Tulang Rusuk yang Tertukar
Adalah seorang gadis bernama
Desi. Desi NN nama lengkapnya. Desi tamat dari Madrasah Aliyah setahun yang
lalu. Sembilan belas umurnyasekarang. Ia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.
Desi tidakmelanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.Ia sebenarnya sudah
sangat beruntung bisa sekolah sampai setingkat SMA. Mengapa? Jawabannya karena
perempuan yang tamat SMA bisa dihitung dengan jari di kampungnya. Tradisi turun
temurun yang dianut oleh orang sekampungmenjadi penyebab Desi dan gadis seusianya
tidak lanjut sekolah. Entah karena apa. Anak perempuan tidak boleh sekolah
tinggi-tinggi. Asal pandai membaca dan berhitung saja sudah cukup. Yang terpenting
adalah pandai memasak dan mencuci. Kasar kata, kaum perempuan di kampung ini
hanya terkungkung masalah dapur,sumur dan kasur saja. Barangkali leluhur
kampung paranoid anak gadis mereka terdoktrin paham-paham sesat seperti liberalisme,
feminimisme, hingga kesetaraan gender.Paham yang sering menyerang mereka-mereka
yang mengaku kaum berpendidikan tinggi saat ini.Tunggu sebentar. Mungkinkah
leluhur sudah memprediksi hal ini?Mungkin saja.
***
Suatu hari yang cerah.Cahaya
matahari di langit timurmembasuhseluruh perkampungan. Sinarnya yang lurus-lurus
menelisik di antara kabut putih.Pepohonantinggi berdaun lebat tampaktakzim
menerima takdirnya hari ini. Kalaulah kita bisa mendengarkan, mereka mungkin
sedang khusyuk bersyukur dan berdzikir kepada sang Rabb-nya. Tuhan semesta alam yang membagi rezeki dan mengatur semua
alam semesta ini dengan maha adil,maha sempurna, maha akurat, dan maha presisi.
Segerombol tukang ojek pagi ini
tampak bersemangat sekali. Mereka pawai keliling kampung.
Desi, gadis yang kuceritakan
diawal tadi baru saja pulang dari sungai.Ia berpapasan dengan tukang ojek
berjaket seragam warna hitam. Desi tidak memedulikan para tukang ojek yang sedang
menempel selebaran di pohon sepanjang jalan jurusan sungai-kampung.Ia cukupkeberatan dengan ember cuciannya.
Ditambah lagi bahunya juga kelelahan mengucek-ucek cucian yang telah tertumpuk
minggu ini.
Ternyata seisi kampung sudah
gaduh dengan isu tersebut. Apakah gerangan?Apakah ada anak hilanglagi? Atau ada
teroris masuk kampung ? Atau Pak Bupati mau memenuhi janjinya?
Di balai kampung, di rumah-rumah,
dikedai dan diwarung, bahkan di dinding mushalla pun ada selebaran itu.
Selebaran yang sama. Pohon-pohon kayu besar pun tak luput dari selebaran yang
ditempeli oleh tukang ojek. Pohon kayu ini sepertinya menjadi pengganti tiang
listrik seperti di kota-kota. Tempat yang gratis wal strategis untuk memasang
pamflet. Untuk kita ketahui, PLN belum juga memasang instalasi di kampung ini.
Bupatiyang menjabat sekarang pernah berjanji untuk memasukkan listrik saat
kampanye disini. Ternyata belum juga terealisasi. Mungkin sang Bupati lupa
karena sudah terlalu banyak mengumbar janji.Atau bisa jadi juga PLN takut warga
disini tidak mampu membayar biaya listrik, sehingga pembangunan instalasi akan
merugikan negara. Ah entahlah. Langitlah yang lebih tahu alasan sebenarnya.
“Des, kamu nggak siap-siap buat
acara hari Minggu ini?”
“Memangnya ada apaLin? Kerja
bakti? Dangdutan ? Atau jangan-jangan ada yang mau nikahan?” Desi menjawab
dengan nada heran.
“Hah? Masa kamu gak tahu, hari
minggu ini ada apa di kampung kita?” Lina setengah terkejut. Tak sadar mulutnya
sedikit menganga. Alisnya bergerak naik. “Seluruh penduduk kampung sudahgeger
lo. Ada berita besar. Kabar gembira”
“Berita besar apa? Jangan bikin
aku penasaran”Desi maju selangkah. Ia menggenggam lengan Lina sambil
menggoyangkannya.
