Untuk Asra
dari Kukuh
Apa gunanya pendidikan jika justru
membuatmu semakin terasing dengan rakyat? Apa guna pendidikan jika justru
menghasilkan sarjana-sarjana yang korup? Di sisi yang lain, yang memandang
pendidikan dari segi positif, telah banyak kita dengar dan banyak kita setujui.
Pertanyaan yang saya ajukan, meskipun tidak populer dan bertendens, mungkin
tidak dapat dihiraukan begitu saja. Pertanyaan yang pertama mungkin orang
banyak mendengar, karena diajukan oleh seorang legenda bangsa, yaitu Tan
Malaka.
Seorang Tan Malaka tentu tidak
sembarang membuat sebuah pertanyaan bertendens. Terdapat latar belakang
pertanyaan itu muncul. Bisa jadi (dalam imajinasi saya) dia melihat banyak
orang terpelajar, yang bukannya justru ikut serta mencerdaskan rakyat, justru memanfaatkan
kecerdasannya itu untuk membodohi rakyat. Melawan musuh yang pandai barangkali
lebih 'mendingan' daripada melawan seorang kawan yang berkhianat, apalagi dia
telah menjadi cukup pandai.
Banyak lagi pernyataan negatif
tentang pendidikan. Misal, bahwa pendidikan hanya melatih orang untuk semakin
pandai mencuri. Tidak sedikit pula, bagi orang-orang 'idealis-materialis',
beranggapana bahwa pendidikan tidak lebih sebagai pelumas kapitalisme.
Nada-nada optimis tentang pendidikan,
sudah sering kita dengar. Dari ungkapan yang bernada paling suci, hingga paling
pragmatis. Bahwa pendidikan menjadikan manusia menjadi lebih luhur, lebih
agung. Ada juga yang memandang pendidikan dibutuhkan untuk agar tetap hidup.
Lalu, apakah pendidikan demikian
netral? Senetral angka nol yang bukan positif maupun negatif?
Saya sendiri berpendapat pendidikan
tidaklah netral. Tetapi, pendidikan juga tidak negatif. Pendidikan adalah
positif. Spekulatif, tapi kita mungkin harus melihatnya secara statistik, dalam
sistem yang lebih luas.
Meminjam istilah dari Karlina
Supelli, "Pendidikan bukanlah paket-paket yang dapat dijejalkan begitu
saja". Sebagai gambaran adalah sejarah politik etis yang diberlakukan oleh
pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia. Pada mulanya, Belanda ingin
mengajarkan ilmu kedokteran kepada 'inlander' karena jumlah dokter di
Hindia-Belanda tidak cukup. Apa yang terjadi? Perlawanan paling depan justru
dilancarkan oleh kaum terdidik STOVIA!
Hendak ke mana pendapat ini saya
bawa? Sebetulnya, ini adalah salah satu argumen yang ingin saya berikan
mengenai sifat Al Quran sebagai petunjuk.
Begitu banyak
istilah lain dari Al Quran. Al Kitab yang berarti bacaan, As Sifa yang berarti
penyembuh/obat, atau Al Huda yang berarti petunjuk.
Di tengah
gencarnya 'fisalfat posmodernisme' yang 'menghegemoni', relativitas dan
kekacauan adalah kunci. Tapi betulkah kita tanpa tujuan? Atau justru sesempit
itu tujuan yang dihadapkan pada kita?
Ketika dihadapkan pada pertanyaan,
netralkah pendidikan? Saya bisa dengan yakin menjawabnya tidak. Pendidikan
adalah hal yang positif karena dia dianjurkan dalam Al Quran.
Pendidikan membuat orang semakin
pintar, semakin banyak orang pintar akan menyebabkan banyak perbedaan dan
perdebatan. Masyarakat kita (terutama Jawa) sangat anti dengan perbedaan. Tapi
dalam sebuah sunnah, dijelaskan, bahkan pahala bagi seorang hakim yang
memutuskan salah dalam sebuah 'pergolakan' akan diberikan satu pahala.