Aku diculik Bang
Waktu itu aku masih kelas 2 SD.
Aku dan kawan-kawanku Emir, Wanda, juga Diki punya rencana untuk mengerjai
abangku. Saat jam istrahat, kami membicarakannya di kantin sekolah. Kami akan
menguji abangku. Sebenarnya ide itu muncul dari kepalaku. Entah mengapa hari
itu aku ingin mengetes seberapa sayang abangku pada adiknya ini. Emir, Wanda
dan Diki setuju. Kebetulan hanya Diki lah diantara kami bertiga yang punya handphone.
Setelah bel berbunyi lagi. Kami
bergegas menuju kelas. Aku sudah tidak sabar lagi menjalankan rencana ini. Aku
sempat tidak fokus pada pelajaran Bahasa Indonesia Buk Suti karena selalu
membayangkan akan seperti apa reaksi abangku bila rencana kami ini terwujud.
Tidak lama, bel berbunyi lagi. Ini
artinya kami sudah boleh pulang dan akan menjalankan rencana. Waktu itu kami
punya dua rencana. Rencana A dan B.
Aku, Emir, Wanda dan Diki sudah
punya tugas masing-masing. Kami berjanji akan berkumpul di rumahku jam satu
siang.
Sudah jam satu lewat lima. Diki
belum juga datang. “ Diki mana ya?” tanyaku
kepada Emir dan Wanda yang sejak tadi menyanyi melulu. “Lagi di jalan paling
Win. Kau tahu kan dia kan memang anak yang manja.” “Apa hubungannya Mir?” balasku
bertanya. “Ya siapa tahu dia susah minta ijin ke mamanya.” “ Iya” bela Wanda. “Biasanya
memang dia itu agak susah pergi keluar main aapalagi bawa hp.”
“Maaf aku telat.” Dari kejauhan
Diki berteriak dari dalam becak.
“Tadi becaknya lama. Nganter ibu-ibu dulu ke pasar mau
belanja.” Diki memberi alasan keterlambatannya
“O.. baiklah” aku seolah menjadi
bos yang memaafkan kesalahan anak buahnya. “Perlengkapan sudah lengkap Wan?” ,
tanya diki kepada Wanda.
“Sudah. Aman” Wanda mengacungkan kedua jempolnya
“Tapi abangku belum pulang Dik.
Biasanya sih jam segini sudah pulang.” “Kita tunggu saja Win”, kata Emir
memberi saran.
Pucuk dicinta abangku pun tiba.
Sepeda mustangnya terlihat kecapean
membawa dirinya yang berseragam putih dongker itu.
Sesampai di teras rumah. “Bang
kami mau ke sungai”, kataku minta ijin. Soalnya ayah masih belum pulang dari
kebun. Ibu juga belum pulang sekolah. Maksudku ibu belum pulang dari mengajar
di sekolah.
“Panas-panas begini ? Gak takut
demam kalian?”. “Nggak bang nanti sebentar
lagi juga udah nggak. Kan abang tahu kalau kami jalan ke sungai sekarang kan
nyampenya gak sekarang. Nyampenya kira-kira setengah jam lagi. Aku rasa
matahari udah gerak bang geser ke... ke”
“Kemana ayo ? “ potong Abang.
“Menjauhi sungai Bang”, timpal Emir.
“Menjauhi dzuhur dan mendekati ashar
Bang”, sahut Wanda spontan.
“Iya benar Bang. Intinya sudah
tidak seterik ini Bang”. “Baiklah tapi jangan lama-lama ya. Soalnya nanti kan
kita mau sepedaaan.” “ Hore. Makasih Bang”
Kami tersenyum kecil. Kami segera
berangkat menuju tujuan kami : sungai batang air sikobo. Asal kau saja
di kampungku sungai itu namanya batang
air. Entah kenapa. Mungkin karena bentuknya seperti batang kalau dilihat
dari atas. Si kobo itu artinya si
kerbau. Di sungai ini memang banyak kerbau. Kerbau ini kerbau pedati yang tentu
saja menarik pedati yang berisi pasir. Si pengembala akan memasukkan pasir ke
pedati dari sungai dengan cangkul dan kerbau akan membawanya.
Di kampungku juga tidak ada toko
bangunan atau material yang menjual pasir. Soalnya pasir sebenarnya gratis
namun biaya kerbau dan pedatinya lah yang tidak. Aku masih ingat waktu itu 20
ribu satu pedati. Kalau sekarang aku
tidak tahu.
Selain itu mobil bus dan truk
juga sering ke sini. Kalau bus hanya untuk sekedar dicuci oleh pemgemudinya
sementara truk, ya sama seperti pedati
kerbau yang mengisi pasir. Namun kau tentu tahu truk muatannya lebih banyak.
