[Resensi Novel] Impian Pamanku karya Dostoevsky
Resensi Novel Impian Pamanku karya Dostoevsky
"Karnaval Psikologi Sosial"
Judul : Impian Pamanku
Penulis
: Fyodor Dostoevsky
Penerjemah : Sigit Djatmiko dan Pitoresmi Pujiningsih
Penyunting
: Adhe
Desain
isi dan sampul : @timoergurita
Penerbit
: Octopus Publishing House
Cetakan
: Pertama, 2016
Tebal
: 284 hlm.
Mikhail Bakhtin mendiktum Dostoevsky menciptakan sebuah genre
sastra baru: novel polifonik. Tahun 1963, Bakhtin menerbitkan buku penelitiannya
tentang karya-karya Dostoevsky: “Problems of Dostoevsky’s Poetics”. Di buku
itulah kemudian dikenal istilah poliglosia atau polivalen atau
polifonik.
Genre ini tidak berhubungan dengan tema, bentuk, maupun isi novel.
Genre polifonik bukan semata-mata kategori untuk membedakan jenis-jenis sastra seperti
tragedi, komedi, lirik, atau novel. Polifonik bagi Bakhtin lebih kepada
cara mengonsepsikan realitas yang memberikan kebebasan kepada watak-watak
individu. Pada novel polifonik, ‘suara’ tokoh tidak berada di bawah wibawa pengarang.
Mereka justru mampu memberontak pengarang dengan pluralitas suara dan kesadaran
yang bebas.
Dostoevsky dikenal ahli menyelami relung batin manusia. Tampak
dalam Impian Pamanku, Dostoevsky memunculkan tokoh yang kentara pergulatan
psikologisnya. Relung batin manusia, oleh Dostoevsky, tidak digetarkan menjadi
suara yang tunggal atau monokromatis, tetapi suara yang polifonik, yang plural.
Novel Impian Pamanku bukan magnum opus Dostoevsky. Impian
Pamanku tidak setenar” Crime and Punishment”, “The Brothers Karamazov”, atau
novel yang dianggap sebagai novel eksistensialis pertama: “Notes from
Underground.” Namun novel ini layak dibaca bagi pembaca yang menyukai “pertunjukan
indah”.
Pertunjukan indah pada sebuah teks novel biasanya dipicu oleh
kepiawaian pengarang dalam “menyutradarai” cerita, menetapkan karakter membagi-bagi
peran tokoh, serta jatah konflik. Dostoevsky tidak demikian, ia menciptakan
karnaval, semacam iring-iringan psikologis masyarakat. Dostoevsky menuliskan
novel Impian Pamanku sebagai potret masyarakat St. Peterburg masa itu.
Marya Moskaleva, wanita terpandang di Mordasov, adalah perempuan
yang dominan, tangguh dan ambisius. Suatu ketika, demi memperoleh status
sosial, ia berencana menikahkan anaknya,
Zena, dengan Count K yang kaya, tetapi sudah uzur. Sebenarnya, Zena sudah punya
kekasih. Tetapi gegara hubungan mereka tidak direstui Marya, kedua
pasangan ini berhubungan melalui surat. Hubungan gelap via berkirim surat ini suatu
ketika menjadi gosip yang menyebar di Murdasov, sehingga mengancam nama baik
Marya. Namun dengan kelihaiannya, gosip itu lenyap, seperti ditelan angin.
Marya lantas memisahkan Zena dengan kekasihnya. Sang Kekasih pun jatuh sakit
karena mendapati cintanya kandas.
Marya yang ambisius dan
dominan juga mengusir Afansy Matveich, ayah Zena, suami Marya sendiri. Afanasy
Matveich diasingkan ke kebun, berjarak dua mil dari rumahnya. Afanasy Matveich
ditugaskan Marya mengontrol budak pekerja kebunnya.
Marya ahli bersiasat. Culas. Ia mengarang cerita bahwa Count K
telah meminang putrinya, Zena, menjadi istri Count. Marya lalu membujuk-rayu Count
K dengan alasan yang terdengar logis.
Sebelumnya, Zena sudah dilamar oleh Mozglyakov, pria yang tergila-gila
kepada Zena. Ia ingin menikahi Zena. Namun Zena belum menerima lamaran
tersebut. Ia butuh waktu memikirkan itu semua.
