BALADA PIL PINTAR 119
BALADA PIL PINTAR 119
“Emir Tasaq Wanda”
“Furqon Wahyu”
“Latifah Aini”
“Putri Maharani”
“Salsabila Zaffaran”
“Sarja Winata”
“Sehat Nasution”
Suara Pak Tamrin terdengar sayup-sayup mengecek kehadiran
muridnya satu persatu. Sesekali ia terlihat membetulkan posisi kacamata tuanya
naik turun. Mungkin daftar nama itu sudah tak
terlihat jelas lagi oleh pak guru berusia 54 tahun ini. Ditambah lagi bulir-bulir
air yang sepersepuluh detik menghantam atap kelas sehingga menimbulkan bunyi
berisik, menyebabkan Pak Tamrin harus memperlebar amplitudo suaranya agar
terdengar oleh siswa. Namun bapak wali kelas ini tetap berwibawa dengan jaket
kulit warna cokelat, yang dipakainya untuk menahan hembusan angin dingin dari
ventilasi. Rupanya hujan tadi malam belum berakhir hingga pagi ini.
Iwin—siswa kelas XI IPA 1, terpaksa berangkat sekolah
karena sang ayah sudah menatapnya dengan tatapan merah tembaga, sejak tadi
pagi. Iwin adalah murid Pak Tamrin. Ia siswa yang terkenal di SMA-nya. Semua
guru kenal dengannya, bahkan kepala sekolah dan petugas TU pun demikian. Namun
Sarja Winata, alias Iwin, bukanlah siswa berprestasi. Iwin terkenal dengan cara
yang berbeda dengan Furqon Wahyu sang ketua OSIS, Putri Maharani yang anak
kesayangan guru, atau Sehat Nasution, kapten tim basket. Ia terkenal sebagai
siswa termalas. Andai saja ada award
kategori The Laziest Student, Iwin
akan menang mutlak. Mengapa? Ia sudah berbelas-belas kali tidak mengerjakan PR Bu
Imar, guru ekonomi yang terkenal galak di sekolahnya. Jika Bu Imar pernah
memberi nilai nol di rapot seorang siswa tahun lalu, untuk Iwin barangkali
nilai minus akan Bu Imar keluarkan.
***
“Lagi-lagi dengan
kasus yang sama. Tidak membuat PR dan remedial berturut turut untuk 7 mata
pelajaran” keluh Bu Asti seraya membolak-balik buku tebal berwarna kuning : Buku
Kasus Siswa.
“Ibu kan sudah bilang, kamu seharusnya rajin belajar,
rajin mengerjakan tugas. Kamu ada masalah ya? Mengapa nilaimu pada Ujian Tengah
Semester ini begitu anjlok? Kalau ada masalah cerita saja. Nanti biar kita cari
solusinya bersama.”
Iwin tetap diam. Ia semakin membungkukkan badan seperti
seekor kaki seribu mempertahankan diri dari serangan musuh.
“Kalau kamu tetap tertutup seperti ini, Ibu juga tidak
bisa banyak membantu kamu. Ya sudah, tidak sampai dua bulan lagi ujian akhir semester
akan diadakan. Tingkatkan nilaimu ! Kalau tidak, kemungkinan buruk kamu akan
tinggal kelas.”
Mendengar dua kata itu Iwin seperti merasakan aliran
listrik 220 Volt menjalari setiap anggota tubuhnya. Semua rambut di seluruh
tubuhnya berdiri. Jantungnya bergetar hebat. Cemas. TINGGAL KELAS. Tetapi Iwin
tetap mematung, menahan rasa khawatir yang menyerangnya.
“Ini, berikan pada orangtuamu” Bu Asti menyodorkan
sepucuk surat berstempel SMA 19.
“Ibu ingin mengkonsultasikan ini dengan orangtuamu”
Tidak salah lagi. Ini adalah surat panggilan ketiga yang
Iwin terima selama semester ini.
***
“Win, mengapa nilaimu sampai seanjlok ini, Nak? Kamu
tidak pernah belajar ya?” Ibu bertanya serius sembari memperhatikan surat
panggilan beserta satu lampiran nilai rapor tengah semester 2 milik anak
tunggalnya itu.
“Bu, yang penting itu kejujuran. Iwin bisa saja mencontek
kalau ingin dapat nilai seratus. Tetapi mencontek itu haram, Bu!”
“Iya, iya, yang Ibu tanyakan nilai kamu, mengapa dibawah
standar KKM semua? Ini bukan masalah mencontek itu haram atau tidak.”
