[Resensi Buku] Membeli Batang Pancing Untuk Kakekku
Resensi Buku Membeli Batang Pancing Untuk Kakekku
“Narasi Fiksi Gao Xingjian”
Judul : Membeli
Batang Pancing untuk Kakekku
Penulis : Gao
Xingjian
Penerjemah : An Ismanto
Penyunting : Tia Setiadi
Penerbit : BASABASI
Tebal : 148 hlm.
“Sastra tidak peduli dengan politik, tapi murni persoalan yang
individual. Ia adalah kegembiraan intelek yang berpadu dengan observasi,
tinjauan terhadap apa yang sudah dialami, kenangan dan perasaan, atau kilasan
keadaan pikiran. Sastra melangkaui ideologi, batas-batas nasional, dan
kesadaran rasial. Sastra Tiongkok pada abad XX berulangkali diletihkan dan
hampir-hampir tercekik dikarenakan politik mendikte sastra: baik revolusi dalam sastra maupun sastra revolusioner
keduanya menjatuhkan hukuman mati kepada sastra yang individual. Serangan
terhadap budaya tradisional Tiongkok atas nama revolusi berakhir dengan pembakaran buku.”
“Membumihanguskan sastra adalah retorika Revolusi Kebudayaan.
Sastra tak mati dan penulis tak binasa. Setiap penulis memiliki tempatnya
sendiri di rak buku dan dia hidup sepanjang mempunyai pembaca.”
Dua paragraf di atas dikutip dari pidato Gao Xingjian kala
dianugerahi hadiah Nobel Sastra tahun 2000. Dari sini kita bisa melihat
pandangan Gao dalam menulis. Ia adalah individualis yang bergulat dengan kerja
menulis, tanpa harus mengekor kepada motif ideologis ataupun politis.
Kepenulisan Gao Xingjian adalah usaha meninggalkan fiksi
tradisional dengan memburu praktik bahasa naratif. Gao mencoba meninggalkan bahasa naratif maha tahu dari narator spesifik. Dengan
demikian, posisi cerita dan plot menjadi kurang penting, akan tetapi justru
cara narator membawakan cerita menjadi fokus yang baru.
Dalam Eseinya “Seni Fiksi”, Gao menemukan fenomena menarik bahwa
bahasa apapun di dunia ini mempunyai tiga kata ganti orang dasar, yaitu aku,
kau, dan ia. Tidak ada pilihan lain. Ketiga kata ganti orang ini memang
memiliki bentuk jamak kami/kita, kalian, mereka. Namun, ini adalah sebuah
kata-kata publik atau sebuah bentuk ujaran politik dalam sebuah kolektif, dan
penulis fiksi tidak menjalankan peran jubir publik.
Dalam fiksi harus ada sebuah pilihan diantara ketiga kata ganti
tersebut, bahkan jika narasi itu dari sudut pandang seorang tokoh spesifik.
Sebab mustahil bagi individu dan kata umum tak spesifik melakukan narasi.
Itulah keterbasan dalam narasi fiksi.
Evolusi fiksi dari pengisahan cerita kemudian bergeser ke
penciptaan tokoh dan karakter. Pergeseran dari variasi plot ke potret tokoh
yang menjadikan plot sebagai hal sekunder dan penciptaan tokoh dengan karakter
kuat berhasil mereproduksi keberagaman manusia yang penuh semangat. Sehingga plot melemah untuk
memberikan jalan bagi pelukisan lingkungan dan konteks kehidupan. Seperti dalam
Dostoevsky, kepribadian tokoh makin kompleks, skizofrenik dan depresif. Atau
dalam Madame Bovary, Gustave Flaubert, dunia batin tokoh yang kontradiktif
tecermin dari banyak sudut. Namun karena masih belum memisahkan diri dari plot,
karya-karya ini tetap fiksi tradisional : hanya ada pergeseran tekanan dari
plot ke penciptaan dan potret para tokoh.
Gaya minimalis Gao Xingjian terpengaruh oleh nouveau roman
Prancis tahun 1950-an. Angkatan ini menulis fiksi posmodern. Mereka mengubah fiksi
menjadi diskusi intelektual dengan mendekonstruksi narator dan memutar balik
cerita, plot serta tokoh. Fiksi diracik menjadi sebuah suguhan teks tentang
konsep-konsep dan permainan intelektual. Dasawarsa 1950-an, salah satu penulis nouveau
roman Prancis, Michael Butor, menulis novel dengan kata ganti orang kedua:
kau. Kau dapat merupakan protagonis atau pembaca.
