonton bioskop-an.
Ya seperti dua kekasih yang sedang memadu cinta seperti umumnya. Hingga pada
suatu saat kemesraan itu jatuh pada titik kritisnya. Lydia bilang ke Heru bahwa saatnya rehat sejenak. Memberhentikan kemesraan-kemesraan itu. Lydia
menurut penuturannya ingin berfokus kepada kuliahnya. Heru agak berat namun
tetap harus menerima permintaan Lydia ini. Bahasa anak kekinian adalah putus.
Dan alangkah terkejut dan sakit hatinya Heru begitu mengetahui sebulan setelah
putus ini, Lydia pacaran dengan lelaki lain. Berfokus bermesraan dengan pria
lain.
Nah aku juga tidak tahu apa
maksud dan tujuan menceritakan perihal Heru tersebut. Mungkin hanya tragik,
ingin menyaksikan Heru sedih dan mempertontonkannya kepada pembaca catatan
ini.
Sekitar bulan apa aku lupa. Aku
punya kawan baru (susah-susah orang sepertiku
punya kawan) apalagi dari golongan kaum Hawa. Sebenarnya aku tidak tahu
apakah dia kawanku atau tidak. Yang jelas kutahu adalah aku menganggapnya
begitu. Masalah aku bagi dia, terserahlah. Hawa ini namanya Hadne. Beliau
adalah yang beliau perbuat. Ah, konkretnya dia ini mahasiswi Unpad. Berasal
dari propinsi Jawa Barat. Tubuhnya mungil berkacamata dan menutup aurat. Namun
demikian, aura kecantikannya tetap terpancar dan berkeciap.
Awalnya beliau ini selaku panitia
pegelaran GSSTF ingin memberian undangan kepada unit LS ITB. Yang baru kumasuki
setahun belakangan. Gara-gara bos Kukuh sedang sibuk, maka akulah yang menerima
undangan tersebut. Ya undangan ini kuterima setelah aku dan Hadne bertemu pada
saat itu didepan kampus ITB. Aku juga memberikan catatan kecil tentang acara
pagelaran gsstf itu. Sebagai semacam respons dan umpan balik. Dan sudah ku-posting juga di blog ini. Hadne ini
menurutku adalah kawan yang pandai dan terampil. Pandai bicara dan juga melucu.
Sebenarnya bila ditarik sebuah garis khayal ada kesamaan kami : baca. Makanya
dalam perteman selanjutanya aku menghadiahi Hadne 2 buah buku. Dan beberapa
koleksi film dari harddisk-ku yang
sekarang tengah mati suri (antara rusak dan hampir rusak). Nah tidak tanggung
menanggung, 2 buku itu adalah Sejarah Filsafat Barat Bertrand Russell(buku yang
tidak isinya saja berat, tetapi beratna juga sebab tebal lebih dari 1000
halaman) dan Humor filsafat Plato ngafe bareng singa laut. Tampaknya dia
senang. Aku juga ikut. Pada keseharian selanjunya, teknologi menjembatani kami
untuk mengobrol. Semakin terasa bagiku kehangatan Hadne ini. Sampai saat-saat yang mengguncang itu
terjadi. Ah ditangguhkan dahulu. Ada sesuatu hal baru yang ingin kucoba
semenjak menjadi kawan Hadne ini. Aku
menempuh kursus Perancis di UPT bahasa kampus. Apa tujuannya? Tidak tahu,
mudah-mudahan dapat ilmu baru.
Aku sering berucap dalam hati.
Sampai menuliskan bagaimana mungkin seseorang (aku) yang sudah bersalaman
dengan eksistensialisme masih saja dirundung mauvaise foi (bad faith)
dalam dirinya. Prasangka, pikiran jelek ini seharusnya sudah dibuang semenjak
membaca eksistensialisme. Pikiran-pikiran buruk (prasangka buruk) itu muncul
pada saat-saat aku mulai terguncang. Kasus-kasus sederhana membuatku merasa
goyah eksistensial. Misalnya chat-ku
yang tidak dibalas selama 2-3 hari. Atau sms-ku yang tidak dibalas selama
seminggu. Muncul prasangka-prasangka buruk yang seharusnya sudah sirna sejak
dahulu. Namun apa daya, barangkali
dengan ekspektasiku yang terlalu
tinggi ini saat berjumpa dengan realitas menyebabkan begini. Misalnya, muncul anggapan perbandingan : padahal dulu Hadne ini terlambat balas chat saja,
dia itu minta maaf. Mau memutus atau mengakhiri obrolan juga dia pakai minta
izin. Ya semua kondisi serba sahaja itu. Ah. Aku mulai sinis juga pada diriku.
