7 HariPenasaran Tigaperempat Mati
Berawal
dari pertemuan itu, bukan, lebih tepatnya penemuan Nasar
secara tidak sengaja di lantai tiga perpustakaan Chiba University. Penemuan yang mengantarkannya pada banyak cerita.
Di
watarirouka sebelah timur, sekelompok mahasiswi baru saja selesai
berdiskusi. Terlihat buku tebal "The Determiners of Behavior at a Choice
Point" karangan Edward Chace Tolman dipelukan
mereka.
Siapa
sangka dari penemuan tak sengaja itulah kisah ini bermula.
***
Nasar
membuka tab baru. Ia menyempatkan
diriuntuk membuka situs web universitasnya, www.chiba-u.ac.jp. Siapa tahu ada info baru disana, ujarnya
dalam hati.
Di
headline tertera bahwa universitas akan
turut serta dalam festival kebudayaan tingkat Asia. Pihak universitas akan
mengirimkan delegasinya. Siapa lagi kalau bukan mahasiswa yang aktif di unit kegiatan
ekstrakulikuler seni. Info itu tidaklah menarik bagi seorang Nasar, mahasiswa
jurusan Fisika semester tiga. Ia lebih senang dengan berita bertema konversi
energi, mesin carnot, dan sumber
energi alternatif.
Tetapi
tunggu sebentar. Ada sesuatu yang unik dihomepage.
Ini jelas tidak ada hubungannya dengan logika, fisika, dan angka-angka. Otak
kanan Nasar bekerja. Seorang gadis dengan kostum mirip pakaian adat di negara
asalnya, Indonesia. Matanya bulat hitam, alisnya diberi celak. Pipinya bak bakpau
yang kemerahan dan menggemaskan. Tangannya halus serta kukunya bersih. Paling
membuat kagum adalah senyumnya, senyum hangat nan menawan, sedikit malu-malu
dan tidak terpaksa. Ia terlihat sangat anggun dan cantik. Sepertinya ia adalah
salah satu calon peserta festival.
***
Apa? Mengapa? Aku suka? Tidak. Aku
hanya ingin tahu namanya. Itu saja. Bukankah punya rasa ingin tahu adalah salah
satu sifat-sifat ilmiah?
Ia
mengatasi rasa penasarannya dengan bertanya-tanya di kampus. Adakah kau mengenal gadis ini? Pertanyaan
yang berulang kali ia ucapkan kepada rekan mahasiswanya sambil menunjuk ke foto
dari web kampus yang sudah di cetaknya.
***
Hari
ini sudah enam jam ia menanyai mahasiswa yang ia kenal tetapi belum ada satupun
yang berhasil memberikan jawaban yang memuaskan.
Hari
kedua pun demikian. Tak ada yang kenal
dengan si gadis misterius itu. Entah memang benar begitu atau tidak. Nasar
sebenarnya meragukan jawaban teman-temannya tersebut. Mereka sepertinya sibuk
sekali dengan persiapan ujian. Ujian akhir semester. Persiapan ujian di kampus
ini bisa membuat mereka menjadi egois dan apatis.
Sekarang
adalah masa ujian semester tiga. Semua mahasiswa harus belajar giat, mengerjakan
tugas-tugas dan mengikuti seluruh rangkaian praktikum agar indeks mereka bagus
semester ini.
Sementara
itu, Nasar sudah dua hari ini bolos kuliah, menggantikan waktu kuliahnya untuk
mencari siapa nama si gadis misterius yang membuatnya penasaran tiga perempat
mati itu.Dua ujian yang ia tinggalkan akan membuat nilai akhirnya E, bila tidak
menyerahkan surat izin dan mengikuti ujian susulan.
Hari
ketiga hasilnya nihil.
Hari
keempat sama saja nol besar, lebih besar daripada bongkahan penasaran Nasar.
Sehabis
shalat dzuhur ia tidak masuk kuliah lagi. Kebetulan dosen fisika-matematikanya sedang ke luar kota.
Ia
menghabiskan waktu dengan duduk santai diwatarirouka sebelah timur perpustakan universitas Chiba
sambil menatap laptop Toshibanya. Eeh!