Searoma dengan itu, Gao mengakui dalam cerpen “Membeli Batang
Pancing untuk Kakekku”, narator orang pertama: aku, tenggelam dari masa kini ke dalam ingatan, yang membangkitkan
semua bentuk asosiasi yang tak bisa dibedakan dari mimpi dan merangsang pikiran
batin (inner mind) untuk berbicara dalam mimpi. Aku menjadi dua, yang membuat kau
menjadi ada; maka kau dan aku dapat terlibat dalam dialog. Semua
ini terjadi dalam aliran narasi.
Di awal karir kepenulisannya, penerbit mengatakan bahwa karya Gao
tidak akan dapat dimengerti oleh siapapun, kata-kata itulah yang kemudian
memicu Gao untuk menelisik lebih dalam tentang alam novel dan fiksi.
Novelnya Gunung Jiwa, pemenang hadiah nobel, sebagian terinspirasi
dari diagnosis kanker paru-paru yang dideritanya tahun 1983 serentak dengan dia
diancam dan ditangkap karena tulisannya yang dianggap kontra revolusi. Sebagai reaksi,
Gao meninggalkan Beijing dan memulai pengembaraan selama 10 bulan ke Provinsi
Sichuan, melacak jejak sungai Yangtze dari sumber hingga ke muaranya. Meskipun
pengecekan selanjutnya membuktikan dia tidak menderita kanker, kepastian
tentang dekatnya kematiannya dan komitmennya kepada ide individualitas terekam
pada novel Gunung Jiwa.
Gao meninggalkan China pada tahun 1986. Setelah pembantaian
Tianamen 1989, Gao mengundurkan diri dari Partai Komunis China yang terlibat
dalam tragedi itu. Gao memilih exile ke Perancis.
Selain sebagai penulis, Gao juga dikenal sebagai dramawan. Ia dramawan
yang banyak terpengaruh oleh Samuel Beckett. Gao bahkan adalah pionir drama
absurd di China.
Dalam dunia penulisan Gao terinspirasi dari Joyce, Proust, dan
Faulkner. Pencariannya terhadap bahasa naratif yang sastra sebagai suara
individu total dan murni menjadikan ia diganjar nobel tahun 2000. Ia merupakan
orang China pertama yang menerima hadiah nobel sastra.
Pada Cerpen “Kuil”, Gao menghadirkan ingatan tokoh tentang bulan
madu yang indah. Dibayangi dengan kebahagiaan serta beberapa kegagalan. Di “Kram”,
seorang perenang terserang keram hampir tenggelam. Ia lantas berenang melawan
pasang laut untuk kembali ke daratan. Buru-buru ia kembali ke hotelnya untuk
menceritakan bahwa ia baru saja lolos dari maut. Menemukan tak ada seorang yang
tertarik, dia kembali ke pantai, tempat dia mengamati tiga pengunjung lain, dua
lelaki dan seorang wanita. Manakala lelaki berlari menuju pantai, sang gadis
tetap pada pasir, bertopang pada kruknya. Dengan plot yang minim, Gao
konsentrasi menampilkan kontras emosi, perenang yang gegabah, dan gadis cacat
yang kesepian
Cerpen “Kecelakaan” menyajikan detail kecelakaan sepeda dengan
sebuah bus. Sang Ayah dengan anak kecil membonceng sepedanya di jalanan yang
ramai. Bertabrakan dengan bus, lalu reaksi kerumunan pasca itu. Gao mengekalkan
momen waktu yang terjadi sangat cepat dalam narasi fiksi. Perasaan dan
ketegangan para saksi mata dalam sekejap ruang waktu diperas ke dalam cerita. Gao
tidak berhenti di sana, ia lantas melebarkan kemungkinannya: hidup sebagai bahan
baku penciptaan karya seni yang indah.
Judul “Membeli Batang Pancing untuk Kakekku” dibingkai dengan rasa
ingin tahu sebagai perjalan nostalgia delusi. Gao menjungkir-balikkan waktu dan
tempat, jukstaposisi, surealisme dan aliran kesadaran, fragmen suara naratif
yang bercakap dengan dirinya sendiri.
Cerpen “Seketika” adalah kisah surealis seseorang yang mandi sinar
matahari diseret lamunanannya ke banjir pasang dan sayap burung camar, permainan
jalanan anak kecil dan perselingkuhan senja hari. “Seketika” menjadi eksperimen
tentang keserentakan yang berjalan sebagai modernitas dengan potongan narasi
dan lompatan, citra yang aneh, dan badut absurd Beckett. Pada bab terakhir buku
tertera esei Gao tentang fiksi, semacam kredo penulisan cerpen-cerpennya.
Cerpen-cerpen Gao Xingjian adalah lukisan impresionistis. Ingatan,
mimpi, dan pencerapan inderawi diramu sedemikian rupa dengan pencitraan yang
sangat peka dan sudut pandang yang berganti ganti untuk menyiasati
kilasan-kilasan.
(Pernah dimuat di basabasi.co 4 Februari 2017)
(Pernah dimuat di basabasi.co 4 Februari 2017)