Buat Kukuh
Buat Kukuh
(Semacam tanggapan
mungil atas Untuk Asra)
Tahu bulat sedang terkenal. Di facebook, di seloroh antara percakapan mahasiswa di kampus diselang
diskusi filsafat, hidup, mati, seks, dan cinta dan hal-hal esensial di dalam
ketiganya : uang. Bahkan kudengar berita dari beberapa kawan, tahu bulat sudah
ada juga di Jakarta, di Jogjakarta pun. Tahu bulat sudah menjamur (dengan
asumsi tahu bulat berasal dari Bandung, dengan alasan langgam Sunda
penyanyinya) mengalahkan jamur krispi di musim hujan.
Aku mengenal tahu bulat ini beberapa tahun yang lalu. Di saat
masih euforia diterima di ITB. Kampus yang katanya terbaik. Jujur saja, waktu
SMA itu, aku membayangkan, ketika nanti sudah lulus dari ITB, aku akan bekerja
di sebuah perusahaan dengan gaji 60 juta sebulan.
Waktu itu penjual tahu bulat tersebut ada di jalan Tamansari,
cuma dua hari, setelah itu dia pindah ke Jalan Badak Singa, di depan tempat
bimbel dan SMA itu (Aku harap mereka yang bimbel disana tidak mengulangi
bayanganku ketika SMA : Mau masuk ke ITB dengan harapan gaji setelah lulus
adalah 60 juta per bulan). Beberapa tahun kemudian, setelah terseok-seok dengan
perkuliahan, tanpa sengaja aku mendengar bebunyian tahu bulat itu di bawah fly over pasupati dekat Balubur Town Square. Pertama mendengar
aku merasa lucu, masak jualan tahu pakai musik ? Bukan musik juga sebenarnya,
akan tetapi semacam lagu. Seorang pemuda (aku menerka) sedang menjajakan tahu :
tahu bulet di goreng, di mobil, di.... dst.
Dan ini rekaman yang terus diulang-ulang (mungkin secara otomatis).
Aku tidak ingin menjelaskan teori-teori ekonomi, psikologi,
manajemen pemasaran atau apapun dalam hal ini (sebab tak tahu). Tahu bulat
sudah berhasil melaju di deras arus kehidupan yang serba bersaing ini (meskipun
persaingan itu semu, sebab kata seorang kawan, borjuis korporat sudah
berselingkuh dengan negara).
Tahu itu mungkin adalah etre
en soi. Ada dalam dirinya. Tetapi setelah mendengarkan beberapa hari yang
lalu, semacam Talkshow tentang revolusi mental di kampus Universitas
Katolik Parahyangan, menghadirkan narasumber yang asik dan kompeten, ada yang
menarik dari tahu yang lain. Sebut saja Romo Magnis, Sujiwo Tejo, dan Pidi
Baiq. Meskipun menurut seorang kawan, sebut saja namanya Haris, ketiga orang
ini tidak cocok sepanggung dikareanakan akan menjadi aneh. Tetapi menurutku
justru unik.
Kawan itu bisa mengumpamakan dengan makanan dan minuman. Romo
Magnis sebagai kopi, Sujiwo Tejo sebagai mie goreng, dan Pidi Baiq sebagai jus
strawberi. Jangan tanya aku apa alasan dan korelasinya, sebab begitulah
katanya. Dengan demikian jika merujuk kepada persoalan makanan tersebut, aku
tidak setuju atau tidak akan memakan ketiga jenis makanan dan minuman itu dalam
suatu kesempatan. Akan tetapi justru, pada dasarnya aku tak setuju dengan
analogi tersebut. Aku menghadiri talkshow.
Romo Magnis kalau boleh kusimpulkan menyampaikan bahwa
manusia mesti bertanya sekaligus bebas bertanya, dalam hal ini juga serentak
bebas mempercayai apa yang ingin dipercaya, tanpa melukai. Tidak boleh ada
golongan atau kuasa tertentu yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh kita pertanyakan dan percayai, apalagi sampai melukai. Kita mesti cari
sendiri apa yang kita yakini.
Sujiwo tejo bilang bahwa barangkali masa depan
itu ada di belakang. Nenek moyang kita adakalanya sudah menemukan kebijaksanaan
dan kearifan di masa lampau, yang mesti kita teladani dan kita gali kembali
untuk kehidupan mendatang. Dia menjelaskan beberapa contoh seperti keseimbangan
dalam ekosistem saat upacara menanam
padi (yang disertai pembakaran kemenyan). Mari kemudian
mempelajari hal-hal yang tampak kecil dengan lebih intens dan menggunakannya
dalam kesempatan yang tampak besar.
Kemudian terakhir dari Pidi Baiq, seniman
semaunya ini melontarkan kalimat-kalimat yang absurd dan terkadang ada tak
sepenuhnya salah juga. Ia membuka dengan sebuah pernyataan yang amat apatis (apatis
murni). Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Baginya hidupnya adalah
bercanda, ia hanya bercanda. Dan ingin terus bercanda. Bahkan sampai ia
mengutip kitab suci. Sesungguhnya hidup
di dunia hanya senda gurau. Ia memotong satu ayat qur’an.
Dan satu lagi.
Lautan memang indah, luas dengan ikan berwarna-warni, menakjubkan dengan pantai
dan pasirnya, dan juga mungkin dengan bikini ditepiannya, tetapi aku adalah
ikan air tawar. Bagiku empang yang sempit dan sederhana adalah tempat yang
nyaman. Aku tidak akan memaksa diri untuk berenang dan tinggal di lautan. Sebab
dengan demikian aku bisa mati. Aku juga tidak akan memaksa paus hidup di
empang.
Sekaligus kita menyaksikan bahwa Pidi sedang ingin menunjukkan bahwa
dia seorang yang sederhana, mungkin begitu, sebab dia nyaman dengan dirinya
yang tinggal di empang dibanding lautan yang luas dan indah. Atau bisa dibuat
interpretasi bahwa Pidi adalah orang yang tidak mau keluar dari zona nyamannya,
mungkin saja. Tetapi menurutku, poinnya : tahu diri.