“Eh lupa. Kita belum tahu nomor handphone abangmu Win”, kata Diki. “Iya ya?
Kita balik saja yuk kataku. Ini inti rencana.” Aku menambahkan Semua kawan
setuju kami akan balik untuk menanyakannya.
Untung saja abangku belum pergi
main. “Bang nomor hape Abang berapa
ya?”, tanyaku. “Buat apa?”, tanya Abang. “Nanti kalau ada kenapa-napa biar bisa dihubungi” jawabku. “Mana pulpen dan kertasnya ?” . “Dicatat disini
saja Bang !”. Diki menonjolkan HP Nokia 3315-nya.
085274723717.
“Ingat pulang sebelum Ashar ya” kata
abangku. “Insyaallah Bang”
Setiba di sungai kami segera
mandi-mandi. Berenang-renang diantara bebatuan dan pohon. Air sungainya masih
bagus sejuk dan tidak berbau amis. Warnanya hijau kebiruan. Setelah puas, kami
segera menjalankan rencana A.
Diki menekan nomor dan menelepon
abangku. Terdengar suara abangku dari seberang menjawab. “Halo. Assalamualaikum”.
Diki dengan gaya cemas dan akting khawatir
berkata ,” Gawat Bang, Gawat”. “Gawat apa? Tenang dulu. Tenang.”. “Gawat
Bang Iwin hilang.” “Hilang maksudnya?” “Iya, ii i ya Bang. Tadi dia sama-sama
mandi dengan kami tapi mungkin dia hanyut.”
Haha mulut Wanda terbuka dan aku
segera menutupnya dengan tangan kananku.
“Sepertinya dia hanyut terbawa
arus Bang. Terakhir kata Wanda dia melihat Iwin tadi berenang agak ke tengah di
tempat lubuk yang dalam.
“Astaghfirullah Win.
Mudah-mudahan kau baik-baik saja. Sekarang kalian tetap disana abang akan
segera kesana.”
Tuuut...tuut.tuuut. Telpon ditutup
HUAHAHAHAHA. Kami tertawa
terbahak. Kami berhasil mengelabui abangku.
Rencana A berhasil.
Tidak lama kemudian kami yang mengintip
dari sebalik tebing melihat Abangku dan mustangnya sudah sampai. Cepat sekali
pikirku. Ahaha. Dia kelihatan cemas
sekali dan mungkin dia akan bingung karena dia tidak melihat Diki Emir dan
Wanda disana. Abangku mengeluarkan handphone-nya.
Segera hp Diki berdering. Dengan sigap kusuruh Emir dan Wanda
mengangkatnya. Dari sana terdengar Abangku berkata, “Halo Diki. Kalian dimana? Abang
sudah sampai di sungai nih”
“HAHAHAHA...Anda kakaknya
anak-anak ini ya.” Emir menirukan suara layaknya seorang penculik. “Tolong bang tolong”, teriakku dari belakang Emir.
“Bang kami diculik penjahat.”
tambahku meyakinkan.
“Adikmu dan teman-temannya sudah
dalam genggaman kami jika kau mau adikmu kembali kau harus menebusnya dan ingat
: Jangan coba-coba lapor polisi. HAHHA”. Kemudian Emir tidak tahan dengan suara
berat yang dibuat-buatnya ia terbatuk- batuk. Dari seberang Abangku bertanya ,”Batuk
Pak penculik?” dengan nada ketawa tertahan.
“Apa kau bilang kau jangan
coba-coba mengannggap remeh kami. Ini karena rokok kami terlalu banyak
nikotinnya. Kata Wanda seolah dia adalah seorang mafia. Beda kadarnya dengan
rokok manusia biasa. Ini rokok khusus penculik.”
“Baiklah Pak. Apa yang harus saya
lakukan?”
“Kau sediakan uang lima puluhribu
rupiah dan letakkan diatas batu besar diujung sana kau lihatkan disebelah
kananmu.”
“Nanti bisa melayang Pak ditiup
angin”, balas Abangku. “Tolong bang
tolong turuti saja perintahnya kalau tidak kami akan disiksa..” “Makanya
kau pakai batu sebagai himpitannya agar tidak terbang. Dasar sudah kelas dua
smp belum bisa mikir juga”, kata wanda.
“Apa kau bilang 50.000
rupiah? Kau pikir semurah itu harga adikku? Tidak. Kau salah. Dia lebih mahal
daripada kau dan dunia semesta seisinya. Tuut..tuut...tuuut. Telepon ditutup.
2 comments
Write commentskeren keren keren gue suka nih... heheh
Replythanks udah mau-maunya baca blog ini
Reply