Hierarki Kepintaran Mahasiswa Menurut Kukuh Samudra
Manakala berbincang tentang
berbagai topik yang tidak jelas, aku menyimak pembicaraan Kukuh mengarah kepada
pendapatnya atas situasi dan kondisi mahasiswa di kampus ini. Kukuh melontarkan
tesisnya tentang hierarki kepintaran mahasiswa. Rasa saya, terminologi ini sebenarnya
tidak berasal dari buku manapun tetapi sedikit ada mirip dengan Hierarki
Kebutuhan Maslow. Oke seperti biasa, tanpa memperpanjang mukaddimah. Langsung
saja. Ekhhm.
1. Tingkatan Pertama adalah mahasiswa yang boleh dikategorikan
sebagai cerdas dan pintar. Mereka menekuni bidang keilmuan sesuai jurusan
masing-masing. Misal : mahasiswa Teknik Sipil membaca serius literatur tentang
struktur. Mahasiswa Teknik Tenaga Listrik menekuni benar literatur analisis
daya, dll. Mereka ini adalah kaum mahasiswa yang berjalan lurus. Tidak
neko-neko. Mereka mencintai ilmu sebagaimana mereka mencintai uang dan program
studi sendiri.
2. Tingkatan Kedua adalah mahasiswa yang merasakan ada suatu yang
kurang dari program studinya. Mahasiswa tingkatan kedua ini mulai mencari
integrasi ilmu dalam prodinya dengan prodi lain. Multidisiplin ilmu. Itulah
istilah kerennya. Mahasiswa ini mulai merambah (ekspansi) hal-hal yang berkait
dengan jurusannya. Misal : ada mahasiswa Meteorologi yang mengambil kuliah Paleontologi
di jurusan Geologi. Ada juga Mahasiswa Teknik Lingkungan yang mengambil mata
kuliah kewirausahan dengan harapan bahwa ilmu dan keprofesian yang Ia peroleh
dari bangku kuliah bisa dibisniskan.
3. Tingkatan Ketiga yaitu mahasiswa yang cukup stres. Kaum ini
merasa kurang puas dengan pelajaran prodinya. Baginya, ada yang luput dari pembahasan sains
dan enjinering. Ia lantas mencicipi sedikit ilmu humaniora. Pintu gerbang
pertama tentu adalah filsafat. Anggapan mahasiswa pada tingkatan ketiga ini,
resah gelisahnya bisa dituntas dengan filsafat. Mulanya mungkin dengan mengutip ucapan filsuf. Lama-lama tertarik membaca satu dua buku pengantar
filsafat. Lantas membahas lebih mendalam dengan mencoba menelaah sumber-sumber
primer teks filsafat. Golongan ini mulai mempertanyakan makna kehidupan.
Ujung-ujungnya berpusing mencari kebenaran. Dan menyeret segala hal ke ranah
filsafat.
4. Tingkatan Keempat ialah mahasiswa yang trauma pada tingkatan ketiga.
Karena barangkali filsafat teramat sulit buat dipahami, mahasiswa ini mulai
mengambil bidang atau medan yang lebih konkret yaitu ilmu-ilmu sosial. Biasanya
ada beberapa cabang seperti : ekonomi, sosiologi, antropologi, dan budaya.
Biasanya, fenomena ekonomi, sosial dan poiitik di Negara Kesatuan Republik
Indonesia mulai dikomentarinya sebagai bukti kekritisan dan minatnya dalam
bidang tersebut. Baik dalam percakapan sehari-hari maupun pada linimasa akun
sosial media. Mulai tertarik kepada ideologi tertentu seperti contoh sosialisme
dan anarkisme.
5. Tingkatan Kelima. Inilah mereka yang menyadari alangkah susah mendalami ilmu humaniora tersebut. Akhirnya masuk ke pintu sastra. Pada
tingkatan kelima ini, setidaknya ada pula tiga tahap. Pada mulanya, sastra yang
digeluti adalah genre novel. Lalu karena novel dirasa terlalu panjang dan
menyita waktu, maka beralih ke cerita pendek. Kemudian karena cerpen juga masih
cukup panjang. Beralihlah ke puisi. Puisi sebagai ekspresi seni dalam
kata-kata berirama.
6. Tingkatan Keenam. Tidak berhenti di puisi pada akhirnya sang
mahasiswa mulai merasa bahwa eksistensi dirinya dalah seni sekaligus kebenaran
itu sendiri. Sambil duduk di sekretariat unit, dia nyalakan rokok dan sesap
kopi. Lalu memandang lalu lalang sekitar sembari merasa hidup sudah cukup ia
rengkuh.
Tentu saja Keenam tingkatan ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sama sekali bukan bukti ilmiah
yang sudah di bawa ke meja eksperimen. Namun begitu ada baiknya hal ini
dibagaimanakan agar supaya sedemikan sehingga keseriusan dalam menjalani apapun
menjadi begitu mantap.
1 comments:
Write commentsqanthawl
Reply