Tanggapan kepada Apa yang Terjadi dengan LS ?
“Tidak ada manajemen yang bisa memuaskan semua orang”-Kepsek
SMA saya mengutip seseorang yang saya lupa namanya-
Ya mungkin semacam apologi atas apa yang LS kerjakan
sekarang. Akan tetapi hal itu tentu bisa kita pahami dengan lebih mendalam.
Memang tidak ada sistem yang sempurna, tetapi itu tidak boleh menjadi excuse
atas kemalasan kita, atau sebutlah kelalaian kita dalam menempuh kehidupan
berorganisasi ini.
Terima kasih sebelumnya kepada Kukuh yang sudah meluangkan
waktunya untuk mengingatkan LS dan segenap anggota dan pengurusnya. Ada
benarnya bahwa barangkali LS kini lalai dan semacamnya.
Menanggapi komentar Kukuh bahwasanya :
[1] LS akhir-akhir ini tidak menggambarkan unit sastra dengan
segala keluasannya.
[2] Lingkar Sastra lebih tepat berganti nama menjadi Lingkar
Puisi. Kegiatan sastra di LS hanya berkutat tentang itu : membuat puisi, dan
baca puisi.
[3] Lingkar Sastra sebagai organisasi seharusnya dapat
menjadi tempat para anggotanya untuk berkembang.
[4] Fenomena yang menarik lainnya adalah banyak anggota LS
baru, yang horison bacaannya masih terkungkung pada bacaan pop. Tere Liye,
Andrea Hirata, atau Kahlil Gibran.
[5] Terdapat satu-dua orang yang memilliki tingkat literasi
tinggi pada akhirnya karena kalah jumlah dan kalah populer, memutuskan untuk
tidak aktif di LS.
Saya akan mencoba menguraikan dan mengomentari tidak secara satu
per satu. Sebab sesuai kemampuan dan kapasistas saja.
Pada poin pertama Kukuh menyebut bahwa LS tidak menggambarkan
unit sastra dengan segala keluasannya. Kalau boleh saya simplifikasi : LS itu
sempit (menurut penafsiran saya atas Kukuh). Dan ini bisa disambungkan dengan
bagian yang kedua, LS itu hanya berkutat pada puisi. LS itu sempit
karena cuma puisi. Keseharian LS apabila kita lihat secara mendetail memang
tidak lepas dari puisi. Lihat saja, grup ITB Nyastra kalau boleh
direpresentasikan sebagai mading LS, hampir 90 persen memang puisi. Oke
terlepas bagaimana sebaiknya dan seharusnya. Begitulah kenyataannya. Aku tidak
ingin membantah Kukuh. Akan tetapi bahwa di LS itu ada juga yang hampir tiap
hari meminjam novel, dan ternyata aku baru tahu ada juga yang sudah ada yang
menulis dua novel, dan sudah ada juga yang menulis dua buku (satu terbit satu
belum), satu antologi puisi dan satu purwarupa novel, dan yang terakhir ada
yang menulis novel lagi. Kalau berkenan itulah sedikit pembelaanku atas LS tak
perlu diganti menjadi Lingkar Puisi, LP (nanti dikira orang band Linkin Park).
Selanjutnya dapat dijumpai pada jurnal ITB Nyastra dari
beberapa edisi, selera sastra ini memang variatif, ada juga yang mengirimkan
cerpen dan jumlahnya tidak sedikit-sedikit amat juga. Jadi terlalu sepihak,
sekali lagi, mengatakan bahwa LS lebih tepat berganti nama menjadi Lingkar Puisi.
Hanya memang, sampai kini yang kentara dan lebih banyak digemari oleh anak LS
dan sebutlah yang ‘menampak’ adalah puisi. Beberapa minggu lalu untuk menunjang
hal itu, LS mengadakan Workshop pembacaan puisi oleh Sahlan Mujtaba. Lalu terakhir
acara yang dipersiapkan dengan jerih payah panitia Metaforia 2 sebuah
kelanjutan atau seri dari Metaforia sebelumnya. Agar kita sama tahu, Metaforia pertama
bertema ‘Menjadi Penyair Lagi’, dengan menghadirkan pembicara Acep Zamzam Noor.
Metaforia selanjutnya ‘Menjadi Penulis Lagi’. Kali ini lebih meluas, sepertinya
ingin mencoba ‘mengangkat’ prosa dengan menghadirkan Fahd Pahdepie, dan
Kartini. Lagi lagi LS mungkin bisa dilihat lepas dari napas puisinya, akan
tetapi menurutku waktu Kartini di Metaforia kemarin dia tampil sebagai ‘lebih
prosa’ sebab tidak bisa dimungkiri beliau juga aktif menulis cerpen.
Karena saya malas, saya akan mencoba menggabung poin 3, 4,
dan 5. Saya mengambil beberapa kata kunci, semoga tidak berbuah kesesatan. Tidak
berkembang, terkungkung pop dan tidak aktif di LS. Semacam sebuah
rentetan logika atau sebutlah setidaknya runtutan kejadian atau apalah namanya
itu. Kalau berkenan untuk saya narasikan ulang, begini : Anggota LS banyak yang
terkungkung pop, lalu yang tidak terkungkung pop (mungkin
terkungkung yang lain, disini Kukuh menamainya tingkat literasi tinggi)
merasa semacam LS tidak memfasilitasi mereka, merasa jadi tersisih sehingga
memilih tidak aktif di LS. Ujungnya anggota LS tidak berkembang.
Menurut saya, kita boleh berargumen tentang pop atau tidak
atau terkungkung atau tidak itu soal selera saja bukan? Lagi pula kita harus
memahami dan bersepakat dulu proses berkembang yang Kukuh maksud. Bagi saya
mungkin perkembangan itu adalah proses aktif. Bisa kita bilang bahwa kembang
atau tumbuh itu tentu bukan sebuah keniscayaan yang bersifat terberi, ia mesti
aktif dan diusahakan. Nah, memang jika yang tingkat non pop ini memilih untuk
lari, memang mereka telah memilih untuk tidak mau tumbuh atau tak mau kembang di
LS. Menurut saya mungkin justru model dialektika tesis, antitesis, dan sintesis
bisa diterapkan dalam LS ini. Sebuah usaha mendamaikan pihak-pihak pop dan non
pop (mungkin utopis tetapi layak diperjuangkan). Barangkali juga hal ini tidak
benar sebab akar masalahnya bukan pada hal tersebut. Bisa saja memang karena
kurang menghunjamnya kehendak untuk bersastra atau mungkin tidak sepikirannya
anggota LS dalam memahami dirinya, LS dan sastra serta relasi-relasi diantara ketiganya.
Keaktifan memang selalu tampak dari luar, maksudnya keaktifan
tersebut dapat dilihat dari indikator kehadiran, keterlibatan dan sebagainya.
Dapat dicirikan.
Apa yang sebenarnya yang dimaui oleh anggota LS, apakah
sebenarnya yang dimaui LS ? Apakah. Amat filosofis dan mau tak mau mesti
diselesaikan. Pertanyaan ini penting kemudian sebelum beranjak ke pertanyaan
mengapa dan bagaimana?
Jika memang LS adalah sesuatu. Maka hendaknya saatnya
memahami ulang secara bersama dan sepakat tentang perihal apa LS. Saya merasa ‘kita’
ini penting untuk kembali ke LS. Sekaligus juga ada diri saya yang lain saatnya
lulus dari ITB.