Ke jatinangor bersama Trio Makan
Hari itu bulan juni tanggal 20. Tahun
2014. Ditengah sibuknya timses capres saling hujat dan jualan kemasan, Aku Rozi
dan Delfi yang suntuk di Bandung rencananya akan hijrah ke Jatinangor beberapa
saat. Maka dari itu, yang berperan sebagai Rozi ketua genk segera mengajak kami untuk main-main
ke nangor. Karena kami tidak keberatan, aku setuju dan delfi juga. Tapi waktu
itu Delfi ini masih ada kuliah sampai jam 5 sore. Jadilah Aku dan Rozi menunggu
dengan sabar. Waktu itu jam empat lebih tiga perempat kami berangkat ke kampus.
Tujuannya menunggu saudara kami Delfi. Delfi kamu memang teman yang baik. Hari itu
hari jumat. Hari yang baik.
Tidak berapa lama Delfi muncul
dari sebalik kampus yang terkungkung dari masyarakat itu. Kami pun segera
menunggu angkot DU. Dipati ukur. Kami akan naik angkot ini ke DU supaya bisa
ketemu bus DAMRI dan naik sampai ke Jatinangor. Setiba di DU, Damri yang
ditunggu tak kunjung datang. Kami bertiga langsung mengadakan rapat kecil atas
usulku. Waktu itu aku yang paling berpengaruh, setidaknya menurutku sehingga aku menunjuk Rozi untuk
menjadi komandan pasukan, sementara aku dan delfi jadi prajrit tempurnya. Setelah
musyawarah dan mufakat diperolehlah sebuah keputusan bersama bahwa kami bertiga
akan berjalan kaki ke balubur untuk naik arnes ke jatinangor. Segera kami laksanakan.
Di perjalanan kami membahas
berbagai hal. Layaknya anak muda yang berpikiran kritis dengan kondisi keuangan
yang sama. Mulai dari modernisme, post-modernisme, toko teh bertrand russel,
teori evolusi, perbandingan sains dan alquran. Semua itu kami bahas tanpa
mencapai kesimpulan. Aku sebagai pembicara utama juga sesekali bercanda kalau
aku sedang serius.
Tidak berapa lama. Karena keasyikan
ngobrol kami belum sampai juga di nangor. Tapi sudah kalau ke balubur. Rozi si
komandan kemudian memesan tiga buah karcis atau tiket bus travel. Di arnes itu,
keberangkatan ke nangos sekali seperempat jam. Nah kami pun lega. Karena tiket
sudah di tangan Rozi. Dan asal kau tahu saja. Mbak atau teteh penjual tiketna
itu cantik, manis dibalut jilbab hitam. Tapi aku tahu dia bukan milikku. Uang saja
aku tak punya. Waktu itu aku dibayarkan oleh Delfi. Namun karena dia juga tidak
punya. Kami solat magrib dulu waktu itu sudah masuk waktu magrib. Kami pun
solat ke masjid. Aku berdoa supaya delfi mau membayarkan karcisku dan aku punya
kemampuan membayarnya di suatu hari.
Setelah salam. Ya setelah salam aku berdoa
demikian. Setelah solat magrib kami bertiga, berdua maksudku, Aku dan Rozi
menemani Delfi mengambil uang di atm bni dekat gedung rektorat. Kemudian ke
arnes lagi di balubur.
Karena lapar, aku mengajak kedua kawan ini untuk beli
gorengan di bawah jembatan pasopati yang hanya berjarak kira-kira 40 langkah
dari situ. Semua setuju.
Pucuk dicinta, tak tiba-tiba. Gorengan
sudah habis. Ya akhirnya kami makan roti di warung kecil sebelahnya. Setelah kenyang
dan merasa kenyang, kami ke arnes lagi.
Pucuk dicinta, malang pun tiba. Bus
kami yang akan kami tumpangi baru saja berangkat. Tapi tenang saja kata mbak
cantik jilbab hitam itu. Seperempat jam lagi ada bus yang berangkat dan tiket
kami tidak hangus, karena Rozi memang pandai menyimpan tiket. Meskipun dia
bukan perokok aktif.
Jam tujuh waktu indonesia arnes. Kami
dipersilahkan naik. Kami segera masuk mengambil kursi paling belakang, karena
isinya tiga. Kami duduk manis semanis duduk gula dalam air panas.
Setelah satu jam lebih lima belas
menit kami sampailah di tempat yang berbahagia. Jatinangor dengan segala isinya
dan perempuannya. Kami mengadakan rapat kecil lagi atas usulku. keputusannya.
Jalan kaki ke Jatos Jatinangor Town
Square.
Pucuk dicinta Hujan pun tiba. Kami
tidak punya payung. Meski demikian aku langsung ingat kepad Profesor Sapardi
Djoko Damono. Dia pernah buat puisi hujan bulan juni. Aku tak peduli hujan apa
tapi aku merasa rintik rindu itu lenyap diserap akar akalku. Bukan pohon
berbunga itu. Uhh. Berteduh, dan kami ketemu dua adik kelas. Kuwi dan Doyok.
Mereka pun sungkem. Karena mungkin sudah lama tidak melakukannya.