“Cari tahu aja sendiri” Lina melepaskan
tangan temannya itu dan berlalu pergi.
“Aku harus menanak nasi dulu.
Sampai jumpa besok Desi”
Desi ingat kembali dua hari yang
lalu banyak selebaran. Selebaran yang mendadak menjamur di kampungnya. Mungkin
ini ada hubungannya dengan berita atau kabar gembira seperti kata Lina. Mari
kita periksa bersama.
***
Benar saja. Selebaran itu
bukanlah kampanye pemilihan kepala kampung ataupun pencarian tersangka
teroris.Apa isinya? Nanti kalian juga akan tahu teman.
Desi memang anak rumahan. Isuhangat
yang beredardi kampung pun ia tak tahu. Sampai akhirnya Lina menanyakan hal itu
padanya. Desi meyakinkan diri dengan membaca selebaran itu.Desi paham. Desi
akhirnya mafhum mengapa gadis-gadis di kampung akhir-akhir ini sering luluran
dan mandi dengan air limau. Pantas juga bedak di warung Tek Ros ludes. Selain
itu, mushalla pun kini ramai setiap maghrib dan shubuh. Anak gadis di kampung
ini rajin ke mushalla. Mereka mencuci tilakung dan menyetrikanya dengan rapikatradisional
dari ekstrak bunga pecah piring dan bunga kenanga.
Solihin, pemuda berusia 26 tahun
itu. Ia-lah penyebab semua ini. Penyebab Desi menceritakan kisah ini padaku.
“Lin, akhirnya aku tahu juga kenapa kamu gak mau cerita beritagembira
katamu itu” Desi menghampiri Lina yang tengah asik memotong kuku-kuku kakinya.
“Hahaha, ternyata kamu baca juga
ya. Tapi jangan salah dulu, kamu tidak akan bisa mengalahkan aku” balas Lina
pongah. Ia terlihat sangat asik bermanicure, sampai-sampai ia tidak sempat menoleh
kepada teman akrabnya itu.
“Eits jangan salah. Sedikitpun
aku tak ada niat mau ikut audisi perjodohan macam begitu. Aku ingin nanti
seorang pemuda baik hati akan mendatangi bapak dan emak. Melamarku baik-baik.
Dengan penuh cinta” Desi membantah, air mukanya berubah.
“Desi kamu terlalu meresapi layar
tancap. Hidup ini bukan seperti rol film layar tancap Desi. Hidup ini nyata”
kata Lina bijak. Ia selesai dengan kuku kakinya dan beranjak ke jemari tangannya.
“Bukankah kalau tidak ada di
kehidupan nyata, film itu tidak akan dibuat? Lagipula sah-sah saja kan punya
khayalan yang baik seperti itu Lin” Desi membalas ketus.
“Yah terserah kau sajalah”Lina
menghela nafas, mengalah”
”Tapi aku berani bertaruh, kalau
kau pasti akan ikut audisi ini. Begitu kau tahu dan mengenal Solihin”
***
Shubuh. Angin sesekali terasa
berhembus di belakang leher.Hujan tadi malam masih menyisakan dinginnya.
Selepas shalat shubuh di mushalla, Desi dan karibnya tak sengaja bertemu dengan
Solihin. Mereka semua serba salah tingkah saat sang pemuda menyapa rombongan.
Ada yang menggaruk kepala yang tidak gatal, ada yang membetulkan posisi
tilakung yang sebenarnya sudah rapi, ada yang senyum-senyum tak menentu, ada
pula yang aneh, menambahkan parfum ke tubuhnya, padahal parfum yang ia maksud
tertukar dengan botol minyak angin. Saking gugup, ia sampai lupa.Tapi, salah
tingkah ini tidak berlaku pada Desi. Ia tenang dan biasa-biasa saja.
“Waalaikumsalam” Desi lancar menjawab salam Solihin. Tidak seperti keempat
lainnya terpatah-patah.
Sepanjang jalan jurusan
Mushalla-Rumah, topik pembicaraan adalah Solihin. Teman-temannya seperti
berlomba-lomba menceritakan riwayat hidup Solihin kepada Desi. Lengkap sampai
makanan kesukaan, merek minyak rambut, bahkan nomor sepatu sang pemuda.