Impian Pamanku adalah karnival psikologis tokoh. Tokoh sebagai subjek
dengan mulut sendiri, bukan corong ide Dostoevsky. Mereka tidak berdiri di
belakang Dostoevsky. Tetapi sejajar, di samping Dostoevsky. Tokoh lantas hadir
tanpa panggung, tanpa pembagian peran sebagai pemain atau penonton. Setiap
subjek bergabung sebagai peserta aktif. Seperti karnaval. Karenanya, pengarang atau
pembaca tidak pula dapat mengobjektifikasi berbagai peristiwa, tetapi justru
menjadi peserta dialog sehingga oposisi dialogis tidak mengenal akhir.
“Knowledge is Power”, kutipan Francis Bacon yang terkenal ini
rasanya relevan dengan konidisi masyarakat Mordasov, bahkan masyarakat kita
kini. Jika di Mordasov pengetahuan menyamar dalam bentuk gosip, maka di
masyarakat kita itulah informasi. Marya yang menguasai gosip mempunyai kuasa
yang kuat di Mordasov. Masyarakat Mordasov kadung suka dan terlibat dalam dunia
gosip. Dewasa kini juga, sepertinya gosip yang diidentikkan dengan informasi
ini masih digandrungi masyarakat. Lihat betapa menjamurnya jenis acara TV
berisi gosip. Terjadi banjir informasi, apalagi di dunia maya. Informasi
direproduksi terus menerus tanpa henti. Hal ini menyebabkan manusia kehilangan
kedalaman dalam proses menghayati kehidupannya.
Sekilas, Impian Pamanku mirip dengan sinetron di saluran tivi
kita. Tentu bukan soal dangkal dan miskin mutunya. Kesamaan novel ini dengan
sinetron kejar tayang tersebut adalah soal tema yang diangkat. Tema-tema
keculasan manusia untuk mendapatkan status sosial, perebutan laki-laki atau
perempuan. Adapula para pemancing di air keruh, seperti tokoh yang memeras
Marya begitu mendapatkan bocoran surat cinta Zena dengan kekasihnya. Karnaval ini
juga memperlihatkan masyarakat yang kehilangan jatidiri, sehingga terjadi perebutan status sosial.
Isu Zena mengingatkan kita kepada Siti Nurbaya. Pernikahan paksa.
Perempuan tidak punya kuasa untuk menentukan pilihannya. Zena dijodohkan Marya
dengan Count K, dengan harapan Zena akan mendapat status sosial yang lebih
tinggi. Count K lelaki tua yang lemah, tua dan pikun.
Novel ini komikal, sehingga membacanya menjadi lebih nyaman dan
tidak membosankan. Pembaca akan diseret sampai akhir oleh karakter-karakter
novel yang beragam. Pergulatan kisah cinta serta perkembangan psikologis
tokoh-tokoh novel ini menarik untuk diikuti. Setiap tokoh dikuliti kondisi
psikologisnya. Tokoh-tokohnya diterpa tragedi sekaligus juga komedi-komedi.
Membaca novel ini serasa menelanjangi batin manusia. Sosok Marya
yang dominan, tangguh, banyak bicara, culas dan ambisius memiliki sisi lain
yang tidak bisa dilihat sebagai hitam putih semata. Zena dikorbankan demi
ambisi ibunya. Tetapi bukan hanya Zena saja, tetapi juga Afanasy, suaminya,
Vasya, kekasih Zena dan Mozglyakov pengagum Zena, bahkan Marya mengorbankan
dirinya sendiri.
Lantas kerapuhan lelaki dihadapan cinta dengan kuat ditampilkan
Dostoevsky di tokoh Vasya: pacar Zena, Afanasy Matveich: ayah Zena, dan Pavel Alexandrovich
Mozglyakov.
Kisah cinta yang diceritakan Dostoyevsky ini ibarat bola kaki yang
bergulir ke sana ke mari sebelum akhirnya tercipta gol dan peluit berbunyi.
Kisah cinta menjadi layak untuk diperjuangkan namun tidak juga dengan melakukan
tindakan-tindakan culas, yang berbuah makin rumitnya kisah itu. Justru
perjuangan yang putih, menerima takdir apapun di depan, semacam konsekunsi atas
segala pilihan dalam mem-perjuangkannya.