Payung Biru, Kamera dan Lelaki Biola (Awal--Selesai)
“When the sun shines, we’ll shine together
Told you I’ll be here forever
Said I’ll always be a friend
Took an oath I’ma stick it out till the end
Now that it’s raining more than ever
Know that we’ll still have each other
You can stand under my umbrella
You can stand under my umbrella”
Said I’ll always be a friend
Took an oath I’ma stick it out till the end
Now that it’s raining more than ever
Know that we’ll still have each other
You can stand under my umbrella
You can stand under my umbrella”
Suara Rihanna ini menemaniku
menyantap apel hijau di atas meja. Bakda beberapa kunyahan, terasa
kombinasi asam dan rasa manis mengeskpresikan sensasi nikmat dari lidah ke
otakku. Untuk melancarkan mekanisme pencernaan, kuminum segelasair hangat. Ya Tuhan lezat sekali. Syukurku
dalam hati.
Aku mengamati satu per satu
hasil jepretan sekitar sejam yang lalu. Cursor
mouse-ku terhenti pada sebuahfoto : kupu-kupu biru diatas anggrek putih
dengan latar langit sore. Seperti
diberi efek sephia saja. Gumamku.
Sejak kecil, aku suka sekali
yang namanya fotografi. Kalau boleh, sudah layak disebut sebagai cinta. Ya Aku
cinta fotografi. Dinding kamarku dihinggapi puluhan foto(bahkanbisa sampai 100
lebih) yang kuambil sendiri. Di rak bukuku berjejer buku-buku tentang
fotografi, klasik hingga modern. Berbekal sebuah kamera peninggalan almarhum
ayahku, aku menjalani hubunganku dengan hobi ini.
“Sarah,mandi dulu, mama sudah
siapkan air panas” suara Mama lembut memanggilku. “Sebentar Maa......” Aku lagi
asyik menikmati foto-foto di layar. ”Nanti airnya dingin lagi sayang” Mama
mengingatkanku. Kurang dari sepuluh detik aku sudah meninggalkan mac book yang masih sibuk menerima data dari
kameraku. Copying.
***
“Sarah, kamu memang mewarisi
sifat ayahmu. Tadi mama lihat foto-fotomu, mama jadi ingat beliau.”
Refleks. Mataku berkaca-kaca.
Kulepas kacamataku. Aku mendongak, menatap keatas, berharap kristal-kristal ini
tidak jatuh. Namun tak dinyana. Di langit-langit muncul bayangan kenanganku
bersama Ayah. Saat ayah mengajariku memfoto ditaman, mencari fokus, dan angle.
Kalimat Mama menjadi mantra yang me-recall kenangan masa kecilku
dengan Ayah. Air mataku tidak kuasa menahan gravitasi. Mereka jatuh perlahan,
mengalir hangat di pipiku. Seolah ingin membasuh memoriku agar aku kembali
menatap ke depan. Seperti percikan air bagi seorang yang tidur agar ia bangun
dari mimpinya. Begitu kurang lebih menurut persangkaanku.
“Heh,kenapa malah nangis
begitu?” dua jempol Mama mengusap mataku. Senyuman Mama kemudian menentramkanku.
Aku mendekat memeluk mama. Hangat. Mama mengusap kepala dan mengelus
punggungku.
“Ma,menurut mama, foto-foto
tadi mana yang paling bagus?” Kucoba menetralkan flow kembali.
“Duuh,susah. Paling bagus
semua”.
“Yee Mamaa, yang paaaaling
paling bagus kalo begitu.”
“Tadi Mama liat ada yang objeknya beda dengan yang
lain. Biasanya kan kamu fotonya itu bunga atau serangga. Yang ada pemuda itu
kayaknya. Soalnya unik sendiri.” Mama menekankan.
“Eh?”Aku tediam. Ada perasaan
malu menyerangku. Tidak tahu mengapa.
“Sarah, ada apa? Mukamu jadi
merah begitu”. Senyuman mama mengisyaratkan sesuatu.
“Anak gadis mama kasmaran nih
ya??.”
Aku segera membantah, ”Enggak
kok Ma foto itu salah ambil. Tadi ada kumbang oranye yang mau aku foto.
Ternyata eh kumbangnya terbang, jadi deh foto itu. Nanti bakal kuhapus kok”.