Kami berteduh
di depan sebuah ruko yang sudah tutup. Aku segera mengeluarkan jaket hitak anti
air ku. Kami rapat lagi, sampai kapan hujan ini ditunggu, apakah sampai selesai
atau tidal. Tentu saja tidak kami membuat standar, waktu, ya waktu selalu jadi
standar. Bagi orang yang punya waktu. Kalau sampai jam sepuluh hujan tidak juga
berhenti, kita akan menerobosnya dan pergi ke Pondok bungsu, markas besar Ilham
dan Fikri.
Itulah keputusan yang kami ambil.
Alhamdulillah hujan akhirnya reda juga. Kami bergegas menuju Jatos karena aku
dan delfi mau kencing disana.
Tidak sampai lama, kami sampai di
jatos. Kami mencari toliet yang aktif. Setelah bertemu. Kami lepaskan kerinduan
yang mendalam itu padanya.
Puas dengan toilet kami menuju
Cia dan Nini. Mereka sudah menunggu sejak tadi. Mereka memang suka pada Rozi. Karena Rozi ini memang pantas untuk disukai. Dia penyayang, ramah, humoris, pandai
bergaul sayangnya dia laki-laki. Seandainya dia perempuan tentu aku yakin Delfi
sudah akan jadi pacarnya sejak dulu.
Setelah ngogobrol-ngblor. Kami makan di udin ramen. Setelah makan kami minum
dan kemudian ngobrol lagi. Tak disangka waktu itu Cia mewawancaraiku dia punya
tugas kuliah tentang manusia ideal. Menurutku aku jauh dari ideal. Tapi katanya
dia minta pandanganku tentan manusia ideal itu seperti apa sih? Aku jawab.
Manusia yang tahu tujuannya dan dia bertanggung jawab. Singkat padat dan tidak
kumengerti. Setelah puas dan mulai mengantuk kami bayar makanannya.
Berjalanlah kami menuju
peraduan masing-masing. Aku, Delfi, dan Rozi ke pondok bungsu semenrara Cia dan
Nini ke kosan mereka.
Sesampainya di markas. Kami disambut
dengan dingin oleh Ilham dan Fikri karena memang waktu itu habis hujan. Tujuan ke
Jatinangor sudah tercapai. Ya Silaturrahmi.
Malam bergulir. Piala Dunia pun
demikian. Kami menontoni satu-satu pertandingan akbar ini. Spanyol bertekuk
lutut di kaki Belanda 1-5. Kamerun 0-1 melawan Mexico. Chile menang lawan
Australia. Ini aku tidak ikut nonton karena sudah tertidur.
Paginya kami mulai lapar. Fikri
mengajak kami sarapan pagi. Kami setuju. Tapi ilham masih saja tidur. Katanya dia
tidak terbiasa sarapan. Ketika aku mengajaknya. Fikri membawa kami ke sebuah
Burjo, warung yang buka 24 jam. Ada banyak menu disana mulai dari segala jenis
bubur sampai varian-varian indomie. Aku dan delfi pesan indomie goreng telor
sementara fikri dan rozi bubur kacang ijo lengkap dengan ketannya. Setelah
kenyang dan merasa kenyang, kami pulang ke pondok bungsu kembali.
Dino datang jam 9 pagi. Dia baru
saja selesai nginap di sekretariat unit budaya minangkabau di Unpad. Kami pun
ngobrol-ngobrol. Asik dan menarik. Kadang-kadang serius tapi seringkali lucu. Dino
mengeluarkan banyolan-banyolan khasnya. Sehingga kami akan tertawa
terbahak-bahak. Kemudian kami main PES 2013.
Tak terasa hari sudah siang. Sudah
mulai lapar lagi perut ini. Setelah berdiskusi sebentar kami memutuskan akan
makan.
Kami makan di rumah makan padang.
Enak rasanya. Setelah kenyang dan merasa kenyang, kami ke kampus Unpad. Kebetulan
sekali sedang ada acara kebudayaan oleh anak-anak Fikom, fakultas ilmu
komunikasi. Kata kawan-kawanku ini di fakultas inilah banyak ditemukan
spesies-spesies wanita yang cantik dan anggun. Namun justru tak ada yang cukup
bernyali untuk nyari kenalan disini.
Semua kami mager di taman.
Setelah letih duduk-duduk. Kami pulang
ke markas. Aku haus dan mengajak mereka minum jus. Ada yang mau ada yang tidak. Yang mau ikut aku minum jus yang tidak, ikut fikri ke pondok bungsu.
Aku minum jus alpukat, Delfi jus
buah naga, Ilham jus mangga, Dino jus apel dan Rozi sup buah satunya lagi Razi
minum jus mangga juga.
Setelah habis kami membayar
masing-masing. Aku dibayarkan delfi.
Pulang ke markas. Bandung Delfi
Kambing.
Fyi kami sempat rapat kecil lagi. Apakah akan menginap satu hari lagi
di sini atau tidak. Setelah banyak pertimbangan, salah satunya celana dalam,
kami memutuskan balik ke Bandung karena tujuan ke Jatinangor sebenarnya sudah
tercapai.