Heru dan Lydia saja yang sudah mengecap kemesraan bersama berakhir tragis. Huh
asra. Kau sendiri yang bilang dirimu itu adalah putaran hasrat dan pasrah di
garis waktu.
Setiap manusia punya prioritas-prioritas
pilihannya. Jadi, kebebasan termanifestasi dalam bentuk pilihan-pilihan yang
ditentukan dalam menjalani kehidupan dan
tidak boleh ada penyesalan di dalamnya. Carpe diem kata seorang penyair Yunani(Horace).
Raihlah hari ini. Setiap diri mesti menjalani proyek kehidupannya
masing-masing. Tak peduli proyek itu akan gagal atau berhasil, yang penting final
dan dihajar sekuatnya. Matilah yang menjadi pengakhir proyek tersebut. Ia mesti
final dan berhenti ketika mati, kecuali konsep pahala dan amal jariah yang ada
dalam agama islam. Oh ya frasa carpe diem
itu adalah yang kuperoleh dari Hadne saat kami tengah mengobrolkan Albert Camus
dan Sartre. Akhir-akhir ini aku tertimpa kemurungan entah kenapa. Aku jadi
terhanyut dalam aliran sungai melankolik.
Tulisan, karya yang dimuat dalam
blog pribadi 3 bulan terahir ini. Aku memaksa diri merutinkan posting di blog, terutama resensi buku.
Bulan oktober kemarin aku punya proyek menyelesaikan bacaan-bacaan
eksistensialisme . Buku tentang Kierkegaard, Heidegger, Sartre, Camus, Fuad Hassan
dll. mulai kubaca. Lalu kutuliskan resensinya (sebagian kecil sudah kuposting
di blog pribadi ini). Namun aku merasa proyek itu gagal karena tidak semua buku
kutamatkan. Aku cepat bosan. Juga jangan-jangan ini hanya pelarianku saja
terhadap keseharian yang lain.
Beberapa (3 bulan terakhir) ini
juga aku selalu menulis puisi kepada kawan-kawan alumni SMA yang ulang
tahun. Semuanya yang kutulisi ini adalah
perempuan. Memostingnya di grup line angkatan. Beberapa, eh semua mereka suka
dengan puisi-puisi itu. Tapi entahlah mereka sekadar belas kasih saja atau
memang jujur. Tidak akan kupermasalahkan. Yang penting puisiku jadi dan punya
ikatan emosional denganku. Tentang
eksistensialisme menjadi topik atau kerangka atau bangunan utama karya-karya
puisiku akhir-akhir ini. Dihubungkan dengan
pencarianku akan hakikat relasi dengan lawan jenis. Barangkali aku sudah overthink atau offside atau tidak juga, aku salah menilai diriku, siapa yang tahu?
Siapa dapat menilai? Huh yang jelas aku makin larut dalam keseharian. Dalam
puisi dan catatan-catatanku aku merasa semakin individualis saja. Aku seolah
memusatkan segalanya bagi kebebasanku. Aku juga tidak tahu mengapa. Mudah-mudahan
aku selalu dimudahkan Tuhan.
Relasi dengan
kawan-kawan SMA
Seperti biasa, aku makin intens
berkumpul bersama mereka. Nongkrong, ngobrol, mainkartu sambil saling tertawa
dantidak jarang saling menghina. Hidup
yang begini-begini saja. Baru-baru ini
ada prosesi upacara wisuda kawan-kawan ITB sehingga kawan-kawan dari Jakarta
datang sekompi. Kawan yang baik meluangkan waktu dan adanya buat kawan yang
lain. Mereka (rombongan dari Jakarta ke Bandung ) menyewa satu unit mobil dan
mengisinya penuh. Berangkat dari
Jakarta menuju Bandung dengan Didit
sebagai driver andalan. Nanti akan kuceritakan spesial mengenai cerita itu.
