Ada yang Tidak Bisa di Kopi ? (Awal--Selesai)
Wulan sebelumnya mohon maafku atas dua hal :
1.
Aku sengaja meninggalkan binder itu, sehingga kamu dimarahi sama
Koko.
2.
Aku tidak jujur selama ini.
Semoga sakitmu cepat sembuh. Dan menjadi
pasangan yang serasi selalu.
Jakarta, 26 Juli
1994
Pagi ini, hari senin. Hari dimana biasanya
aku bergegas ke sekolah. Memacu sepeda mustang agar tidak terlambat upacara.
Tidak lupa atribut dasi, topi dan ikat pinggang. Kalau tidak bawa apalagi tidak
dipakai, Pak Dani bisa menghukumku membersihkan WC sekolah. Meskipun akan
berpahala, tetapi tetap saja akan tidak mengenakkan. Hukuman. Begitu, hukuman
akan diberikan bagi pelanggar aturan.
Hari ini hari senin. Aku sudah tidak SMA
lagi. Aku sekarang mahasiswa tingkat lima. Genap sudah sepuluh semester aku di
kampus ini. Kapan ya aku bisa lulus? Hehe. Semoga saja, maksimal tahun depan
akan menjadi waktu yang tepat buatku diwisuda.
Hari ini hari pertama kuliah. Semester
kesebelas. Aku tinggal mencuci dua nilai yang masih bermasalah. Sebenarnya aku
sudah berusaha belajar, tetapi entah karena otakku yang rada beku atau dosennya
yang berhati batu. Aku dan sembilan belas mahasiswa Teknik Mesin Universitas
Negara Kita ini harus bersabar.
Pukul sepuluh aku berangkat kuliah.
Ruang Kuliah. Departemen Teknik Mesin.
Aku disuruh oleh Pak Dosen memfotokopi bahan
kuliah. Astaga, aku sebenarnya malas sekali, tapi apa daya, aku harus memasang
wajah senang hati. “Baik pak.” Jawabku senyum.
Fotokopi Bola Dunia.
“Mbak, tolong ya, difotokopi 20 kali”
“Iya” Si Mbak pegawai fotokopi mengangguk
santun. Sepertinya dia seumuran denganku. Eh malah aku mungkin lebih tua
darinya.(Tampangku Tua?)
Sorenya sehabis kuliah, aku singgah lagi di
fotokopian ini. Untuk apa lagi kalau tidak memfotokopi. Sebundel latihan soal
dan kunci jawaban.
27 Juli 1994
“Eeh,,ii,iia, mbak, itu kertas kosong ya?
Maaf saya salah bawa. Kalau begitu. Tunggu sebentar ya..”
Hari selasa ini aku merencanakan rencana itu.
Entah sengaja atau tidak, alam pun mendukungku. Aku menyerahkan selembar HVS
kosong. Sehingga aku pun tergesa-gesa balik ke kostan. Salah tingkah.
28 Juli 1994
Hari Rabu..
“Koh ada liat binder saya gak?” “Eh maaf
tidak ada. Tapi tunggu dulu, saya tanya karyawan lain dulu. Memangnya
ketinggalan kapan?””
“Kemarin Ko, waktu itu saya lagi fotokopi
tugas sama karyawan yang di mesin 3” Aku menunjuk mesin fotokopi yang dipakai
si Mbak kemarin. “Oohh, Wulan, kebetulan hari ini dia tidak masuk.” Koko
mengangguk.
Alhamdulillah akhirnya aku tahu namanya.
Strategiku berhasil.”
29 Juli 1994
Aku tak tahu.
Mulai saat itu, aku selalu rajin memfotokopi.
Kalau urusan fotokopi selalu pergi ke bola dunia. Macam Cuma bola dunia saja
fotokopi yang ada disekitar kampus ini. Bahkan aku rajin menolong teman untuk
memfotokopi, agar bisa bertemu dengan Wulan. Anehnya untuk membeli sebatang
pensil faber castell, sepotong penghapus pun aku tidak mau ke tempat lain,
meski ada yang lebih dekat. Satu alasan. Karena ingin bertemu Wulan.
