Catatan 1 Juli
Ramadhan sudah bergulir entah berapa
hari. Aku tidak menghitung dengan pasti : sudah episode keberapa hari ini? Yang
jelas aku selalu melakukan rutinitas : sahur dan buka. Seiring dengan itu,
cerita tentang dunia terus berlanjut dengan pasangan emas tragedi dan ironi. Berdua
berseliweran ganas melintas realitas.
Baru-baru ini di negara Pakistan, ribuan
manusia mati. Jelas setiap hari ribuan juga manusia yang mati di belahan bumi
lain. Akan tetapi bagaimana jika ini adalah sebuah kematian yang bersama. Mirip
bencana. Penyebab utama adalah kehilangan nyawa. Akan tetapi gelombang panas yang
menimpa Pakistan itu juga turut serta dalam proses itu.
Lalu kasus kematian bocah bernama
Angeline di Indonesia itu turut mengisi ruang publik yang semakin kabur
batasnya dengan ruang privat. Legalisasi pernikahan LBGT di negara adikuasa
Amerika, tarawih yang express, langgam quran jawa. Begitulah kenyataanya. Dan
aku tidak ingin heran dengan fenomena dalam dunia ini. Namun kadang-kadang
tetap saja gegara aku menaruh ekspektasi terhadap hal dan kondisi tertentu,
tidak lepas juga ini menjadi beban permenunganku.
Mengapa? Mungkin pertanyaan ini yang tiap hari
menyerbu diriku sendiri mulai dari diri ke diri yang baru juga. Aku menyaksikan
orang-orang yang buang uang, lebih
tepatnya menukar uang dengan makanan mahal, kendaraan bagus, baju model terbaru,
sepatu model terkini sekaligus juga para tuna segala yang tidur di trotoar Braga.
Anak-anak jalana terpaksa memaksa
para pengunjung warung pecel lele kaki lima pinggir jalan membagi rejekinya.
Adakah ini mau mereka? Aku rasa tidak. Bertanya mencari mau siapa tentu mungkin
akan menghabiskan energi yang jauh lebih besar daripada memberikan mereka sebgaian
harta yang kita punya. Menurut pandangan umum, tidak ada manusia yang ingin
menderita. Menurut beberapa orang bijak, hidup adalah penderitaan. Mau apa
dengan penderitaan jika itu adalah hal yang wajar?
Bicara hidup memang juga bicara
paradoks yang tiada ujungnya. Dunia ini indah sekaligus buruk, hidup ini
menyenangkan sekaligus juga menyedihkan. Penuh dengan teka-teki yang tak punya jawaban
atau barangkali memang tak ada maknanya sama sekali.