Apa yang terjadi dengan LS ?
Apa yang terjadi dengan LS ?
Oleh : Kukuh Samudra
Sejarah perkembangan sastra di ITB mungkin panjang. ITB
bahkan memiliki unik sastra sejak tahun 70-an, lebih tua dibandingkan dengan
UPI (yang dahulu masih berupa IKIP) yang menurut pengakuan salah seorang sumber
terpercaya baru memiliki unit sastra beberapa tahun setelah ITB. Unit sastra
yang dimiliki oleh ITB ini bernama GAS (Gabungan Anak Sastra) yang telah
melahirkan nama-nama alumni seperti Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, dan
Kurnia Effendi.
Entah kapan tepatnya, GAS akhirnya bubar. Terdapat kekosongan
unit sastra ITB beberapa waktu hingga akhirnya LS terbentuk.
Para pendiri LS sejauh yang saya tahu pada waktu itu adalah
anak-anak Tiben dan PSIK. Para pendirinya adalah anak-anak yang gemar diskusi
tentang sosial humaniora dan filsafat. Saya tidak memiliki bukti resmi, tidak
juga terlibat secara langsung, atau bahkan sekedar ngobrol dengan para alumnni.
Tapi saya cukup bisa membayangkan apa saja topik bahasan dan kegiatan Lingkar
Sastra waktu itu.
Menurut pengakuan Kartini, DKV 2012 yang juga pernah menjabat
sebagai ketua Lingkar Sastra, Lingkar Sastra pernah diundang untuk mengisi
kajian di PSIK dengan tema sastra dan politik. Masih menurut pengakuan kartini,
Lingkar Sastra pada waktu itu hanya memiliki anggota aktif lima orang yang
demikian bersemangat (dalam sepi) membahas sastra-sastra berat. Entah pula apa
itu sastra berat.
Konon terdapat perbedaan pendapat antara Kartini dengan ketua
sebelumnya. Dari gambaran Kartini, dengan saya melihat pendekatan Kartini
disandingkan dengan apa yang diceritakan Kartini tentang masa lalu,
perbedaannya ada berkaitan dengan tegangan antara bentuk sastra puisi dengan
sastra non puisi.
Ketika Kartini menjabat, hanya tersisa kurang lebih 4 orang
aktif, yang sebagian besar adalah anak seni rupa. Bahkan orang-orang yang
diplot Kartini sebagai kepada divisi, selama itu tidak pernah hadir.
Ada fenomena yang menarik sebetulnya. Apa yang terjadi dengan
LS terjadi juga dengan beberapa organisasi lain. Pertama dari segi internal
organisasi, loyalitas anggota demikian minim. Kedua dari segi organisasi
keseluruhan, unit kajian semacam mati sama sekali. Tidak ada kegiatan.
Atas dasar itulah kami waktu itu membentuk yang dinamakan
Aliansi Kebangkitan.
Apa saja kerjaan kami? Diskusi, nonton, silaturahmi, dan
berbagi karya (melalui ITB Nyastra atau booklet2). Unit kajian pun mulai
menggeliat kembali hingga berganti generasi ketua.
Sudah setahun ini saya jarang main ke LS. Sejujurnya saya
malas. Di satu sisi, saya pikir saya harus menjaga jarak juga agar anggota LS
memiliki ruang untuk berkembang. Mungkin zaman sudah berubah.
Kecenderungan LS yang saya tangkap akhir-akhir ini adalah
bahwa LS sudah tidak menggambarkan unit sastra dengan segala keluasannya.
Lingkar Sastra lebih tepat berganti nama menjadi Lingkar Puisi.
Kegiatan sastra di LS hanya berkutat tentang itu : membuat
puisi, dan baca puisi. Sah-sah saja membahas puisi, tapi puisi demikian
dominan, tanpa ada topik bahasan yang lain meskipun sebetulnya peminatnya
banyak. Dalam hal ini, menurut saya pribadi, pengurus lalai. Lingkar Sastra
sebagai organisasi seharusnya dapat menjadi tempat para anggotanya untuk
berkembang.
Fenomena yang menarik lainnya adalah banyak anggota LS baru,
yang horison bacaannya masih terkungkung pada bacaan pop. Tere Liye, Andrea
Hirata, atau Kahlil Gibran. Sekali lagi bukan masalah. Saya sendiri bukanlah
orang yang menganggap (dan sebetulnya tidak memiliki otoritas sama sekali untuk
menilai) bahwa karya Tere Liye bukan 'sastra'. Tapi masalahnya, ketika horison
sastra mereka terkungkung pada hal-hal yang demikian, LS tidak bsia maju.
Terdapat satu-dua orang yang memilliki tingkat literasi tinggi pada akhirnya
karena kalah jumlah dan kalah populer, memutuskan untuk tidak aktif di LS.