26 Desember
1994
Sudah sekian bulan aku menyembunyikan
perasaanku kepada Wulan. Waktu panjang yang kujalani dengan kehati-hatian.
Supaya hatiku tidak ketahuan menaruh hati kepada hati Wulan.(Ciee) Saatnya hari
ini aku ungkapkan agar ia tahu.
27 Desember
1994
Semalam aku sudah mencari bahan bacaan,
bertanya kepada Mang Supri, penjual Bubur ayam. Bagaimana cara menarik
perhatian wanita, tips sejuta cara menaklukkan wanita lewat kata-kata, dan
sejenisnya.
Kali ini aku tidak membawa kertas, buku, atau
modul untuk di fotokopi. Aku ingin ngobrol dengan si Wulan.
Aku akan mengajak Wulan jalan-jalan,
makan-makan, atau mungkin, lari-lari (jogging) sore ini.
Apa yang terjadi, entah karena apa, cinta
yang tidak berpihak ? Wulan tidak masuk hari ini. Menurut penuturan Koko si Wulan
tengah dirawat di rumah sakit. Ia terjangkit demam berdarah, mendadak kemarin
setelah pulang kerja, Wulan panas.
Aku cemas. Harapan untuk mengobrol dan
mengajaknya hari ini menguap.
Aku bersicepat ke rumah sakit.
Dirumah sakit ternyata sudah ada calon suami Wulan
menunggu. Aku tahu itu menurut keterangan adik Wulan yang nyerocos-nyeroces.
Sontak terpukul batinku, terpental jiwaku,
huhuhu. Surya, surya, Wulan ternyata adalah calon istri orang. Aku tak dapat
berbuat banyak. Toh sudah ada orang
yang lebih pantas. Aku bukan siapa-siapa. Lelaki di ruang tunggu itu sepertinya
sudah mapan, jam tangannya bagus, tampilannya necis, bersih rapi dan penuh
kasih pula lagi. Aku segera merasa inferior. Aku tidak boleh dekat-dekat dengan
calon istri orang. Ada baiknya aku lumat saja buku-buku kuliah. Melupakan
harapan hatiku untuk lebih dekat dengan Wulan. Menyibukkan diri dengan
jurnal-jurnal dan tugas-tugas, agar suatu saat ada gadis lain yang mungkin
lebih istimewa Tuhan kirimkan untukku. Fokus Belajar. Apa hubungannya ya? Entahlah
aku pun tak begitu paham.
Lagi, ternyata perasaanku yang selama ini
hanya pembenaran semu. Aku saja yang menghubungkan senyum Wulan dengan perasaanku.
Sebenarnya kan wajar saja kalau pegawai senyum kepada pelanggan. Kutinggalkan
surat kepada Wulan.
“Pah, sibuk
banget. Kopinya dihabisin dulu. Nanti kalo udah dingin gak enak lagi lo.”
“Ini Mah,
lagi baca buku harian masa kuliah dulu.”
“Iiih..Papa,
gak bosen-bosennya baca buku itu terus”
“Lah iya
dong Ma, dulu ada seorang gadis namanya Wulan Stephanie. Ia dulu kerja deket
Kampus Papa, di fotokopi Bola Dunia. Katanya dulu udah gak mau ketemu Papa lho,
tapi sekarang malah bikinin kopi tiap pagi buat Papa.”
“Dulu Papa
sempat dibuat cemburu sama Temennya itu. Tapi yaa, takdir. Bidadari, nan baik
jelita, anggun dan santun, manis dan pemalu itu....”
“Iiih Papa,
Kalau diingat-ingat ada lucunya juga yaa.., Eh by the way si Wulan Stephanie itu sekarang namanya udah nambah,
Wulan Stephanie Surya.”
Bersambung...
Aku sontak terkejut sekali. Terkejut benar. Ternyata diluar kontrol, skenario konyol meninggalkan binder untuk tahu nama Wulan itu berujung luka. Wulan dipecat.
Seharusnya aku kan bisa saja bertanya kepadanya siapa namamu? Atau bertanya kepada orang lain. Aduh. Nasi sudah menjadi bubur. Bubur panas yang terserak di hatiku.
