[Resensi Buku] Geography of Faith
Resensi Buku Geography of Faith
Judul : The Geography of Faith:
Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai
Yerusalem
Penulis : Eric Weiner
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penyunting : Zahra Hanifa
Penerbit : Penerbit Qanita
Cetakan : I, September 2016
Tebal : 500 hlm
“Jika kau menginginkan kebahagiaan maka percayalah. Jika kau
menginginkan kebenaran maka carilah”—Friedrich Nietzsche—
Ada sentilan, yang berupa kritik, kepada kaum yang berhibuk ibadah
ritual: “Sibuk bertuhan lupa beragama”. Sentilan ini tampaknya memisahkan antara
bertuhan dan beragama. Seolah “bertuhan” adalah “relasi vertikal”(manusia
dengan Tuhan) yang kaku dan terpisah sedangkan “beragama” sebagai relasi horizontal
(manusia dengan makhluk Tuhan lain) yang ajek dan otonom.
Sentilan ini muncul dari fenomena manusia yang taat beribadah namun
tidak saleh sosial. Contohnya adalah sosok Haji Soleh dalam cerpen A.A. Navis:
Robohnya Surau Kami. Haji Soleh hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri dan lupa
kewajibannya kepada orang-orang sekitar. Akhirnya, ia dimasukkan Tuhan ke
neraka.
Eric, penulis buku ini semestinya paham dengan ungkapan bahwa di
rumah sakit dokter bertarung dengan malaikat dalam memperebutkan nyawa seorang
pasien (tentu dokter dibantu dengan rekan-rekannya perawat). Namun Eric tetap
alergi terhadap rumah sakit. Bahkan
meskipun ia lahir dari keluarga dokter (ayahnya seorang dokter). Tapi
siapa sangka dari ruang UGD-lah Eric mendapat ide yang mengilhami penulisan
buku ini. Saat memeriksakan kesehatannya, seorang suster berujar kepada Eric,
“Sudahkah kau menemukan Tuhanmu?”. Sebuah pertanyaan spesifik yang personal.
Tidak berbunyi seperti ini : Sudahkah kau menemukan Tuhan? Ada kata ganti kepemilikan
–mu, Tuhan khusus Eric. Ia mulai memikirkan pertanyaan ini.
Walhasil pertanyaan ini membuat Eric mengunjungi Kathmandu (Nepal),
China, Istanbul, sampai Yerussalem. Catatan dari perjalan tersebut lantas ia
kumpulkan menjadi buku setebal 500 halaman ini. Sebuah memoar pengembaraan
spiritualitas. Pengembaraan dalam artian benar-benar berpindah tempat secara
geografis dan aliran kepercayaan.
Buku ini lebih kepada catatan perjalanan yang subjektif ketimbang
kajian akademis tentang agama atau buku yang membahas metafisika atau teologi
agama-agama. Kita mengenal buku-buku tentang agama seperti The Varieties of
Religious Experience: A Study in Human Nature tahun 1902 karya William
James, Religion in the Making tahun 1926 karya A.N Whitehead. Akan
tetapi kedua buku tersebut merupakan kajian studi agama dan manusia serta
dilakukan dari dalam kamar dan perpustakaan. Sementara itu, buku Eric ini
adalah jenis buku traveller dengan sentuhan spiritualitas.
Manusia
Modern yang Rindu Tuhan
Di tengah arus kehidupan modern, saat teknologi dan sains
berkembang sangat cepat, manusia kembali merindukan Tuhan. Manusia mulai
menyadari kehadiran lubang kosong pada dirinya. Ketersadaran tersebut
menimbulkan upaya-upaya manusia untuk mengisi lubang itu dengan sesuatu yang
transendental, dengan sesuatu yang tak tergapai: Tuhan. Abad Modern ini juga menggempur iman lama yang
sedang ongkang-ongkang kaki. Iman jenis ini dirasa menakutkan. Iman yang kaku
mesti dilenturkan dengan dogma yang rasional dan dialektis. Artinya iman bukan
sebuah paket yang final dan keras. Iman yang dibutuhkan adalah yang fleksibel
dan mengenal dialektika dengan rasio manusia.
Tambah lagi fenomena kaum radikal yang membingungkan: beragama
tetapi menimbulkan kekacauan. Agama yang secara etimologi berasal dari kata a
dan gama yang berarti tidak kacau justru menjadi sebaliknya. Dengan
demikan agama gagal memenuhi esensinya. Lantas fenomena kegelisahan ini oleh
Eric dicoba selesaikan dengan perjalanan. Perjalanan menemukan dan memenuhi
kerinduannya kepada Tuhan.
Perjalanan Eric dimulai dengan mengenal Sufisme. Eric memilih sufisme
ketimbang Islam secara keseluruhan karena Eric ingin menyelami yang partikular.
