Cinta di Sekotak Kurma Tunisia
“Kak, tahun lalu kan
puasaku sudah penuh sebulan. Sekarang mana janji kakak? Katanya akan membelikan
aku kurma kalau puasaku penuh. Hari ini sudah puasa yang kesembilan, Kak. Belum
ada tanda-tanda Kakak akan membelikan kurma itu.” Aku merengek di dekat kakak
yang sedang asik memperbaiki alat sol sepatunya.
“KAKAK JAHAT !!!. Setelah
membuatku menunggu setahun. Kakak pura-pura lupa” Aku cemberut. Rasa kesalku
bercampur marah. Punggung kakakku kupukul-pukul. Tangannya kugoyang-goyangkan.
Tetapi kakak tidak bergeming. Ia seperti sibuk benar dengan kotak sol itu.
Setahun yang lalu
sampai sekarang, Aku merengek minta dibelikan kurma. Eits, kurmanya bukan kurma
sembarangan, kurma dari Tunisia. Aku tidak tahu harganya. Yang jelas, aku
dengan jelas mendengar percakapan ibu-ibu kemarin bahwa kurma dari Tunisia itu
kurma yang paling manis, pali paling lezat dan diimpor langsung dari benua
Afrika.
Aku bahkan hafal mati
informasi tentang kurma ini. Mulai dari kotak kemasan bertuliskan ‘PALM’FRUTT,
FRESH DEGLET NOUR DATES FROM TUNISIA’ sampai 15 gambar siluet pohon kurma yang
dibelakangnya latar cahaya matahari senja juga langit biru.
Setiap hari setelah
pulang sekolah, Aku selalu menyempatkan diri singgah di kios buah untuk sekadar
memandanginya. Sambil berharap besok kakak akan membelikannya padaku.
Pernah
suatu hari aku ditanya oleh si penjual, “Kamu mau beli apa? Kurma?” Ia tahu
karena kelakuanku yang saban hari memelototi tumpukan kotak-kotak kurma Tunisia
itu. “Kalau yang itu,”sambil memonyongkan bibirnya ”Kumpulkan saja dahulu
uangmu, harganya mahal. Nanti kalau uangmu cukup baru kau kesini lagi”. Aku
seorang yang pemalu. Pun bahkan untuk bertanya harga sekotak kurma.
Kemarin aku melihat dua
orang anak seusiaku turun dari mobil hitam. Toyota Fortuner. Aku bisa
membacanya di bagian belakang mobil. Mereka berdua dibimbing oleh ayahnya
menuju kios buah. Mereka ternyata mau beli kurma. Dua kakak beradik itu asik
menimang-nimang kotak kurma tersebut. Menimbulkan kesan membandingkan mana
kotak yang lebih banyak isinya. Mereka
pasti tidak tahu kalau satu kotak itu isinya sama semua, sama sama 500 g atau
1,1 lbs. Pikirku dalam hati. Aku ingin mengampiri mereka untuk sekadar
bertanya, “Bagaimana rasa kurmanya?”. Tetapi rasanya aku malu.
Mereka membeli lima
kotak kurma sekaligus. Andai saja. Ah kata kakak, kita tidak boleh
berandai-andai tanpa usaha. Aku melanggar kakak kali ini. Aku berkata dalam
hati,” Andai saja ayah masih hidup tentu aku sudah dibelikannya kurma itu. Aku
tidak perlu merengek kepada kakak dan menunggu dua belas purnama.
Esoknya. “Kakak. Aku
mau kurma yang seperti itu !”Aku melemparkan telunjuk ke arah tumpukan kurma.
“Kakak belum punya uang Dek. Nanti kalau sudah cukup uangnya pasti kakak
belikan. Tenang saja. Kamu harus sabar menunggu ya! Bukankah kakak sudah sering
bilang sama kamu. Kita harus memperbanyak bersabar. Lagipula tujuan puasa ini
salahsatunya supaya kita bisa sabar. Apalagi dengan kondisi kita sekarang.