Pokoknya aku harus terang kepada Wulan. Akulah penyebab semua ini. Tidak mungkin wulan mencuri atau sebagainya. Aku tahu dia gadis yang baik. Apa mungkin Santi?? Ah tak peduli, aku tetap harus meminta maaf dan bertanggung jawab kepada Wulan. Seperti apa?
“Koh Wulan-nya ada ?” aku bertanya seakan tidak tahu apa-apa tentang kejadian kemarin.
“Oh Nak Surya. Katanya, Wulan sudah tidak betah bekerja disini lagi. Ia mau suasana baru,begitu. Kalo tidak salah dia pulang kampung ke Jawa Timur.
“Koko tahu alamatnya?” tanyaku spontan.
“Tidak”
Alamak.
Apa apaan ini. Bukankah seharusnya aku lebih cepat bergerak. Kenapa aku menunggu? Aku terlambat. Wulan sudah ke Jawa sekarang.
Kalau tempat tinggalnya yang lama Koko tau?
Iya ada alamatnya.
“Wulan maafkan aku. Aku telah sengaja meniggalkan binder itu, itu sebenarnya, sebenarnya aku ingin tahu siapa namamu. Sekarang karena tingkahku itu kamu dikeluarkan oleh Koko. Kalau kau tidak membalas surat ini berarti kau tidak memaafkan ku.”
Ah mengapa kesannya memaksa ya? Bahkan dalam bahasa tulisan pun kau gagap dan egois. Ujarku pada diri sendiri.
Begini saja.
“Koh, Bagaimana? Bindernya saya udah ketemu?"
“Eh maaf Sur. Gak ada tuh. Kemarin wulan bilang gak ada barang yang tercecer. Yang tinggal maksud koko.”
“Kalau koko boleh tau isinya apa? Pasti penting ya?”
“Enggak juga kok ko Cuma catatan kuliah sama coretan doang”
“Tapi kamu yakin bindernya ninggal disini? Coba kamu cek lagi di kampus atau di kosan mungkin”
“Benar juga ya koh, tapi...eh sudahlah makasih ko. Saya berangkat kuliah dulu”
Seperti biasa jalan jurusan kampus kosan ramai sekali. Angkot yang berseliweran berebut dengan motor dan sepeda. Mereka tidak ada yang mau mengalah. Bersikeras agar dapat jalan duluan. Untung saja trotoar tidak dijadikan tumbal. Aku aman berjalan di trotoar ini.
Tak sengaja langkah kakiku tergerak untuk berhenti saat mendengar keributan itu. Ya keributan itu berasal dari fotokopian bola dunia.
“Wulan, kamu ini apa-apaan sih. Katanya kamu tidak lihat itu binder. Nyatanya? Kamu yang sembunyiin binder itu dalam tas mu. Kami ini pencuri ya? Dasar. Santi sudah beritahu koko semuanya. Bisa-bisa pelanggan akan kehilangan kepercayaannya pada kita. Bisa bangkrut ini usaha kalau karyawan seperti kamu tetap di biarkan kerja disini. Kalau sampai Surya tahu..ah sudahlah daripada usaha ini kehilangan pelanggan. Lebih baik kamu dikeluarkan saja.
Mulai hari ini kamu di pecat bekerja disini. Minta pesangon ke Ibu. Bikin repot saja.
“Eh maaf Sur. Gak ada tuh. Kemarin wulan bilang gak ada barang yang tercecer. Yang tinggal maksud koko.”
“Kalau koko boleh tau isinya apa? Pasti penting ya?”
“Enggak juga kok ko Cuma catatan kuliah sama coretan doang”
“Tapi kamu yakin bindernya ninggal disini? Coba kamu cek lagi di kampus atau di kosan mungkin”
“Benar juga ya koh, tapi...eh sudahlah makasih ko. Saya berangkat kuliah dulu”
Seperti biasa jalan jurusan kampus kosan ramai sekali. Angkot yang berseliweran berebut dengan motor dan sepeda. Mereka tidak ada yang mau mengalah. Bersikeras agar dapat jalan duluan. Untung saja trotoar tidak dijadikan tumbal. Aku aman berjalan di trotoar ini.