Beruntung juga. Desi tak perlu repot-repot mencari tahu siapa Solihin.
Dari hati yang paling dalam,Desi
menaruh hati kepada Solihin. Siapa pula gadis yang tiada suka kepada pemuda
gagah, baik, sopan, ramah, shalih dan berpendidikan sarjana serta sudah
berpenghasilan pula.
Tapi karena malu dan minder
dengan Solihin, Desi tidak mau mendaftarkan diri. Ia ingat pepatah almarhum
ayah. Kalau kail panjang sejengkal,jangan
laut hendak diduga.
***
Lina lah yang menang dari audisi dan
menikah dengan Solihin. Desi hanya bisa mengurut dada yang terasa luka.
Salahnya sendiri. Mengapa ia tidak mengambil kesempatan tersebut? Bila saja ia
mau mendaftar ia bisa terpilih. Bukankah Lina hanya tamat Tsanawiyah? Setingkat
SMP? Wajah Desi pun jauh lebih cantik. Ia lebih layak dan pantas menjadi
pendamping Solihin. Ah tak apa Desi. Aku
menasihati Desi. Bukankah cinta akan
selalu adil kepada pemiliknya? Selama pemilik itu tulus dan merelakan.Tulang
rusuk dan pemiliknya tak akan tertukar. Ucapku. Solihin.Solihin.
***
Desi diam-diam melaksanakan
nasihat dan saranku. Sama diam-diamnya dengan ia jatuh hati kepada Solihin.
Sebelum Lina menang ia sudah mengubah rencananya.
Desi memakai baju kurung biru
terbaik miliknya. Tidak lupa parfum dari bunga kenanga mewangi. “Jalan cerita
akan berbeda. Kesempatan ini harus kumanfaatkan sebaik-baiknya.”Desi sudah
shalat istikharah semalam.Pagi ini ia membulatkan tekad berangkat menuju rumah
Solihin. Mengikuti audisi.
***
“Jadi akhirnya kamu pergi ke
rumah Solihin” aku bertanya bingung kepada Desi.
“Ya, benar, aku ikut audisi itu”
Desi mengangguk.
“Jadi endingnya gimana” aku
semakin bingung. Desi menipuku. Kita sama-sama tertipu. Pada bagian Lina lah
yang memenangkan audisi ternyata tidak. Desi lah yang memenangkannya.
Cincin di
jari manisnya sudah cukup menjawab semuanya.
Desi melanjutkan. Ia merasa
bersalah karena beberapa gadis di kampung banyak yang sakit. Sakit mereka
serupa. Orang kampung bilang ini gara-gara Desi memenangkan audisi itu. Desi
dituduh sebagai penyebab gadis-gadis di kampung ini serentak sakit.Tidak masuk
akal. Kemudian, aku sebagai dokter mendiagnosisberdasarkan ciri dan keterangan
dari Desi, gadis-gadis di kampung ini terserang penyakit menular. Demam
berdarah dengue. Sebenarnya tidak hanya gadis-gadis saja yang sakit tetapi
anak-anak dan remaja juga. Karena animo penduduk kampung yang mudah terhasut
oleh cerita dari mulut ke mulut. Maka tertuduhlah Desi menjadi penyebab
penyakit menular ini. Desi sempat stress juga sampai aku menjelaskan hal ini
kepada masyarakat. DBD disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran
darah melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes. Nyamuk aedes aygepti betina dan
aedes albopictus adalah salah dua pembawanya.
“Terima kasih dokter Solihin” seorang
tetua kampung mengucapkan kalimat itu padaku.
Pernahkah
kita merasa menjadi penyebab suatu masalah?
Pernahkah
kita merasa bersalah seperti demikian?
Padahal
sebenarnya tidaklah begitu. Ketakutan dan kecemasan kita berlebihan.
Kekhawatiran kita hanya ilusi. Perasaan tidak enak itu ternyata khayalan. Aku
sudah menemukan obatnya teman. Sangkil dan mangkus sekali. Berpikirlah positif.
Berperasaanlah positif dan bertindaklah positif. Desi sudah
membuktikannya.
1 comments:
Write commentskeyen abiiiiz
Reply