Resensi Novel Alenia
Resensi Novel Alenia
Judul : Alenia
Penulis : Risalatul H
Penerbit : Penerbit Periuk
Cetakan : I, 2015
Tebal : vi+171 hlm; 19x12,5 cm
Harga : Gratis. Pemberian Ki Kaboet Yogyakarta
Sari Khotbah Nietzsche dalam Tubuh Novel
Usia memang tidak membatasi
manusia untuk berkarya. Penulis novel ini kelahiran 1995 di Pati. Artinya, beliau
menelurkan cerita ini di usianya yang ke-20. Novel tipis ini semacam khotbah.
Risalatul sebagai mahasiwa filsafat—(sepertinya seorang umat Nietzsche) ingin
mengumumkan kepada pembaca, begini loh
hidup itu. Ada nilai-nilai yang mesti kau lihat dari kacamata lain. Ada
penjungkir-balikan nilai a la Nietsche yang ditawarkan oleh penulis.
Kover novel ini diberi tanda 18+. Membikin
penasaran. Dan memang beberapa adegan hubungan intim dinyatakan terang disini.
Akan tetapi menjadi sebuah paradoks juga jika memang Risalatul mengimani
Nietzsche, mestinya tidak ada dikotomi juga dalam pembaca novel ini. Tidak
mesti ada tanda 18+ di novel ini.
Alinea bercerita tentang konflik
manusia dalam pergulatannya dengan kehidupan. Masalah keluarga, percintaan yang
sarat tragedi dan beberapa nilai-nilai yang sudah terkonstruksi dalam
masyarakat.
Terima kasih sebelumnya kepada Ki
Kaboet yang sudah memberikan novel ini sebagai hadiah atas kunjungan ke rumah
seninya di Jogjakarta.
Adegan seks, perselingkuhan dan
paradigma-paradigma masyarakat menjadi hal yang diungkap kentara dalam novel
ini.
Novel ini dibuka dengan adegan
bunuh diri seorang mahasiswa Jurusan Filsafat. Ia gantung diri di sebuah pohon
depan kampus. Bukannya malah mendapat belas kasihan (memang orang mati tidak
butuh belas kasihan, benarkah?). Kejadian tersebut justru menjadi cibiran bagi
masyarakat. Memang mahasiswa filsafat
suka begitu. Aneh-aneh dan mempertanyakan yang sudah jelas. Kurang kerjaan. Komentar salah seorang tokoh figuran.
Mungkin benar dan tidak
sepenuhnya. Sama seperti mungkin salah juga tidak sepenuhnya. Cerita dimulai
dengan dua orang kakak adik. Mereka saling menjaga. Sampai momen berkasihan itu
datang. Si Adik menyukai Si Kakak dan Si kakak mencintai Si Adik. Konflik
keluarga membuat ayah dan ibu mereka bercerai dan Si Kakak minggat dari rumah.
Mereka bertemu kembali saat sudah
kuliah. Mereka sekampus. Pertemuannya khas, di perpustakaan, saat Si Adik
sedang menjangkau buku Sigmund Freud di rak atas, Si Kakak tiba-tiba
membantunya. Mereka seperti berkenalan kembali, Si Kakak mahasiswa filsafat
sementara Si Adik jurusan psikologi.
Dari pertemuan kembali ini,
tumbuhlah hasrat dan birahi. Tubuh mereka meronta minta bersatu. Hingga
setubuhlah mereka beberapa kali di atas ranjang. Mereka memutuskan hidup berdua
dalam satu rumah. Dan bercinta semau mereka.
Novel ini dapat dianggap sebagai
khotbah. Seorang peresensi juga bilang bahwa ini adalah catatan seorang
Nietzschean (mirip istilahnya dengan catatan seorang demonstran, Soe Hok Gie).
Tidak berlebihan, dapat kita temui beberapa kalimat yang berbau nihilisme.
Seperti pada ujaran Si Kakak.
“Kebenaran itu tak pernah ada. Ia hanya sebuah imajinasi yang membuat
manusia berlomba mencarinya. Menemukannya sendiri. Mengakuinya sendiri. Dan
saling bunuh-membunuh untuk mempertahankannya,” (hlm. 59).
Si Kakak sepertinya memang
seorang yang mengamini Nietzsche. Terbukti dengan beberapa dialognya dengan Si
Adik. Siapa filsuf yang paling kakak suka? Nietzsche jawabnya.
Dalam bukunya Gaya Filsafat
Nietzsche, Pak A Setyo Wibowo bilang bahwa untuk seorang Nietzschean, Nietzscholog,
ataupun Nietzschemania (istilah yang juga asing bagi Nietzsche sebab ia tidak
mau diiikuti), menjadi ‘diri sendiri’-lah hal pokok. Tidak ada nama lain
kecuali nama kita sendiri ! gnothi
Séauton/ gnothie sauton (kenalilah dirimu sendiri). Bukan untuk mengikuti
atau meniru Nietzsche sendiri. Paradoks barangkali, mengikuti untuk tidak
mengikuti sekaligus.
Novel ini dirangkai dengan
kata-kata yang menarik dan tidak membosankan. Dan hal yang saya tandai adalah
adanya gaya penulisan yang menimbulkan “ternyata-ternyata” dalam membacanya.
Mungkin bisa dibilang twist-twist
namun dengan alur yang tidak terlalu diplintir.
Akan tetapi pada penggunaan sudut
pandang, beberapa ‘aku’ agak membingungkan, beberapa bab dan bagian mesti
dipahami konteks sebab si ‘aku’-nya berubah-ubah. Sudut pandang yang disengaja
demikian atau memang sebuah kealpaan, tidak tahu.
Tetapi menurut pembaca seperti
saya, hal ini merupakan suatu kekurangan sebab jikalau itu dipakai secara
konsisten tentu akan kelihatan polanya pada pergantian adegan.
Novel ini tidak direkomendasikan
kepada pembaca yang masih belum punya kesiapan mental. Ibarat sebuah bangunan,
membaca novel ini seperti mengundang gempa. Ya apakah bangunan kita itu kuat
atau rapuh bisa kita lihat setelah merasakan gempa tersebut.
Berikut saya kutipkan tentang
Nietzzsche dari kata pengantar Syahwat Keabadian (Kumpulan Puisi Nietzsche)
yang diterjemahkan oleh Agus R. Sardjono dan Berthold Damhäuser.
Nietzsche
adalah tokoh besar yang mengguncang dunia. Kesendiriannya, ketidak
bahagiaannya, percintaan, dan terutama perseteruannya dengan Tuhan dan/atau
agama, tidak dijalaninya dalam kelembutan puitis, melainkan dalam
ledakan-ledakan dan prahara puitis. Oleh sebab itu, karya-karya Nietszche
muncul bagai gempa dan prahara bagi agama dan keimanan. Gempa dan prahara bagi
agama dan keimanan semacam ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi
kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini.
Selepas
membaca Nietzsche dan mengalami gempa yang ia tebarkan dalam larik-lariknya
yang gemilang, akan terlihat apakah keimanan kita masih tegak sentosa berkat
fondasi yang kokoh sejati atau runtuh berkeping-keping bagai bangunan proyek
yang dinding dan pondasinya rapuh akibat mark
up dan korupsi. (Agus R Sarjono :
2010).