Tak sengaja langkah kakiku tergerak untuk berhenti saat mendengar keributan itu. Ya keributan itu berasal dari fotokopian bola dunia.
“Wulan, kamu ini apa-apaan sih. Katanya kamu tidak lihat itu binder. Nyatanya? Kamu yang sembunyiin binder itu dalam tas mu. Kami ini pencuri ya? Dasar. Santi sudah beritahu koko semuanya. Bisa-bisa pelanggan akan kehilangan kepercayaannya pada kita. Bisa bangkrut ini usaha kalau karyawan seperti kamu tetap di biarkan kerja disini. Kalau sampai Surya tahu..ah sudahlah daripada usaha ini kehilangan pelanggan. Lebih baik kamu dikeluarkan saja.
Mulai hari ini kamu di pecat bekerja disini. Minta pesangon ke Ibu. Bikin repot saja.
Aku sontak terkejut sekali. Terkejut benar. Ternyata diluar kontrol, skenario konyol meninggalkan binder untuk tahu nama Wulan itu berujung luka. Wulan dipecat.
Seharusnya aku kan bisa saja bertanya kepadanya siapa namamu? Atau bertanya kepada orang lain. Aduh. Nasi sudah menjadi bubur. Bubur panas yang terserak di hatiku.
Pokoknya aku harus terang kepada Wulan. Akulah penyebab semua ini. Tidak mungkin wulan mencuri atau sebagainya. Aku tahu dia gadis yang baik. Apa mungkin Santi?? Ah tak peduli, aku tetap harus meminta maaf dan bertanggung jawab kepada Wulan. Seperti apa?
“Koh Wulan-nya ada ?” aku bertanya seakan tidak tahu apa-apa tentang kejadian kemarin.
“Oh Nak Surya. Katanya, Wulan sudah tidak betah bekerja disini lagi. Ia mau suasana baru,begitu. Kalo tidak salah dia pulang kampung ke Jawa Timur.
“Koko tahu alamatnya?” tanyaku spontan.
“Tidak”
Alamak.
Apa apaan ini. Bukankah seharusnya aku lebih cepat bergerak. Kenapa aku menunggu? Aku terlambat. Wulan sudah ke Jawa sekarang.
Kalau tempat tinggalnya yang lama Koko tau?
Iya ada alamatnya.
“Wulan maafkan aku. Aku telah sengaja meniggalkan binder itu, itu sebenarnya, sebenarnya aku ingin tahu siapa namamu. Sekarang karena tingkahku itu kamu dikeluarkan oleh Koko. Kalau kau tidak membalas surat ini berarti kau tidak memaafkan ku.”
Ah mengapa kesannya memaksa ya? Bahkan dalam bahasa tulisan pun kau gagap dan egois. Ujarku pada diri sendiri.
Begini saja.
Wulan maafkan aku atas kecerobohan ku ini. Aku sengaja meninggalakan binder itu. Aku sengaja untuk mencari tahu siapa namamu. Mungkin akan sulit kau pahami. Tetapi aku mohon maaf sekali. MAAAAFFF. Aku sudah terus terang kepada Koko.
"Aku yang salah jadi aku yang seharusnya kau maafkan. Biarlah.biarlah aku kehilangan pekerjaan. Toh perasaanku sudah usai. Via HVS A4 ini, aku akui, aku yang sembunyikan binder itu. Aku tertarik. Kegagapanmu saat pertama memfotokopi itulah awalnya. Setelah aku baca-baca isinya. Ternyata, ternyata kamulah orang yang aku cari selama ini. Maaf sebelumnya aku tidak berani bertemu denganmu lagi. Aku sudah pindah. Jauh. Maka tersenyumlah. Karena bila memang takdirnya. Kita akan bersua jua. Kalau tidak,ya. Lupakan. Keegoanku sudah punya kenangan padamu. Sekali lagi maaf mengganggu waktumu. Salam perpisahan. Wulan Stephanie"