Tiga kata. Tertawa, ngobrol dan nongkrong.
Hubungan dengan
keluarga
Aku merasa sepertinya makin
jarang menelpon ibu dan kakak. Sedangkan si adik, lumayan sering me-sms
ku. Aku merasakan makin ada jarak dengan
keluarga. Aku seolah menjauh dengan kurangnya intensi relasiku dengan mereka
nun jauh di Pulau Sumatera. Meskipun demikian, aku tetap menelpon dan sesekali
me-sms ibu.
Kegiatan ekonomi,
hunting buku, jual buku, beli buku,
pinjam uang, dan upaya penghematan
Setelah pulang kemarin(libur
puasa dan idul fitri) dan mendengarkan cerita ibu tentang kesulitan ekonomi,
aku pun mengusulkan, supaya uang bulananku diganti menjadi per minggu saja. 300
seminggu. Awalnya sempat dua minggu. Namun tetap saja kurang. Dan akhirnya
menjadi naik 400 seminggu. Aku mulai mengurangi aktivitas membeli buku. Aku menahan nafsu beli buku. Jika sebelumnya
aku bisa beli sampai 15 buku per bulan (di awal bulan) karena uang belanja
dikirim di awal bulan untuk sebulan. Sekarang tidak aku harus mengaktifkan lagi
kegiatan jual beli buku-buku. Supaya dapat bertahan dalam segala kondisi. (terutama nafsu membeli buku). Bila di hari
jumat atau sabtu uangku sudah habis, aku
akan meminjam kepada Rezky dan berjanji akan mengembalikannya senin ketika uangku
sudah dikirimkan. Sampai saat tulisan
ini kubuat sudah lebih sebulan aku belum bayar utang ini.
Kehidupan akdemik
Semester 9 ini aku mengambil
beberapa mata kuliah. 90 persen kawan angkatanku sudah lulus semua. Aku baru
mengambil TA2 (baca : te a dua) semester ini. Bersama beberapa kawan lain. Okie
si manusia misterius itu (padasaat tingkat 2 dan 3 dan 4). Tingkat 5 ini mulai
acap bertemu denganku di kelas maupun di luar kelas. Di tiben di sunkencourt juga. Dia juga sudah 3 kali
ke kosanku. 2 diantaranya menginap. Belajar untuk ujian kompre bersama. Setidaknya aku sekelas 4 matakuliah dengan Okie. Sebut
saja Instrumentasi dan Kontrol Industri, Fisika Medik, Tugas Akhir 2 dan Kapita Selekta Teknik
Fisika.
Pemahaman atas
Konsep-konsep yang didapat dan Pelaksanaannya
Aku kadang makin percaya diri dan
tidak jarang merasa sombong. Namun sikap murung dan melankolikku tetap tidak
bisa hilang. Tentu prasangka buruk itu dan bagaimana menjadi lelaki yang baik
belum dapat kujalani dan kupahami sepenuhnya. Relasiku makin mengerucut dengan
orang-orang yang begitu-begitu saja. Namun tidak menjadi masalah, ada iklim
berkarya yang kudapat disana.
-kelompok-kelompok jenis buku
yang dibaca sudah jelas : filsafat yang tidak jelas dan filsafat sastra yang
membingungkan dan pas dan cocok sebagai
pelarian
-pengamatan masalah kawan-kawan
terutama imam beberapa waktu lalu aku dan imam berjalan naik damri ke
jatinangor buat menonton sidang sarjana kawan Dyno. Ditengah perjalanan pulang kami bercerita.
Banyak tentang hiudp yang mulai harus dipikirkan dan dijalani dengan penuh
keyakinan. (ditengah pawai persib yang
juara piala presiden). Ya begitulah mulai dari spiritualitas yang mempengaruhi
alam benda sampai masalah masa depan. Imam banyak berkisah dan bercerita yang
bisa diambil ibroh dan hikmahnya. Suatu
saat saya ingin bercerita tentang dia.
Aku segerakan berkontemplasi