“Iwin akui, nilai Iwin jelek, tapi setidaknya itu hasil
keringat sendiri, tidak mencontek. Kejujuran adalah hal yang paling mahal
harganya Bu, mata uang yang berlaku dimana-mana.” Iwin membela dirinya seraya
menuju kamar.
Ibu Iwin membalikkan badan namun Iwin sudah terlebih
dahulu mengunci pintu kamar. Ia tak sempat melihat mata ibu berkaca-kaca
karenanya.
Ah, Iwin. Meskipun ia sudah berhenti mencontek sejak ikut
rohis, namun sifat malasnya itu masih saja dimilikinya.
***
“Baiklah anak-anak, kita kedatangan murid baru.
Perkenalkan, namanya Matsani. Ia adalah siswa pindahan dari SMA Unggulan di
Jakarta. SMA apa namanya, Mat? Bapak lupa” Pak Tamrin berujar dengan semangat.
“SMA Cendekiawan,Pak”
“Ya SMA Cendekiawan”
“Selamat bergabung dengan kelas XI IPA 1, Mat, semoga
merasa comfort dan betah belajar
disini” ketua kelas berdiri memberikan sambutan hangat kepada penghuni baru
kelasnya.
“Kursi di sebelah Iwin kosong. Silakan kamu duduk disana”
Pak Tamrin menunjuk lurus ke pojok kiri kelas.
“Hati-hati Mat, nanti kamu ketularan jenius-nya si Iwin, dan efeknya bisa...”
“Ssstttt, diam kamu Emir. Tidak baik begitu.” Belum
selesai Emir berceletuk, Putri segera
memotong.
***
“Nah, begitu ceritanya Mat, perkataan Emir hanya ironisme”
Iwin menceritakan kejadian kemarin, lengkap dengan ancaman Bu Asti. Bila saja nilainya tidak membaik saat ujian
semester ini, ia tinggal kelas.
Bergabung dengan adik-adik kelas yang ia bentak-bentak saat masa orientasi
siswa baru.
“Begini saja Win, aku punya resep rahasia. Ini adalah
salah satu penelitian pamanku. Tapi jangan bilang siapapun ya. Ini rahasia
antara kau dan aku. Pamanku seorang profesor bidang farmasi. Ia salah satu ahli
farmasi terhebat di Asia. Jurnal-jurnalnya telah diakui bahkan diburu di dunia
internasional. Risetnya kebanyakan tentang obat-obatan yang meningkatkan
kinerja sel saraf. Sederhananya ia membuat obat pintar. Barangkali ini akan
membantumu.”
“Sejenis pil pintar yang di film-film maksudmu? Itu kan
fiksi? Science fiction” Iwin tak
percaya.
“Apa salahnya
mencoba? Saya sudah merasakan khasiatnya” Matsani meyakinkan.
“OK, tak ada salahnya mencoba”
“Tetapi saya harus me-request-nya
dulu dari Jakarta. Untuk kamu yang sedang dalam masalah berat seperti ini saya
akan berikan gratis. Free of Charge. Itung-itung amar makruf juga.”
“Tapi, tapi, Pil itu
halal kan? Tidak mengandung narkotika atau zat adiktif kan? Tidak ada
efek sampingnya kan?” Iwin memastikan.
“Tentu saja. Ini seratus persen halal, tanpa zat
berbahaya.” Matsani meyakinkan.
Pantaslah si
Matsani menjadi orang yang hebat dan pintar. Gumam Iwin dalam hati.
***
Ini adalah hari ke sekian setelah pembicaraan tentang pil
pintar antara Iwin dan Matsani.
“Ini obatnya” Matsani mengeluarkan tiga botol bening.
Masing-masing seukuran kepalan tangan. Botol itu tidak memiliki label. Isinya
bisa diterawang dari luar. Hanya seperti pil-pil antalgin biasa yang dijual di
apotek-apotek. Bedanya hanya warna. Antalgin putih dan pil ini cokelat.
“Nah lo, obat ini ilegal ya? Belum terdaftar di POM dan
belum ada label halal dari MUI.”
“Ya jelas saja obat ini belum beredar di pasaran. Ini
pribadi dan rahasia. Paman saya baru menggunakannnya untuk kepentingan
keluarga. Saya dan adik saya sudah mengonsumsinya sejak SMP. Ingat, ini
rahasia. Saya cuma kasihan sama kamu dan ini akan membantu. Ini saya minum
satu” Matsani membuka botol, mengambil satu buah pil dan menelannya.” Tingkah
Matsani ini melibas tuntas keraguan dalam hati Iwin.