Aku terbata-bata menjelaskan bahwa memang foto itu tidak kuambil dengan
sengaja. Nada bicaraku patah-patah tidak terkontrol. Ibu tentu tidak susah
melihat kebohonganku ini. Huuh.
Aku jadi menggaruk kepala yang tidak gatal.
“O,begitu...” Mama mengangguk
sambil ketawa kecil.
“Aku serius Maa”. “Iya-iya,
Mama percaya kok”
***
Payung biru ini juga pemberian
almarhum ayah. Sebenarnya tidak ada yang istimewa padanya. Toh payung ini sama dengan payung-payung
lainnya. Tidak dikhususkan dibuatkan pabrik untukku, tidak diukirkan namaku di
gagangnya. Tetapi payung inilah yang selalu menemaniku panas dan hujan. Kata
teman-temanku di kampus, aku overprotecting dengan payung ini. Klaim mereka ini
muncul sejak menyaksikanku mengelap payung ini sesudah kupakai saat hujan di
kampus. Bagiku payung lebih dari sekadar pelindung panas dan hujan. Payung yang
rela kedinginan diterpa air hujan dan kepanasan disengat matahari adalah
sahabatku. Banyak teman kuliahku menganggap aku lebay. Don’t care lah, toh ini prinsipku yang tidak akan
mengganggu mereka.
Aku merawatnya dengan baik.
Selesai dipakai dia selalu ku lap. Dengan kain lembab kalau hari panas dan kain
kering jika hari hujan. Tidak heran sudah hampir dua belas tahun payung ini
masih awet.
***
Gesekan bow ke senar-senar biolanya begitu
harmoni. Menghasilkan nada-nada dengan irama menyayat hati. Sedih. Itu kesan
yang ditimbulkan frekuensi biolanya. Aku terbawa hanyut. Tanpa sadar, kelopak
mataku ikut mengatup dan kepalaku menggeleng-geleng perlahan. Memang musik bisa memengaruhi
perasaan manusia,pikirku dalam hati. Bukankahtubuh fisik kita ini di
susun oleh atom-atom yang bergetar? Secara ilmiah,atom-atom yang bergetar itu
akan memperoleh efek dari benda bergetar lainnya,dalam hal ini : frekuensi dari
gesekan biola lelaki itu, membuat otakku mengarang ekspresi sedih menurut
versinya.
Lama-lama aku bisa
menitikkan air mata kalau disini terus. Batinku meracau.
Seperti biasanya, sore ini aku
mengunjungi lagi taman ini untuk mencari model foto. Apakah ada kupu-kupu atau kumbang
yang sedang kasmaran sehingga menunjukkan warna terbaiknya sore ini? atau
bunga-bungayang tersipu malu sehingga pigmennya dalam ketajaman warna maksimal?
Ah siapa yang tahu? Meskipun
masih lembab karena hujan tadi siang, semangatku tidak berkurang sedikitpun.
Di kursi panjang tanpa sandaran
sana, aku melihat Lelaki Biola tengah asik bermesraan dengan biola
coklatnya. Topi hitam yang dipakai terbalik dan kaos polos warna hijau. Celana
jins dan crocs-nya
terlihat serasi, biru dengan hitam.
Ia terlihat begitu larut.
Sampai-sampai matanya pun terpejam. Sampai
sebegitunyakah dia menikmati musik?Wah mungkin kalau aku sudah bisa memfoto
dengan memejamkan mata, berarti aku sudah mencapai puncak tertingggi
penghayatan seorang fotografer. Aku berargumen polos dalam hati.
“Hai Sarah..” tiba-tiba suara
itu muncul dari arah belakangku. Suara ini terdengar berat. Laki-laki. Ya
laki-laki. Aku membalikkan badan.
“Ehhai, juga, anggukku pelan”
Ini jawabku. Darimanadia tahu
namaku ya? Pertanyaan itulah
yang muncul perdana dalam benakku.
Dia sepertinya
tahu. “Perkenalkan saya Rudi. Saya sering melihat kamu moto-moto disini.
Kebetulan saya juga sering main kesini.”
“Ya Rudi. Saya
Sarah"tanganku bergerak sendiri menaikkan kacamata serta merapikan rambut
ke samping.
