Fisika dan Sartre serta Pintu Tertutup
Ngomong-ngomong Aku punya semacam perihal yang Aku ungkap.
Sebut saja ini sebuah pengakuan ataupun pengungkapan. Sartre, sama halnya
seperti Fisika Aku tertarik mengenalinya lebih lanjut bukan karena apa yang
ditawarkan olehnya. Bukan karena apa isi Sartre dan Fisika. Maaf sudah membuat
anda bingung. Aku akan mencoba menjelaskan lagi, mudah-mudahan anda dapat
menemukan sesuatu.
Fisika. Kalau tidak salah ingat Aku melihat gabungan
fonem-fonem ini paling berkesan ketika SMP. Dari sebuah kover buku teks
pelajaran fisika. Di situ tertulis FISIKA. Dengan jenis huruf yang gagah, untuk
kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Kalau tidak salah penulis bukunya adalah
Marthen Kanginan terbitan Erlangga. Selain tertarik kepada bentuk huruf yang tertera
tersebut. Ketika Aku mengucapkan Fisika. Pada mulut Aku terjadi semacam
kenikmatan kala mengucapkannya. Dimulai dengan gesekan bibir bawah dengan gigi
cermin sebelah atas lalu dilanjutkan dengan lidah mendesis dan diakhiri dengan
pangkal lidah yang menyentak tenggorokan dalam sekaligus rongga mulut yang
membuka. Ya Fisika. Lalu kemudian tertariklah Aku mempelajarinya.
Kemudian Sartre. Kombinasi huruf yang pas menurut Aku,
A,E,R,S,T. Nama yang unik dan belum pernah Aku dengar sebelumnya. Nah entah mengapa Aku
merasa tertarik. Kemudian ditambah dengan kisah bahwa beliau ini adalah seorang
peraih sekaligus penolak nobel Sastra. Waw Aku kemudian menemukan bahwa Sartre
itu beradik kakak dengan Sastra, lebih dekat daripada sekadar kesamaan
pengucapan bunyi dan kemiripan huruf.
Sartre kemudian sampai kepada Aku sebagai pelontar ucapan ‘Orang
Lain adalah Neraka’. Ekstrim bukan ? Aku yang sering merasa inferior di depan
umum merasakan ketertarikan kedua kepada beliau. Aku mulai mencari informasi
tentangnya di internet. Aku mulai mencari buku-buku beliau dan tidak ketemu.
Hingga pada pertengahan Mei dua tahun yang lalu Aku menemukan di sebuah lapak
buku saat pameran buku di Unpad. Sebuah buku otobiografi beliau yang berjudul
Kata-kata (terbitan Gramedia) dan Sebuah buku yang mengulas sosiologi
eksistensialisme Sartre (Pustaka Pelajar) karangan Wahyu Nugroho, seorang dosen
sosiologi yang kelak berteman dengan Aku di Facebook dan beberapa kali menyukai
status Aku yang berisi terjemahan bebas atas puisi-puisi para penyair Perancis seperti
Baudelaire, Rimbaud, Verlaine dan Mallarme.
Dengan rasa penasaran yang lumayan Aku mencoba membaca buku
tersebut. Iya memang benar Sartre mengibarkan bendera kebebasan dalam
filsafatnya (sebut saja demikian). Sartre mendakwa bahwa manusia itu dikutuk
untuk bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Tidak banyak hal
sebenarnya yang bisa kudapat dari buku tersebut selain semacam pemuasan hasrat
sebab telah seolah-olah membaca Sartre. Meskipun membaca dan paham adalah soal
lain. Paham juga bisa dipecah lagi paham secara rasionalitas dan mental.
Rasanya aku tidak sampai kepada bentuk paham keduanya.
Aku mencoba membuatkan resensi atau lebih tepatnya semacam
ringkasan terhadap dua buku tersebut.
Kemudian yang menarik dari Sartre adalah bahwa ia sepertinya
mengungkapkan bahwa manusia adalah apa yang ia kerjakan terhadap dirinya.