Ia ingat tiga bulan yang lalu ada segerombol gadis yang membawa buku tebal di
sudut sana. Tak sengaja pula ia melihat divisualisasi ingatannya itu si gadis
misterius ada di antara mereka. Ia sepertinya akrab dengan buku yang mereka
peluk itu. Tidak salah lagi itu adalah buku yang persis sama dengan punya karibnya
Budi, mahasiswa psikologi. Tidak perlu punya kemampuan menganalisa deduktif
seperti Sherlock Holmes, Nasar sudah tahu si gadis misterius itu pasti
mahasiswi psikologi. Kalau ia bertanya kepada Budi yang sedang sibuk persiapan
ujian, bisa jadi Budi akan menertawakannya. Mengapa
malah bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan ujian?
Mahasiswa yang lain pun pasti demikian. Apatis. Pikirnya.
Ia menemukan solusi yang mangkus. Besok ia harus bertanya ke departemen psikologi.Tapi bagaimana dengan ujian susulan? Ah tak apa. Ini demi sesuatu yang saya maknai lebih berharga. Tapi bertanya ke departemen psikologi kan bisa di tunda. Pikirannya berontak lagi. Ah jangan menunda, bila pun nanti ikut ujian kau tidak akan konsentrasi. Pikiranmu pasti akan selalu ke foto itu. Fokusmu akan terganggu. Dua kubu pikiran seperti sedang berdebat alot di otaknya. Beberapa menit kemudian Nasar akhirnya memutuskan akan mengambil mata kuliah itu semester depan. Chiba University tidak mengenal istilah semester pendek seperti di Universitas-universitas di Indonesia, yang ada hanya mengulang mata kuliah khususnya pada bagian yang mahasiswa tidak lulus. Dalam hal ini Nasar akan mengulang termodinamika II.
Ia menemukan solusi yang mangkus. Besok ia harus bertanya ke departemen psikologi.Tapi bagaimana dengan ujian susulan? Ah tak apa. Ini demi sesuatu yang saya maknai lebih berharga. Tapi bertanya ke departemen psikologi kan bisa di tunda. Pikirannya berontak lagi. Ah jangan menunda, bila pun nanti ikut ujian kau tidak akan konsentrasi. Pikiranmu pasti akan selalu ke foto itu. Fokusmu akan terganggu. Dua kubu pikiran seperti sedang berdebat alot di otaknya. Beberapa menit kemudian Nasar akhirnya memutuskan akan mengambil mata kuliah itu semester depan. Chiba University tidak mengenal istilah semester pendek seperti di Universitas-universitas di Indonesia, yang ada hanya mengulang mata kuliah khususnya pada bagian yang mahasiswa tidak lulus. Dalam hal ini Nasar akan mengulang termodinamika II.
Ia
akan beranikan diri datang ke gedung tata usaha Departemen Psikologi membawa
foto itu sendiri, kemudian bertanya apakah ada mahasiswi yang berwajah demikian
dan menanyakan namanya.
Hari
kelima hujan turun dengan deras. Petir bersahutan dan badai beriringan.
Nasar
tidak bisa keluar rumah.
Hari
keenam hujan makin deras.Petir dan badai semakin menjadi-jadi. Nasar berpikir
kembali. Apakah saya harus
benar-benar seperti ini berkorban tak jelas hanya untuk mengetahui nama seorang
gadis? Sejak kapan aku begini? Bukankah saya seharusnya memikirkan hal lain
yang lebih penting. Ah tak apa lah toh saya sudah sampai disini. Rasa ingin
tahu juga sikap ilmiah kok.Nasar melakukan pembenaran dalam hatinya.
Hari
ketujuh. Nasar memutuskan bahwa apapun yang terjadi ia harus ke TU mencari nama
si gadis misterius, yang sekali lagi membuatnya penasaran tiga perempat mati.
Hujan badai berpetir-petir pun akan kutempuh. Itu tekadnya dalam hati.
Nasar
berangkat dengan mental sekuat graphene.
Keajaiban pun terjadi. Pagi ini matahari tersenyum hangat di sepenggalan timur
perfektur Chiba. Pepohonan tampak segar bugar. Embun sudah menguap dari
dedaunan. Aroma bunga sakura yang menjalar ke hidungmembuat suasana boulevard flat tempat tinggal Nasar
semakin bersemangat. Cuaca hari ini cerah sekali.
Nasarberlari-lari
kecil menuju ruang TU. Pukul 06.45. Lima belas menit lagi, ruangan tata usaha
Departemen Psikologi akan dibuka. Ia akan menjadi orang pertama non-pegawai yang
tiba di sana.
Seratus
meter pertama...
Seratus
meter kedua...ia tak sabar dan mempercepat larinya,
Seratus
meter ketiga...nafasnya mulai memburu, keringatnya mulai bercucuran.