“Kelihatannyakamu kaget, saya
tahu nama kamu dari blogwalking.
Kebetulan lagi saya ini pembaca setia blog kamu. Dari sana saya banyak
tahu tentang aktivitas fotografimu.
“O,ternyata ada juga ya yang
baca blog itu ya?” Aku merendah. Padahal aku tahu, dalam sehari visitor
blog yang penuh dengan foto-foto bunga dan serangga itu mencapai 100
pengunjung.
"Tentu.Kamu berbakat
sekali"
“Terima kasih. By the
way aku harus segera pulang
Rud, sudah hampir magrib. Aku bergegas memasukkan kamera ke dalam tasku.
"Oiya tidak mengapa.
Hati-hati."
“Rud, kamu jago sekali main biolanya,
sampai matanya merem-merem. Lain kali aku mau kamu mainin satu
lagu ya buatku.” Aku buru-buru pergi. Kalimat itu sebenarnya muncul tanpa
perencanaan. Spontan melesat dari mulutku. Aku juga tidak sempat mendengar
respons dari Rudi.
***
Langit kota Bandung malam ini cerah. Bintang-bintang kelihatan jelas karena
tidak ada awan yang menghalangi. Cahaya bulan setengah purnama menambah uniknya
konfigurasi angkasa malam. Seperti biasa, kusantap lagi apel hijau yang sudah
disediakan Mama. Aku duduk di teras rumah. Bersama mac book dan
kameraku. Udara tidak terlalu dingin makanya aku tidak memakai jaket, kaos ini
sudah cukup.
Saatnya blogging time. Aku jadi ingat pertemuan dengan Rudi
sore tadi. Pengakuannya bahwa ia yang sering mengunjungi blog-ku. Ah Cuma
kebetulan pikirku. Kulanjutkan dengan memposting foto-foto. Tumben,
malam ini aku mengepos kata-kata yang lebih dari satu paragraf, malam ini aku
melakukannya. Aku curhat.
Aku merasakan ada yang aneh pada diriku. Aku seperti mengalami deja vu.
Peristiwa di taman tadi sepertinya pernah aku alami sebelumnya. Tapi hal itu
tidak begitu jelas. Hanya imajinasi ataukah apa? Aku tak mengerti. Aku tidak
bisa memberi alasan logis. Yang jelas aku merasakan bahwa aku sudah akrab
dengan Rudi. Padahal aku baru tahu namanya tadi. Mungkin ini yang namanya
respons terlambat dari rangsang mata sehingga otak menafsirkannya kita sudah
pernah mengalaminya sebelumnya. Entahlah.
Ngomong-ngomong, tadi aku kenapa grogi ya?
Gak biasanya. Eh, tadi kalo tidak salah aku request ke Rudi buat suatu
saat
bakal memainkan lagu itu buatku. Nah moga-moga aja Rudi gak sempat denger
itu dengan jelas. Duh kalau pun dengar mudah--mudahan ia tidak mengubrisnya,
Walah-weleh mana pula ada orang yang mau mendengarkan kata-kata spontan dan
tidak berisi seperti itu. Huaaa...Aku ingin berteriak
sekeras-kerasnya. Terlalu banyak spekulasi dan ekspektasi dalam hatiku.
Pikirku. Tetapi teriakku itu hanya bergema di hati saja. Tidak boleh
mengganggu tetangga yang lain. Ibu juga sedang asik membaca majalah. Aku bisa
mengejutkannya bila teriak malam- malam begini.
Esoknya aku memutuskan untuk tidak memoto ke taman itu lagi. Untuk apa pula
terus-terusan ke sana?
Bukankah hidup harus move on bergerak? Kalau di taman yang
itu saja nanti monoton dong foto-fotoku. Aku tekankan : ini
tidak ada hubungannya dengan lelaki biola. Siapa bilang kalau aku sedang
menghindarinya. Aku ingin suasana baru.
Sore itu kumulai petualangan memfoto yang baru. Aku memasang perlengkapan,
payung biru tas beruang dan kamera. Awalnya aku berencana untuk berangkat ke
pasar tradisional di daerah Kosambi. Bergabung dengan para ibu dan aa’ penjual
sayur , ikan, dan pembeli yang memenuhi pasar itu.