Istilah teknisnya manusia adalah proyek dirinya. Istilah filsafatnya manusia
itu sedang menjadi. Eksistensi manusia menjadi beku pada saat ia mati.
Kefaktaan yang tidak bisa dimungkiri oleh manusia itu sendiri. Oleh sebab itu
sebagai konsekuensi logis atas itu semua, manusia tidaklah layak diinilai pada
saat ia masih hidup sebab ia belum selesai. Menilai itu dalam hal ini adalah
memberikan sesuatu bentuk nilai yang final terhadap manusia itu. Katakanlah
secara moral Sartrian(kalau ada) hal tersebut amoral.
Kemudian dalil eksistensialisme Sartre bahwa Eksistensi
mendahului Esensi. Sartre yang mendiktum bahwa modes of being, cara berada
manusia adalah etre pour soi. Sebuah konsep yang memisahkan manusia dengan
bukan manusia. Membedakan cara berada manusia dengan yang bukan manusia.
Beberapa hari yang lalu Aku mencoba membaca kembali drama
Pintu Tertutup karangan Sartre. Aku membelinya dari seorang pelapak buku online
di Facebook hampir setahun lalu. Drama ini ditulis Sartre dalam bahasa Perancis
dan diberi judul Huis Clos. Menurut Thomas Hidya Tjaya dalam tulisannya di
Majalah Driyarkara, Sartre diminta oleh kawannya untuk menuliskan naskah
drama.naskah yang gampang dimainkan dimana-mana dan tidak ribet. Kemudian
Sartre terpikir untuk membuat latar sebuah kamar saja dan sederhana. Kemudian agar tokoh tersebut mendapat peran
yang setara artinya ketiganya adalah tokoh utama maka lahirlah pintu tertutup.
Kalimat ‘Neraka Adalah Orang Lain’ itu yang terkenal dari Sartre
berasal dari drama ini. Drama ini kemudian diterjemahkan oleh Asrul Sani ke
dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Akhir-akhir ini Aku
yang tertarik membaca buku terjemahan mulai tahu ternyata beberapa kanon karya
sastra sebenarnya sudah diindonesiakan oleh para sastrawan-sastrawan kita.
Misalnya saja dua hari lalu Aku tahu bahwa Don Quixote Cervantes itu sudah
diindonesiakan oleh Abdoel Moeis, kemudian Dostoyevsky sudah juga oleh M Radjab,
Baudelaire sudah juga oleh Wing Kardjo dan seorang lagi yang Aku lupa namanya.
Akan tetapi Aku merasa akses untuk ke karya-karya tersebut dalam bahasa
Indonesia amat susah. Aku akui memang kemampuan bahasa Inggrisku tidak begitu
baik meskipun sudah kuliah di tingkat lima setara jenjang universitas.
Oh iya terkahir Aku mengecek Don Quixote itu yang
diterjemahkan oleh Abdoel Moeis dan diterbitkan Balai Pustaka itu ada yang jual
tetapi mahal 600Ribu di internet. Dan Aku tentu tak punya uang sebanyak itu
untuk membelinya.
Pintu Tertutup adalah drama singkat, dari buku yang Aku baca,
entah itu versi ringkasan atau tidak, Aku tak tahu. buku itu berukuran kecil
dan tipis. Hanya 70--an halaman. Dan tokohnya juga hanya ada 4 orang. Garcin,
Inez, Estelle dan Pelayan.
Kalau menurut Thomas, ‘Neraka Adalah Orang Lain‘ itu bentuk
ekstrim atas relasi manusia dengan manusia. Manusia yang menaruh ketergantungan
kepada penilaian orang lain akan menjadi objek dan mengalami destruktif
sehingga orang lain adalah neraka. Manusia yang mengobjek penuh atas kesadaran
orang lain itulah yang merasa bahwa orang lain adalah neraka. Dan relasi yang
mungkin dapat menjadi bukan neraka adalah relasi yang subjek-subjek. Aku tidak
mengerti apa ini.