Catatan Liburan Akhir Tahun 2015 #4
2 Januari 2016
Hari
kedua di tahun ini kunyalakan di Solo. Pagi-pagi Kukuh sudah membawa kami ke
pasar. Bukan untuk membeli sayur atau pakaian. Tapi ingin melihat-lihat
kejadian-kejadian, ah apalah namanya. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah
kompleks Pasar Klewer. Di seberangnya itu kami berhenti, memarkir honda jazz
kukuh yang matic itu. Lalu sedikit berjalan ke toko yang menjual blangkon,
keris, baju kejawen, patung dan macam-macam benda mati lain. Kata siapa benda
mati? Tentu saja menurut kategori dari ilmu biologi. Kukuh bertanya kepada ibu-ibu
yang sedang duduk di depan tokonya, seperti ingin menunggu pembeli. Bu dimana
ya toko buku (orang-orang yang jualan buku). Si ibu bilang di seberang sana.
Lalu kami berbalik arah, mengikuti telunjuk ibu itu dan mengikuti langkah kaki
kukuh.
Tidak
jauh cuma sekitar 200m kami sampai pada kios-kios buku campur. Maksudnya buku
baru dan bekas buku asli dan bajakan, buku dan bukan buku, majalah komik dan
poster. Aku merasakan atmosfer yang mirip dengan Dewi Sartika Bandung. Semacam
pasar buku. Bedanya kalau di sini. Ada kios-kios sementara di Bandung, melapak
saja di emperan dan tepi jalan. Mungkin ini paduan antara palasari dan dewi
sartika hipotesisku.
Ada
beberapa buku yang kuminati di sana, seperti buku-buku novel inggris, karangan
Helman Melville, puisi-puisi sastrawan indonesia yang sudah tenar macam Saut,
Rendra, Gus Mus, dan masih banyak lagi. Harganya juga tergolong murah
dibandingkan dengan pasar buku online di facebook. Tapi aku sengaja tidak
membeli buku, sebab bukan apa-apa, aku ingin berhemat. Uangku tinggal sedikit.
Birahi membeli buku mesti ditahan kali ini.
Kami
berkeliling, mata kami menyapu setiap judul buku, berlebihan. Okie kepincut
dengan satu buku berjudul Aliran Kebatinan Jawa kalau tidak salah. Ia membeli,
sebelumnya menawar. 18 ribu.
Kami
beranjak dari sana menuju keraton.
Keraton
Solo. Sempat ada hal humor yang terasa bagiku. Sebab tidak diperkenankan
memakai sandal. Apa artinya itu? Kami bertiga jelas bersendal. Jadi tidak boleh
masuk ? Harus pakai sepatu? Macam ujian tengah semester di kampus saja. Lalu
aku mengkonfirmasi pertanyaan itu kepada penjaga loket tiket. Katanya nanti di
dalam, ada area mesti lepas alas kaki. Hoooo... begitu toh.
Setelah
membayar tiket kami masuk. Berjalan. Ternyata tidak sedekat yang kubayangkan.
Kami mesti berjalan lumayan jauh lebih dari seratus meter. Dan ternyata mau ke
makam dulu. Ziarah. Kepada Ki Solo dan satu lagi yang aku lupa namanya. Kami
berjalan di tengah terik di antara gang-gang di sana. Ada fenomena menarik
yaitu es teh yang digantung. Hampir di tiap gang kami temukan itu. Aku bertanya
kepada Kukuh apa itu maksudnya? Ternyata Okie lebih dulu bertanya itu kepada
Kukuh sebelumnya. Gak ada maksud apa-apa biar gak tumpah. O kiraiin sesajen,
tukasku.
Sesampai
di makam yang ternyata pintu masuknya melalui rumah sang penjaaga makam. Kami
masuk. Melewati ruang tamu dan berbelok ke kanan. Sudah ada dua makam besar di
sana. Maksudnya besar disini adalah tingginya yang hampir setengah meter dengan
semacam besi atau batu atau semen dan ada bebungaan dan air di sampingnya.
Sepulang
dari makam kami baru masuk ke keraton. Kaki lumayan olahraga juga. Di sana
ditampilkan beberapa barang peninggalan dari masa dulu seperti keris, cangkir,
dan macam-macam, ada juga pistol, kereta kuda, kereta sapi, tapi menurutku tempatnya
seperti kurang terawat. Banyak debu, sarang laba-laba juga. Setelah itu mau
masuk ke daerah apa itu namanya aku lupa. Tetapi dilarang pakai sendal ke sana.
O ternyata ini tempat yang dimaksud dilarang bersandal itu. Tetapi uniknya
boleh pakai sepatu. Cuma ada dua pilihan tanpa alas kaki atau sepatu. Aku
langsung berpikiran negatif. Wah-wah jangan-jangan ini untuk memfasilitasi
orang barat atau turis yang biasanya pakai sepatu. Lalu muncur pikiran positif,
atau barangkali memang kalau sepatu dilepas pengelolaannya juga susah, tempatnya
juga butuh luas dan bisa-bisa bau menyengat lagi. Huh tak tahu. Yang jelas kami
buka sendal masuk sana. Bangunan dengan tanah biasa, kaki kami menyentuh tanah
yang berdebu. Dan disiram dengan kran putar biar debunya basah. Hahahaha.