“Dosisnya gimana?
“Simak baik-baik, saya tidak akan menjelaskan dua kali.
Disini ada 120 pil. Karena satu sudah saya telan maka sekarang tinggal 119”
“Itu saya juga tahu” ujar Iwin tak sabaran.
“Jangan memotong
dulu!” Matsani meletakkan telunjuk secara melintang di bibirnya. “Setiap
kali engkau selesai belajar, segera telan satu butir pil ini. Dan ingat, jangan
kurang dari tiga kali sehari. Pil ini hanya akan berkhasiat kalau 119-119 kau
habiskan. Kau harus yakin.”
Tanpa berpikir dua kali, Iwin menerima. Ia tidak mau
tinggal kelas.
“Semoga berhasil”
“Sip”
***
Hari-hari Iwin, ia belajar dan tidak lupa setelah selesai
belajar ia selalu meminum pil pintar itu sebutir demi sebutir.
Seminggu menjelang ujian kenaikan kelas ternyata pil pintar
masih banyak tersisa. Iwin harus menghabiskan pil ajaib itu segera, berarti ia harus belajar semakin banyak agar bisa
menelan pil tersebut lebih banyak lagi. Dengan usaha yang maksimal akhirnya ia
berhasil menghabiskan pil itu dengan sempurna, tanpa satu butir pun tersisa.
***
Masa ujian telah selesai. Seminggu lagi adalah hari
pembagian rapor.
Hati Iwin dag dig dug. Apakah pil itu benar-benar bekerja
atau tidak? Ah, tidak peduli. Ia harus naik kelas.
Hari Sabtu. Semua siswa memakai baju rapi. Rambut mereka disisir
rapi. Wangi parfum bertabrakan di udara dan suasana tegang menyelimuti.
Siswa-siswi menunggu di luar kelas. Orangtua mereka-lah yang akan menerima
rapor hasil belajar semester dua ini. Satu persatu nama siswa dipanggil. Pak
Tamrin pun membagikan rapor. Nama Iwin belum juga dipanggil. Padahal tinggal
empat orang tua lagi yang masih berada di dalam kelas.
“Orangtua dari
Sarja Winata” Pak Tamrin memanggil namanya. Ibu maju mendekati meja kayu
pak Tamrin.
Ibu menangis ketika membuka rapor yang Pak Tamrin
berikan.
Biarlah ibu, aku akan
mengulang tahun depan. Aku berjanji tidak akan berleha-leha lagi. Aku berjanji
akan membahagiakan ibu. Dan membuat ibu tersenyum di hari pembagian rapor
semeseter nanti. Biarlah kutanggung malu bergabung dengan adik kelas. Aku akan
berjuang bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga. Kalau perlu, nilai seratus
akan berjejer dan berbaris rapi di raporku nanti.
Kalimat-kalimat semacam itulah yang muncul di benaknya.
Ia tak mampu menahan, air mata sedih bercampur sesal menganak sungai di
pipinya. Dadanya sesak, ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya dari kenyataan
ini. Memutar waktu kebelakang dan belajar lebih giat.
Iwin mendekati ibu, “Maafkan aku ibu, aku berjanji akan
memperbaikinya, aku berjanji ibu” air matanya semakin banyak meleleh.
Matsani! Dari awal aku sudah curiga, mana mungkin ada pil
pintar? Ia tak lebih dari seorang pembohong besar. Dasar Iwin bodoh! Goblok!
Mau saja di tipu mentah-mentah. Iwin memaki dirinya.
***
Sekarang Iwin tau mengapa ibu menangis.
Assalamu’alaikum Win. Maafkan aku atas kejadian
pil pintar itu. Aku memang berbohong tentang itu. Sebelumnya selamat ya, Kau bukan
hanya naik kelas, tapi sudah dapat rangking ke-15 di kelas. Sebenarnya Kau
hanya butuh rasa percaya diri dan rajin belajar, Win. Pil itu hanya vitamin
biasa, sugestimu yang mebuatmu berhasil
Sebuah SMS dari Matsani mampir ke HP Iwin.
Iwin membalas,
Waalaikumussalam Mat. Terimakasih atas bantuanmu. Aku salah sangka,
ternyata ibu tidak menangis karena kecewa saat pembagian rapot itu. Ibu
menangis bahagia.
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Remaja Al Fitrah Edisi II
1 comments:
Write commentsluar biasa
Reply