[Resensi Film] Stranger Than Fiction
Sutradara : Marc Forster
Artis : Will Ferrell; Maggie Gyllenhaal; Dustin
Hoffman; Queen Latifah; Emma Thompson
Produksi : Mandate Pictures
Distributed by : Columbia Pictures
Tanggal Rilis : 10 November 2006
Durasi : 113 menit
Kabarnya, Marc Forster (sutrada
berkebangsaan Jerman) ini juga menyutradarai film Finding Neverland (2004) ,
The Kite Runner (2007), dan Quantum
of Solace (2008). Kali ini filmnya bercerita tentang dunia Harold yang
menjadi karakter utama sebuah novel. Harold yang hidupnya bagai robot kemudian
sadar bahwa ada narasi yang menjelaskan
rutinitasnya selayaknya narasi novel.
Harold merasa ‘narasi’ ini
mendikte hidupnya. Bahkan puncaknya saat ia dikatakan ‘sebentar lagi mati’,
Harold tidak terima. Ia berontak. Ia ingin menemui penulis takdirnya tersebut
dan protes. Intinya Harold tidak terima dengan Karen Eifel sang penulis cerita
fiksi. Pergulatan Harold dengan dirinya menjadi menarik sebab Harold ingin
memberontak pada sesuatu yang ada di luar alamnya(Harold di alam fiksi dan
Karen di alam nyata). Namun ternyata ada dialektika antara mereka, sebab alam yang
dimaksud ternyata tidak sedeterminis itu.
Sartre : Eksitensi Mendahului Esensi
Sartre mendiktum bahwa dalil pokok
eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi. Apa maksud beliau?
Types of being (tipe berada) manusia berbeda dengan benda-benda
lain. Manusia : etre-pour-soi
sedangkan benda lain : etre-en-soi.
Apa artinya? Manusia ada bagi dirinya, sedangkan benda lain ada dalam dirinya.
Manusialah yang bereksistensi. Dia eksis dahulu baru esensinya berkembang dan
bertumbuh sesuai penghayatannya terhadap kehidupan. Berbeda dengan pensil
misalnya. Esensi pensil ada dahulu sebagai alat untuk menulis, baru kemudian
dia eksis sebagai alat tulis. Manusia hidup berkesadaran. Ia adalah proyek bagi
dirinya. Eksistensinya atau ada manusia itu bukan sesuatu yang penuh atau
selesai. Ia hanya selesai ketika dia mati dan eksistensinya beku saat itu.
Menonton film Stranger Than Fiction membuat saya
berpikir sejenak tentang eksistensi Harold sang tokoh utama. Sebagai karakter
utama dalam sebuah novel, ia eksis sebagai manusia. Akan tetapi manusia yang
dimaksud bukanlah manusia yang punya free
will. Ia dikontrol sepenuhnya oleh sang penulis Karen Eiffel (determinisme). Ia sudah ditentukan
esensinya oleh Karen Eiffel sang penulis sosiopath.
Eksiskah Harold sebagai manusia? Tidak tahu.
Wilayah Eksistensi Kierkegaard
Kierkegaard, pencetus
eksistensialisme menyatakan bahwa ada 3 wilayah eksistensi (stages on life’s way) yaitu tahap aesthetic, ethic, dan religious.
Wilayah aesthetic
Estetis maksudnya adalah tanpa merujuk kepada baik buruk (good and evil). Yang terjadi hanya
sensasi pemenuhan keinginan atau hasrat spontan (immediacy). Kalau terpenuhi maka akan terjadi kepuasan (satisfaction) dan bila tidak sebaliknya
(dissatifaction). Misalnya ketika si
Harold ingin menggosok gigi, ia akan menggosok gigi tanpa peduli itu baik atau
buruk.
Wilayah ethical
Tindakan yang dipilih dipengaruhi oleh baik buruk, rasio dan suara hati
sebagai refleksi kategori utama dalam mendefinisikan eksistensinya.
Wilayah religious
Good and evil sudah tidak
memenuhi lagi dalam kategori pilihannya. Yang bernilai hanya relasi dengan
ilahi, dengan kebenaran objektif. Apa pilihan yang diambil sudah manunggal
dengan kebenaran. Barangkali kalau boleh disimplifikasi. Meleburnya relasi
subjek dengan kebenaran dan kebenaran subjektif maupun kebenaran objektif
tersebut.
Untuk berhijrah dari suatu wilayah
eksistensi ke wilayah eksistensi lain, Kierkegaard mengungkap bahwa manusia
harus melakukan lompatan. Sebab wilayah atau tahapan tersebut tidak terperiode
begitu saja. Ia ditentukan oleh kesadaran juga.
