Aku dan 17 Agus
Cerita ini saya persembahkan kepada Garuda lesu yang
menoleh ke kiri. Garuda tunduk yang sedang sedih di umur yang sudah menjelang
maghrib.
Barangkali cerita ini tidak akan ‘bernilai jual’. Tidak
akan dimuat di mass media karena akan
kalah saing dengan “kepentingan-kepentingan’ lainnya. Tetapi di jejaring sosial
ini kita bebas mengutara atau mengetimurkan segala sesuatu yang bisa kita
pertanggungjawabkan. Selamat membaca ^a^
“Kak boleh aku
minta sesuatu?”
“Tentu saja. Eits
tapi kalau minta uang, tidak bisa”,Kakak mengiyakan dan menambah syarat
pengecualian. Telunjuk kakak menari kekiri dan kekanan.
“Yee, siapa juga
yang mau minta uang. Aku cuma mau minta temenin. Tolong ya kak nanti temenin
aku beli tiket”
“Sip..Tiket apa?
Pesawat? Kereta ? Kapal laut atau bus?”
“Bukan, bukan tiket
itu. Aku mau nonton konser. Hehe jangan marah dulu ya kak. Aku pakai tabunganku
sendiri kok.” Aku merayu kakak. Tetapi bisa kutebak.
“Huh, sudah berapa
kali harus kubilang padamu. Berhentilah dari kebiasaan buruk mu itu. Berapa harga
tiketnya?”
“Emh..emm..satu
koma tiga kak..”aku menjawab pelan
“Satu juta tiga
ratus? Kemarin sudah hampir setengah juta kauhabiskan untuk beli album. Memangnya
apa yang kau dapat dari hiburan macam begitu? Pesan moral? Malahan kau semakin
sibuk dengan lagu-lagu yang menyita waktumu. Kau kehilangan waktu untuk
belajar. Bisa jadi memori otakmu diisi dengan data yang tidak perlu. Lirik lagu
dan biodata artis. Kalau kaubelikan buku, berapa ribu halaman yang bisa kau
baca? Berapa ratus ilmu yangakan kau dapat. Ilmu yang bermanfaat. Bukan sekadar
sarange,sarange yang tidak jelas begitu.” Belum selesai dengan itu saja. Kakak
melanjutkan orasi tak jelasnya di samping telingaku
“Kamu wanita yang
seharusnya menjaga kehormatan, dalam dan luar diri. Sesuatu yang paradoks jika
kamu mengidolakan pemamer-pemamer aurat yang sebenarnyabertentangan dengan ajaran
agama.”
“Kalau tahu begini,
aku tidak usah minta ditemenin sama kakak” kulemparkan kalimat itu sebagai
wujud ketidakterimaanku atas ceramahnya.
“Huh dasar kakak. Memangnya kita sama apa
suka-suka aku dong, mau ngefans sama si anu, si anu, itu hakku.”
Kasar sekali ya
kakakku ini. Tetapi mungkin ada benarnya juga apa kata kakak ini. Aku merenung
beberapa jenak dan ini hasilnya.
Kapan mau maju dan
sejahteranya bangsa ini jika semua generasi mudanya seperti aku? Aku pernah
membaca kalau wanita itu akan jadi Ibu di rumah tangganya, lebih dari itu,
seorang guru di Madrasah Peradaban. Keluarga.
Aku dan perempuan
seusiaku di negara ini mungkin sedang mengalami hal yang sama. Tertipu.
Dimanfaatkan. ‘Mereka’ memanfaatkan kami dengan meraup untung dari fans-fans
fanatik sepertiku.Orang belakang layar mengarahkan pola pikir kami sehingga menghapal lirik lagu daripada isi Trikora,
Perjanjian Renville, Linggajati,Roem Royen,Teks Proklamasi lebih membanggakan
dan memuaskan hati. Roh-roh pejuang itu sedang berharap generasi kami akan mengisi
kemerdekaan ini dengan hal yang berguna. Menghabiskan waktu dengan ilmu, dengan
duduk membaca buku, menulis, berbagi dengan sesama,aktif di kegiatan sosial,
donor darah, bakti sosial, mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin bangsa
yang paham arah kemudi tujuan negara ini. Negara yang akan menjamin
kesejahteraan rakyat, yang memelihara nilai-nilai luhur dan moral yang telah
berkembang lama di Indonesia ini.
Aku tetap berniat
membeli tiket. Ah siapa juga yang peduli. Biar saja orang-orang seperti kakak
yang sok peduli sok niat buat ngeblabla......Kita kan bebas memilih idola
masing-masing? Resikonya kan aku yang tanggung sendiri?Dengan segala keegoisan,
kulangkahkan kaki meninggalkan pikiran dan bisikan-bisikan tadi. Kusetop sebuah
angkot. Kubulatkan untuk tetap pergi membeli tiket konser artis yang katanya
berasal dari negeri ginseng.
Didalam angkot
seorang wanita sedang bicara kepada temannya.Mereka sepertinya seumuran. Terlihatwanita
yang sedang bicara pasrah dan yang mendengarkan cuek bebek saja.
“Pada akhirnya, Sista. Terima tidaknya itu terserah padaamu
Sista. Idola itu hak asasi. Kalau pun akhirnya kamu memilih Karl Marx menjadi
tokoh idolamu. Setidaknya kamu punya alasan yang lebih kuat mengapa Bung Karno
luput dalam pikiranmu. Kalaupun artis dengan keserba kelebihannya mengalahkan
tokoh wanita lain, Kartini misalnya. Sista harus punya alasan yang logis
dan masuk akal juga bisa kaupertanggung
jawabkan. Tidak ada yang salah. Hanya saja kurang tepat. Toh kita masih punya
ratusan budaya yang mesti dilestarikan. Jangan sampai kita nanti sibuk
marah-marah, ribut-ribut, saat negeri jiran mengklaim budaya ini milik mereka.
Jangan-jangan ini karena kita tidak peduli. Bukan salah pemerintah saja, salah
kita semua.
Seandainya‘budaya’
itu punya lidah.Tentu ia akan berkata,“Aku bukan milik kalian lagi. Aku adalah
milik mereka”.Disebabkan sibuk dengan budaya-budaya luar negeri itu, kita lalai
menjaga mereka. Bukan kolot dan primordial, tetapi benarlah pepatah. Satu
burung di tangan lebih baik daripada dua di dalam semak.”
Mungkin dia juga
sedang dilarang oleh temannya untuk beli tiket konser.Huuhh....
Hadits Riwayat Ath
Thabrani , dari ‘Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda,