[Resensi Novel] Para Bajingan yang Menyenangkan
Resensi Novel Para Bajingan yang Menyenangkan
Judul :
Para Bajingan yang Menyenangkan
Penulis :
Puthut EA
Penyunting : Prima
S. Wardhani
Penerbit : BUKU
MOJOK
Cetakan : I,
Desember 2016
Tebal :
vi+178 hlm.
Judi, menjajikan kemenangan
Bohong, Bohong, Semua itu Bohong...
Sepenggal lirik lagu Bang Haji ini
tentu tak bisa lepas bila kita bicara judi. Kali ini penulis tidak ingin
membahas aspek struktur atau semiotik lirik lagu Bang Haji ini. Tetapi hanya
membuka resensi buku ini dengan penggalan lirik lagu tersebut.
Judi, bersama miras menjadi penyakit
masyarakat yang mesti diberantas, oleh polisi. Di desa-desa biasanya ada plang
khusus di tepi jalan. Kalau di kota plang-nya tentu iklan dugem atau event
konser, sesekali tentang bahaya narkoba dengan ilustrasi seorang siswa sma
terkapar duduk berlatar api merah menyala. Akan tetapi bagi Jackpot Society
judi justru ialah hiburan. Apakah ada hubungannya dengan kondisi ekonomi atau
tidak yang jelas judi menjadi aktivitas yang mereka sukai kala itu. Kala mereka
menjadi mahasiswa.
Sebuah kisah masa muda yang unik. Putut
EA menceritaan ulang kehidupan semasa mahasiswa yang merangkap pemuda yang
tengah bergejolak. Para bajingan yang menyenangkan lahir ditangan Puthut EA
dengan bahasa mengalir.
Kisah ini jauh dari pesan moral yang
membujuk kaum muda mempersiapkan diri menuju masa depan gemilang. Alih-alih
demikian, kisah ini justru menampilkan potret para penjudi, yang sesekali mabuk
dan menjalani hidup jahanam, yang pantas atau tidak pantas mesti dijalani.
Latar Yogyakarta 90-an disajikan
Puthut dengan memukau. Kehidupan kampus semasa itu dibumbui juga dengan orde
baru yang mengekang mahasiswa. Penulis novel yang juga adalah pendiri LMND(Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), sebuah organisasi mahasiswa tingkat
nasional. Potret detil juga menambah keasyikan membaca novel ini.
Para Bajingan yang Menyenangkan tidak
disusun bab per bab. Hanya ada tiga bagian utama. Kami Tak Ingin Tumbuh Dewasa,
Bagor setelah Dua Puluh Tahun dan Epilog. Pembagian ini tentu tidak memberikan
kategori yang khusus untuk pembabakan isi novel.
Tokoh-tokoh dalam novel ini
sepertinya diadopsi langsung oleh Puthut. Jelas kekhasan karakter masing-masing
tokoh. Melakukan tindak-tanduk yang bagi orang sekarang tentu bajingan, atau
mungkin bagi mereka di tahun sekian juga. Tetapi menyenangkan. Menyenangkan
dengan pemaknaan persahabatan mereka.
Novel ini serupa nostalgia romantik
orang dewasa yang sudah memiliki kehidupan baru terhadap masa muda mereka.
Bukan untuk mengulangi tetapi justru menonton kembali sembari tertawa dan
berucap, aku dulu begitu, itu sejarahku, sambil terbahak atau meneteskan air
mata, karena terpingkal.
Darah muda, darahnya para remaja.
Tetapi mereka tidak merasa gagah. Dan mesti menerima kekalahan jika itu memang
sedang kalah berjudi. Masa muda memang masa yang berapi-api, Jackpot Society
ingin menang bermain judi.
Puthut juga sama sekali tidak
menciptakan tokoh ideal macam Arsya dari Bumi Cinta Habiburrahman EL-Shirazy
atau Tokoh-tokoh karakter bijak macam novel Tere Liye. Putut menghadirkan tokoh
yang bagi masyarakat moralis kini tentu brengsek. Mabuk dan Judi adalah
brengsek. Tetapi siapa tahu. Tokoh macam ini adalah tokoh contoh, supaya jangan
begitu ketika muda. Akan tetapi bagaimana pula mencegah orang. Bukankan setiap
pengemudi sepeda sekali dua akan jatuh dulu atau menabrak trotoar? Entahlah.
Yang jelas novel ini ringan, lucu dan pantas dibaca.
Anggota Jackpot Society
1.
Bagor
-
Masuk jurusan Antropologi UGM ‘94
-
Pindah ke D-3 Ekonomi
-
Tahun berikutnya ke Ekonomi Manajemen
-
Aktivis gerakan melawan orba. Tanggal 27 Juli ditahan
aparat
-
Ditarik keluarga
-
S1 di UGM
-
Kerja di BUMN ternama. Sekolah lagi di Boston
2.
Kunthet
-
Pendek
-
Jurusan Geofisika UGM
-
Senang mengeluarkan teori judi
3.
Proton
-
Teknik Kimia UGM
-
Hobi asing mengoleksi koin dan keris, virus komputer
dan bergonta-ganti agama
4.
Babe
-
Anak MayJen
-
FE UGM
5.
Almarhum Jadek
-
Suka membuat-buat istilah betul-betul, sama sekali,
menjerit.
Oh iya, dialog Jawanya itu menjadi
‘nilai kurang’ novel ini.