Di film ini, dapat dilihat bahwa
wilayah eksistensi Harold melewati yang tiga ini. Di awal-awal film penulis menangkap bahwa Harold yang
serbateratur dan sangat presisi menghayati wilayah estetik. Kemudian semakin ke
tengah film, Harold melompat ke wilayah etik, disaat ia mulai mempertimbangkan
bagaimana seharusnya ia memilih. Standar good
end evil mulai ia gunakan dalam bertindak. Kemudian pada bagian akhir film,
saat Harold sudah membaca draft novel (yang adalah takdirnya), Harold melompat
lagi ke wilayah religius. Carpe diem,
seize the day, raihlah hari ini. Harold menjadi berani, seluruh tindakannya
meluruh dalam relasi kebenaran objektif.
Absurditas Camus
Camus pernah mengungkap
(Dostoevsky), “Jika hidup sudah tidak
bermakna layaknya sisifus, pantaskah untuk tetap dijalani?”
Bagi Camus, absurditas kehidupan
tidak hadir dengan sendirinya, ia hadir-menyerua melalui rutinitas yang selalu
dilakoni manusia. Pada awalnya, manusia merasa apa yang dilakukannya begitu
berharga dan bermakna, namun lambat-laun, setelah ia melakukannya secara
terus-menerus dan berulang-ulang, timbul kejenuhan pada dirinya. Kejenuhan ini,
apabila terus berlanjut, nantinya bakan melahirkan absurditas. Satu hal penting
yang kiranya tidak patut diluputkan dalam pengkajian tersebut adalah setiap
usaha manusia yang akan selalu berhadapan dengan “dinding-dinding absurditas”,
yakni kematian dari manusia itu sendiri. Dalam Mite Sisifus, Camus berkata, (Wahyu Budi Nugroho : http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/06/sedikit-tentang-absurditas.html)
“Semua
kehidupan manusia beserta hasratnya yang hangat, aktivitasnya dengan berbagai
prestasi, semua keindahan yang telah ia saksikan, semua cinta yang telah ia
berikan dan terima, semua akan berakhir dengan kematian. Setiap peristiwa dan
setiap detik yang ia jalani semakin mendekatkannya pada kematian. Bayang-bayang
kematian bisa muncul melalui apa saja. Ia adalah bagian dari semua kesenangan
kita, ia tunjukkan kesia-siaan dari aktivitas kita. Inilah perasaan absurd itu.
Mengalami rutinitas, Harold
lambat laun sadar, lama kelamaan ia mengalami kejenuhan. Ada momen disaat ia
diberi tahu bahwa ia akan mati dalam waktu dekat. Bayang-bayang kematian
menghantui Harold, sampai ia mencari sumber suara dalam pikirannya dan bertemu sang penulis. Absurd memang. Harold
akhirnya mengalami proses dialektis antara dirinya dengan Karen Eiffel sebagai
penulis takdirnya. Tragik-tragik yang Harold alami menjadi pengalaman yang
sangat berharga baginya. Hingga akhirnya Harold menghayati kehidupan itu secara
penuh. Ia sudah tidak peduli lagi pada kematan yang memang “dinding absurditas”
a la Camus dan Faktisitas a la Sartre (Heidegger juga).
Eksistensialis Mentok Senartogok
Mengutip term pemberian kawan Okie, dalam sebuah perbincangan singkat (bakda
kuliah Instrumentasi dan Kontrol Industri). Senartogok adalah wujud
eksistensialisme mentok. Apa maksud Okie? Menurut penjelasannya (yang agak
kabur itu) Senartogok itu mewujudkan konflik, atau apapun perseteruan di luar
dirinya menjadi bagian dirinya. Misalnya ketika ada konflik lahan di Rembang atau
Papua, Senartogok mencipta lagu dan mengarang puisi. Di saat ada penindasan di
tanah seberang tiba-tiba Senartogok mendakwahkan diri yang mesti berkehendak
dan hidup sepenuhnya.
Nah, Apa kaitannya dengan film Stranger Than Fiction ? Pada sebuah
diskusi kecil sehabis nobar film ini,
satu pertanyaan yang dilontarkan beliau. Jadi
apa yang Stranger Than Fiction? Ya hidup itu sendiri. Kemudian ia
mengusulkan sebuah tragik, bagaimana jika nama Harold itu adalah nama kita?
Coba ganti tokoh Harold dengan nama kita, apa yang akan kita lakukan? Apakah
akan menyerupai eksistensi Harold? Huh...sulit untuk dijawab.
Ada keterkaitan dengan
eksistensialisme Kierkegaard, bahwasanya baiknya manusia yang bergumul dengan
dirinya itu melompat ke wilayah religious,
eksistensi puncak. Kehidupan itu sendiri jauh lebih strange daripada fiction.
Melakukan penghayatan kehidupan, bersyukur,mengingat hal-hal kecil dan beberapa
yang belum terselesaikan meskipun kematian sudah menjadi sebuah kefaktaan (faktisitas,
manusia Ada menuju kematian). Itulah
pesan dari Senartogok.
diolah dari berbagai sumber.
1 comments:
Write commentsPenjelasan yg bagus tentang eksistensi manusia berkehidupan dimana terposisikan kesadaran manusia adalah utamanya..film nya juga good👍🏻
Reply