Sufisme sendiri adalah pusat mistik Islam dengan orang-orang yang mengalami
ekstase spiritual. Eric mengikuti kamp Sufi di California. Melihat jejak Hazrat
Inayat Khan, musisi India yang membawa sufisme ke Amerika tahun 1910. Karena tidak
puas, Eric lantas berangkat ke Istanbul (Turki) negeri tempat Rumi menyebarkan
sufisme bersama murid-muridnya.
Selepas Sufisme, Eric bertolak ke Kathmandu, Nepal. Bermeditasi
bersama kaum Buddhis. Kemudian ke Bronx Selatan, Amerika, beribadah bersama
Fransiskan. Lantas ke Vegas berkenalan dengan Raelisme, agama berbasis UFO yang
terbesar (sebab masih banyak agama dengan basis UFO). Raelisme adalah agama
yang percaya bahwa manusia diciptakan oleh makhluk angkasa luar yang disebut
Elohim. Kemudian bersentuhan dengan Taoisme di gunung Wu Dang, China, mengikuti
ritual agama penyihir Wicca di Amerika, menyadari kekhusyukan ritual menjadi
hewan bersama Syamanisme dan mengikuti ritual Kabbalah, di Israel, yang menjadi
keyakinan turun temurunnya.
Tuhan
dan Agama
Kebenaran religius berkecambah dari pengetahuan yang kita peroleh
tatkala operasi-operasi inderawi dan intelektual kita yang biasa-biasa saja ini
berada pada puncak kepekaannya (Alfred North: Whitehead dalam Religion in the
Making). Dalam bahasa lainnya: Hidayah hanya dapat diperoleh atas izin Allah
(Islam) atau pencerahan hanya bisa diperoleh dari usaha sendiri (Zen) atau Pintu
hati hanya dapat dibuka dari dalam (Buddhism). Keadaan emosi tertentu ini
berhubungan juga dengan kondisi fisik atau biologis manusia untuk berfokus
memahami topik religius.
Bagi peneliti agama William James dan Friedrich Scheilmacher agama
memberi penekanan kuat pada segi perasaan dari pengalaman religius. Sementara
Emile Durkheim dan Max Weber mendeskripsikan agama lewat kata kunci ritus,
institusi, dan kesaksian iman.
Sementara itu, Tuhan ialah fungsi dalam dunia yang membuat
kehendak-kehendak kita terarah. Bahkan lebih ringkas, Rainer Maria Rilke,
penyair besar dari Jerman mengungkapkan Tuhan adalah arah. Kita terarah kepada tujuan
yang kita sadari sebagai tujuan yang tidak berpihak (imparsial) pada
kepentingan kita sendiri. Tuhan ialah elemen dalam kehidupan yang memungkinkan
proporsi atau putusan tak hanya menjangkau fakta eksistensial, tetapi lebih
jauh lagi menjangkau nilai eksistensi. Artinya,
Tuhan ialah elemen yang memungkinkan kita mengupayakan tidak hanya apa yang
bernilai bagi diri sendiri, tetapi juga hal-hal yang bernilai bagi orang lain.
Tuhan juga anasir yang memungkinkan apa yang bernilai bagi orang lain menjadi
sekaligus apa yang bernilai bagi diri kita sendiri.
Penerjemahan buku ini penting untuk diapresiasi. Buku-buku
perjalanan spiritual jarang dan hampir tidak tersedia di Indonesia (disamping
berseri-seri Naked Traveller). Buku ini terbit dalam bahasa Inggris tahun 2011.
Meskipun sudah lima tahun berselang buku ini tetap relevan dibaca. Jeda
tersebut bukan alasan untuk tidak membacanya. Keterlambatan pengalih-bahasaan
itu terbayar dengan hasil terjemahan yang apik, luwes, dan asik dibaca. Bahasa
komunikatif dan gaya tutur Eric membuat buku ini tidak kaku tetapi justru
fleksibel layaknya diari. Pembaca akan dibuat ketagihan. Kover yang
cantik, imut dan kekinian (lukisan jalan raya dengan atribut-atribut simbol
agama di tepi jalannya dan warna-warna pastel) membuat buku ini tambah menarik.
Rasanya, dengan situasi beragama yang diramaikan oleh
konflik-konflik yang melibatkan ormas agama di Indonesia, rasanya kita perlu
membaca buku ini. Buku yang menuliskan ulang perjalanan anak manusia menemukan faith,
menemukan iman, tanpa harus bertengkar-tempur. Sebab menurut Eric agama yang
baik mestinya membuat derajat manusia lebih tinggi.
“Bagi orang yang tidak percaya, sebanyak apapun bukti, akan tetap tidak
percaya. Bagi orang yang percaya, tidak perlu bukti.”—Santo Agustinus—