Akhirnya
setelah jauh berlari ia menemukan gedung itu. Terlihat didepannya plakat
Departemen Psikologi berukiran kayu. Pelan ia melangkah.
“Permisi
Bu, saya ingin bertanya, apakah ada mahasiswi Psikologi yang berwajah seperti
ini?" Nasar menyodorkan foto yang sudah ia cropsebelumnya.
Barangkali ini adalah pertanyaan yang paling aneh di kampus ini. Petugas TU tentu
saja tidak kenal dengan seluruh mahasiswi psikologi. Tapi tenang, kampus ini ternyata
sudah terkomputerisasi dan terintegrasi. Databasenya lengkap dan canggih. Petugas
tinggal mengarahkan foto ke alat scan yang terhubung dengan sistem komputer,
makasecara otomatis komputer akan mencari datanya. Eh belum sempat Bu petugas berkomentar.
“Bang
Nasar boleh saya minta tolong?” Seseorang dengan suara lemah lembut menepuk
pundaknya dari belakang. Nasar menoleh.Seorang gadis tengah repot dengan diktat
kuliahnya yang tebal-tebal. Sepertinya ia akan mengulurkan sesuatu. Amplop
cokelat ukuran A4, ya itulah barangnya.”Bang Nasar dari jurusan Fisika kan?Bolehkah
sayameminta tolong Bang Nasar untukmenyerahkan proposal ini kepada Sensei
Kagawa. Beliau dosen fisika Bang Nasar jugakan? Beliau adalah koordinator untuk
festival seni. Saya sudah menghubunginya tadi malam. Saya juga sudah minta izin
akan menitipkan itu pada teman, Bang Nasar bersedia kan?”
Nasar
berkeringat dingin. Ia terdiam seperti pendekar yang terkena totok wirosableng. Tubuhnya
kaku. Gadis yang selama ini ia cari-cari namanya berdiri tepat di depan batang
hidungnya. Menyapanya dengan lembut. Gadis yang tinggi semampai, berhidung
mancung, rambut ditutup rapi dengan jilbab oranye yang senada dengan warna
sepatunya,blouse lengan panjang dengan garis-garis hijau putih, kacamata full frame bening yang serasi, wangi yang
tak terlalu mencolok serta tak lupa senyum hangat yang khas, tidak terpaksa dan
sedikit malu-malu. Alangkah cantiknya. Tak dinyana gadis itu tahu jurusannya,
bahkan tahu namanya, dan meminta pertolongannya. “Oh, maaf abang, saya lupa,
sebelumnya saya belum sempat berkenalan. Nama saya..................”
Otot jantung Nasar bergetar hebat. Suhu
tubuhnya naik. Matanya terbuka lebar. Pupilnya membesar. Si Gadis misterius
akan memperkenalkan dirinya. Tujuh hari penasaran Nasar akan segera tuntas,
“Hooiii,
Bangun“
Teriakan
Budi menyadarkannya. “Udah jam setengah tujuh nih. Kamu gak kuliah?”
“Bud,”
muka Nasar merah padam. Ia ingin marah besar pada Budi. Tetapi ia urungkan
niatnya. Hal itu hanya akan menghabiskan waktu. Ia harus berangkat ke kampus
hari ini untuk mengikuti ujian susulan Termodinamika.
Hilanglah
semua kejadian itu. Tujuh hari pencariannya. Si gadis bidadari yang sebentar
lagi ia tahu namanya. Imaji itu lenyap ibarat gambar pada TV yang dicabut kabel power supply-nya.
Adegan
saling bersitatap tak sengaja dengan seorang mahasiswi di sudut masjid kampus sebulan
lalu telah membayang-bayangi kehidupan Nasar. Si Gadis yang tidak diketahui
namanya itu telah memaksa urat saraf Nasar berpikir tentangnya. Bahkan
menyeruduk masuk kedalam mimpi. Aneh memang, koridor masjid Salman ITB itu
berubah menjadi perpustakaan universitas Chiba dalam mimpinya. Barangkali ini
ada kaitannya dengan serial Dragon Sakura yang ia tonton semalam dan juga ujian
susulan yang akan ia ikuti. Akhir-akhir ini Nasar memang sering mengalami mimpi
yang kurang masuk akal. Salah satunya adalah seperti cerita ini. Tapi tetapi. Nasar
tahu. Nasar harus menyembunyikan perasaannya, segenap kekaguman dalam hatinya.
Gadis itu bukanlah haknya bukan miliknya. Ujian susulan dimulai jam tujuh.
Nasar bergegas. IP-nya harus naik semester ini.