Seperti tempat-tempat sebelumnya macam Candi Sukuh
dan Cetho, amat ramai
orang-orang berfoto ria, berselfi.
Kukuh
langusng membela opiniku yang pertama. Munafik. Apa maksudnya mesti lepas
sendal tetapi sepatu tidak? Menganggap sepatu lebih sopan? Mestinya dilepas
dua-duanya atau boleh keduanya. Huh.
Sebelumnya
kukuh juga menimpali di dalam museum itu, lihat pakaian para raja, terselip gaya
barat, tidak pede. Ah apalah aku lupa.
Sepuas
dari keraton kami ke tempat mobil di parkir, tempat pasar barang-barang yang
tradisional tadi. Menunggu Yogi.
Kami solat zuhur dulu di dalam. Lalu mengantar motor dulu ke rumah Pakdenya Yogi. Lalu naik mobil ke Kalitan, rumah mendiang Pak Harto.
Makan
siang dulu. Sempat terjadi diskusi pelik antara kami. Ada yang mau soto, ada
yang mau selat, ada yang mau kupat tahu, ada yang bilang kupat tahu mah bisa di
Bandung. Ada yang
bilang sate kambing. Ujungnya adalah makan tahu kupat. Di tepi jalan itu di
dekat toko sepatu home made itu kami
melepaskan lapar dan menggantinya dengan kenyang. Kupat tahu yang enak itu
dengan es teh manis terasa pas.
Memang benar kata Kukuh dan Yogi, beda dengan di bandung. Di sini kupat tahunya
tahunya itu dipotong sekuran tahu sumedang dan digoreng lumayan matang. Lalu pakai telur
dadar dan kuah yang lebih banyak. Rasa kuahnya mirip dengan rasa kuah martabak
mesir. Campuran air kecap garam, sedikit asam atau cuka dan bawang goreng dan
cabai rawit iris.
Setelah
bayar. Segera menuju Kalitan
Di
kalitan. Terhitung sepi. Ketika kami masuk, cuma ada sekitar 8 orang pengunjung, dan tidak ada selfi-selfie
an tidak. Ya mungkin karena suasananya ya. Rumah yang tidak terlalu nge-hits dan kurang keren kalau
diposting di instagram, terkesan kuno dan ah, semua prasangka burukkku saja.
Yogi
balik dan kami juga. Yogi diantar. Kami yang mengantarnya.
Malam itu
Kukuh ada acara keluarga. Ada acara tujuh bulanan kehamilan seorang anggota
keluarga beliau. Semacam mendoa. Dan acara makan-makan juga. Kukuh ikut dan
katanya nanti dia akan cabut dari acara itu dan menjemput aku dan okie jam 10an
ke cangwit.
Oke. Aku
dan Okie tidur di ruang tamu, tapi karena musik tidur Okie amat keras. Aku naik
ke atas. Ke kamar. Menuju kasur. Mau tidur disana. Lalu jam 10 Okie masuk kamar, ia juga pindah.
Jam 11 kukuh datang, dia sempat menelpon berkali-kali dan memencet bel, baru
kami bangun. Hujan lebat ternyata. Untunglah Kukuh belum terlalu lama di luar.
Kami
segera bersiap. Masuk mobil, menerobos jalanan hujan Karanganyar ke Pucang Sawit, Pasar Pucang Sawit,
alias Cangwit itu.
Di Solo ternyata tidak terlalu
hujan, cuma gerimis. Hujan lokal.
Sesampai
di sana, ketemu dengan kawan-kawan SMA kukuh yang sedang nongkrong juga di
sana. Sempat bercakap-cakap sebentar, tetapi karena sepertinya Kukuh kurang
nyaman dengan mereka, karena sesuatu hal. Kami pindah ke Kedai Kita. Tempat
yang di sarankan oleh mereka juga sebab Kukuh sudah menyatakan tujuan dan
hendaknya apa.
Segeralah
kami ke Kedai Kita. Di sana bertemu dengan pemuda inspiratif itu, sebut saja
demikian, beliaulah orang dibalik pemberdayaan ruang pasar cangwit itu menjadi ruang terbuka kreatif setelah
sebelumnya pasar itu tidak termanfaatkan. Berawal dari pembicaraan dia dengan
kawan-kawannya tentang public space,
diskusi mereka dan ditinjak lanjuti dengan aksi nyata. Mereka mulai dari nol,
sampai dengan persetujuan Walikota
solo. Mungkin Kukuh atau Okie nanti akan bisa menceritakan lebih detail bagian ini
Hampir
jam satu, kami balik. Oh ya, tadi Yogi menyusul naik motor, dia juga ternyata
baru selsesai ada acara keluarga juga.
Kami
balik. Setelah ternyata Kunci rumah tertinggal di Honda Jazz itu. Sebelumnya,
bapak ibu dan adik kukuh naik mobil itu ke acara keluarga. Lalu kukuh menyusul
dengan kijang. Kemudian, kukuh bawa Honda jazz itu ke sini bersama kami dan
keluarganya pulang akai Kijang itu, kunci rumah ada di honda jazz. Ketika
keluarganya pulang tidak ada kunci, jadilah mereka menunggu di luar dan menunggu
kami. Ternyata sudah banyak telpon
masuk. Kami segera pulang