Untuk uang sekolah Adek dan makan kita saja,” tiba-tiba kakak terdiam.
Kata-katanya terhenti disana. Matanya menatap ke langit. Kakak menarik nafasnya
dalam-dalam. Dua detik kemudian ia menghembuskannya panjang. Kemudian ia
melepas senyum. Senyum misterius yang sedikitpun tak kumengerti artinya.
Sekarang aku baru tahu kalau itu adalah cara menahan air mata agar tidak tumpah. Kakak
tidak mau aku melihatnya menangis. “Nanti kalau ada uang akan kakak belikan.”,
kakak mengulangi kalimatnya meyakinkanku.
Aku mengangguk. Sejak
ditinggal ayah, kakak lah yang membiayai keluarga. Kakak meminta agar ibu
berhenti bekerja karena penyakit ibu yang semakin parah. Tetapi aku. Ah namanya
juga masih kecil. Belum begitu khawatir dan paham dengn masalah kehidupan ini.
Begitulah saban hari.
Aku selalu merengek bahkan mengancam kakak : aku akan berhenti sekolah bila keinginanku untuk membeli kurma tidak
dipenuhi. Sampai suatu hari kisah pilu ini terjadi. Kakak mengambil sekotak
kurma tanpa izin. Si penjual lantas meneriakinya maling. Kakakku kemudian
dikejar-kejar. Ia lari terbirit-birit dengan memeluk erat sekotak kurma.
Malang tak dapat ditolak untuk tak bisa diraih.
Sebuah mobil tangki merah menyenggolnya. Tubuh ringkih kakakku terhempas ke
aspal. Kepalaya terbentur trotoar. Tetapi ditepi rasa sakitnya Ia masih saja
berkata-kata.” Dek ini sekotak kurma Tunisia untukmu. Tak ada seorangpun yang
mau menolongnya. Aku berteriak kencang, sekuat suaraku. “ Tolong kakakkuuu!!!.Tolooooooong!!! Bawa Ia
kerumah sakiiiit. selamatkan dia. dia kakakku satu-satunyaaa. Kakak
melintangkan telunjuknya di bibirnya yang sudah berdarah-darah. Dari mulutnya
keluar banyak darah segar.
Tangisku membuncah. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku
sangat takut kakak meninggalkan kami. “Tolongh te..bus sa..ja kur..ma ini denghan
seluruh ala..t so..l. Mungkin me..mamgg ti..dak cuku..se..moga kurma ini halal
kau makan”. Dan, Innalillahi wa inna
ilaihi rojiun. Kakak pergi menghadap Allah. Akhirnya kakak menghembuskan
nafas terakhirnya di pinggir jalan ini. Orang-yang mengejar-ngejar kakakku tadi
sudah hilang entah kemana. Mereka tidak mau bertanggung jawab. Aku memeluk
kakak. Kepalanya kudekatkan kekepalaku. Sekali lagi tangisku semakin keras.
Airmataku meleleh membasahi pipi dan hatiku yang teramat sedih.
Aku menyesal telah
merengek minta kurma. Seharusnya aku sudah bersyukur sudah bisa makan dua kali
sehari dan masih bisa sekolah. Meski acap diteriaki guru karena baju lusuh dan
tidak punya buku. Meski di sekolah aku dikucilkan karena kata mereka aku anak bau.
Padahal aku mandi setiap pagi berangkat sekolah. Tetapi mereka mungkin mereka
benar. Aku memang tidak memakai parfum seperti mereka.
Aku yakin dengan sebenarnya
Tuhan Maha Adil. Pohon kurma yang sekarang tumbuh di depan rumah kami memang
tidaklah berbuah. Semoga saja kakak akan memetik buahnya di surga sana karena
pengorbanannya kepada keluarga kami begitu berharga. Aku tidak bilang kakak
punya banyak uang. Tetapi Kakak selalu mengajariku hidup. Bagaimana mensyukuri,
sabar, dan ikhlas. Itulah ilmu yang kuterapkan sampai sekarang. Ilmu yang juga
akan kuwariskan kepada anak cucuku kelak.