Kusetop angkot putih. Tiga penumpang sudah ready disana.
Dua diantaranya sepertinya mahasiswa arsitektur. Mereka khas dengan
tabung-tabung yang selalu disandangnya itu. Tabung tempat kertas-kertas besar
digulung. Aku tidak begitu bisa menjelaskannya pada kalian, maaf. Pokoknya
nanti kalau kalian ke Bandung, kalian akan menjumpai pemuda-pemudi dengan
tampilan begini. Satunya lagi adalah ibu-bu dengan tas keranjang yang lumayan
besar.
Mungkin ibu ini mau belanja di Kosambi. Asumsiku dalam hati.
Setelah aku naik, angkot perlahan melaju. Kecepatan angkot ini cukup lambat
lebih lambat daripada saat aku mendayung sepeda ke kampus. Si sopir angkot ini
sepertinya memberi kesempatan setiap orang untuk masuk. Ia tidak mau ada yang
terlambat masuk angkotnya. Berbeda dengan dosen-dosenku di kampus. Mereka
selalu melarang mahasiswa yang terlambat untuk mendapatkan ilmu di kelasnya.
Parasopir angkot bahkan rela mundurkan angkotnya bila ada calon penumpang yang
tertinggal. Analisa bodohku mungkin semakin tinggi pendidikan seseorang semakin
disiplin ia. Ah tidak usah dibahas.
Angkot putih itu meluncur pelan melewati jalan Tamansari, belok kiri ke
Cikapayang, belok kanan, lurus melewati Balubur Townsquare, kemudian dijebak
lampu merah di kawasan jalan RE Martadinata.
Tidak sampai 5 menit angkot kembali melaju. Aku lupa beritahu kalian. Di
Balubur ada 1 penumpang naik dan di Unisba ada 2. Mahasiswa semua menurutku.
“Kiri” Salah seorang penumpang mengisyaratkan berhenti. Suara itu ? Bukankah
Rudi? Wah kuat sekali ya ingatanku. Turunlah dua mahasiswa bertabung tadi.
Ternyata Rudi dengan temannya. Gadis cantik berwajah anggun. Rambutnya lurus
sebahu. Dibalik kacamata berframe beningnya mengintip mata yang sipit. Kulitnya
putih, hidungnya mancung. Aku baru bisa mengamatinya dari dalam angkot ketika
Rudi membayar ongkos. Pantesan tadi
Rudi tidak menyapa aku.
Alamak, weleh-weleh kenapa aku jadi sewot begini ya?
Apa urusanku? Bukankah dia juga sempat senyum tadi begitu akan turun. Huh.
Pasar. Akan kubidik suasana terbaikmu dengan kamera ini.
Aku banyak mendapatkan foto unik disini. Aku keluar dari dunia bunga dan
serangga. Beralih ke ibu-ibu yang tengah asik menyirami bayam dan kangkung.
Bapak-bapak yang menyipratkan air ke ikan-ikan mereka di atas daun pisang.
Nenek yang menimbang cabe keriting. Kakek yang tertidur di atas becak,
menunggu pelanggan.
Asiknya hari ini.
***
Begini sarah sejak aku tahu kalau kau pernah memfotoku di taman, aku jadi
sering ngestalk kamu. Menyelinap ke profil facebook sampai blogmu.
Aku ingin kita berkenalan lebih jauh. Saling memahami. Kemudian menerima
kekurangan dan kelebihan masing masing.
Aku ingin kamu menjadi bagian dari cerita hidupku dan aku menjadi bagian
dalam kisahmu. Aku ingin kau bersedia jadi pacarku.
Kubalas email Rudi.
Rud, maaf aku tidak bisa. Aku tidak bisa membagi perasaanku padamu. Aku
takut payung dan kameraku ini cemburu akan kehadiranmu. Mungkin suatu saat kau
bisa mengerti. Aku tidak bisa menjelaskan panjang-panjang. Maaf ya. Semoga kau
menemukan yang lain yang tepat untuk menjadi bagian kisah hidup yang kau maksud
itu.
Sesederhana ini lah aku memahami harga diri seorang perempuan. Menolak
ajakan Rudi untuk berpacaran. (Sarah Calon Fotografer Profesional). Kutulis
Quotes ini dalam blogku.