[Review Film] The Lobster
“Relationship cannot be bulit on a
lie”
Sutradara : Yorgos Lanthimos
Pemain : Colin Farrell, Rachel Weisz, Jessica Barden, Olivia Colman, Ashley Jensen, Ariane Labed, Angeliki Papoulia, John C. Reilly, Léa Seydoux, Michael Smiley, Ben Whishaw
Produksi :Element Pictures, Scarlet Films, Faliro House Productions, Haut et Court, Lemming Film, Film4 Productions
Tanggal Rilis : 15 Mei 2015 (Cannes) 16 Oktober 2015 (Amerika Serikat & Irlandia)
Durasi : 118 menit
Bahasa : Inggris
Empat puluh lima hari lamanya rentang waktu yang diberikan manejer hotel kepada David beserta rekan tuna asmara (loner) sepenanggungannya untuk menemukan pasangan pasca ‘direhabilitasi’ di hotel itu. Jika gagal, mereka akan ‘diubah’ menjadi binatang. Penulis jadi punya bayangan untuk menjadi binatang apa seandainya ia adalah salah satu rekan David.
Di Kota, tiap orang mesti punya
pasangan. Petugas polisi akan menangkap mereka yang tidak. Serta akan mengirim
mereka ke hotel untuk direhab. Rehab ini bertujuan untuk membantu mereka. Jelas
saja para tuna asmara menjadi kaum marginal dalam film ini. Sementara itu tidak
jelas apa alasan mengapa tidak boleh ada tuna asmara (loner) yang tinggal di Kota.
(Apakah untuk menjaga kelestarian hidup manusia? Entahlah)
David adalah Collin Farrell yang berperan
menjadi seorang loner. Ia baru ditinggal oleh istrinya demi ikut lelaki
lain. Ia cek-in di hotel dengan membawa seekor anjing. Anjing itu adalah saudaranya
yang gagal mengikuti program 45 hari. Di lobby, resepsionis menanyakan
beberapa hal yang personal tentang David. Misalnya tentang seksualitas.
David yang gempal, murung, dan kaku memilih untuk
menjadi Lobster andaikata ia gagal menemukan pasangan dalam rehab ini.
“Because lobster live for over 100 years, are blue-blooded like
aristocrat and stay fertile all their lives. I also like the sea very much.”
Itulah alasan David ketika ditanya oleh Manejer Hotel.
One loner one extra day. Jatah waktu para Loner
bisa bertambah dengan memburu para loner yang melarikan diri ke hutan.
Aturan lain yang agak unik adalah mereka dilarang masturbasi. Di hotel ini juga David bertemu
dengan si pincang (Ben Whishaw) dan si cadel (John C. Reilly). Yorgos, sang sutradara, hemat sekali dalam memberi nama
tokoh. Telak ia hanya memberikan satu nama saja yaitu David. Selain itu, mereka
sekadar dijuluki saja berdasarkan beberapa ciri karakter yang melekat. Kepada
apa yang mereka kerjakan. Eksistensialis sekali bukan ? Saya jadi ingat dengan
kepenulisan Iwan Simatupang lewat novel Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan
Koong-nya.
“What’s worse : to die of
cold and hunger in the woods, to became an animal that will be killed and eaten
by some bigger animal or to have a nosebleed from time to time.”
Karena sesuatu hal, David melarikan
diri dari hotel ke hutan. Ia bertemu dengan Loner lain yang dipimpin Lea
Seydoux yang sebagai Loner leader. Loner leader adalah wanita
yang hampir nir emosi, cenderung sinis.
Siapa sangka di grup loner ini juga terdapat
aturan ketat. Mereka tidak diperbolehkan menjalin relasi romantik dan seksual.
David nanti mengetahui salah satu hukuman itu : Red Kiss : “We slashes his
lips with a razor and the lips of another loner, and we forced them to kiss
each other. Theyre flirting”. Melalui keterangan salah seorang rekan loner.
Mulanya itu tak menjadi masalah bagi David sampai ia
bertemu Rachel Weisz yang berperan sebagai short-sighted woman.
David mulai suka kepada Rachel. Romansa absurd antara
David dan Rachel inilah yang seterusnya menjadi nadi The Lobster.
Yorgos Lanthimos, sutradara sekaligus
penulis film ini menyuguhkan alur yang apik. Gaya penceritaan dengan suara-monoton
narator yang datar (seperti anak kecil yang mendeskripsikan orang dewasa) menimbulkan
efek komedi. Menurut wikipedia, film bergenre dystopian absurd comedy-drama
ini adalah debut film berbahasa Inggris-nya Yorgos. Sebelumnya film-film beliau
berbahasa Yunani seperti Alps dan Dogtooth.
Menurut Roger Ebert :
Lanthimos is interested, here and in
his other films, in the sometimes pathological human need for systems. Why wait
for a totalitarian government to institute rules from the top-down when human
beings submit to atomization of every aspect of their lives all on their own?
If this "need" is wired into the human race, then where does that
leave the individual? An individual who doesn't "go along" becomes a
renegade, an outlaw, an unwelcome reminder that the system doesn't work for everyone.
Pembuka The Lobster adalah hidangan
yang rasanya menegaskan bahwa film ini jelas absurd. Adegan seorang perempuan sedang
mengendarai mobil. Penulis sempat dibuat menunggu apa kemudian yang akan
terjadi pada pengemudi wanita ini. Pengambilan gambar statis menyorot wanita
yang tengah menyetir selama beberapa detik. Kemudian pemandangan luar kabur
karena embun sepertinya hujan. Ia berhenti di sebuah lapangan. Di sana beliau
menarik pelatuk pistol kepada seekor keledai hitam, hingga jatuh mati. Nah, angle
yang diambil The Lobster cukup menyiksa penulis, kamera ditinggal di dalam
kabin mobil, menyorot sang perempuan mengeksekusi keledai yang juga absurd tersebut.
Pasca itu, sang perempuan kembali ke mobil dan segera muncul judul film THE
LOBSTER. Adegan kemudian berganti ke David yang duduk dengan anjingnya di sebuah ruang
tamu. Suara istrinya (yang tidak kelihatan orangnya) sebab David membelakangi
sang istri.
Wife : I’m really sorry
David : Does he wear glasses or contact lenses?
Wife : Glasses
Penulis kira ini adalah percakapan
perpisahan mereka sebab istrinya ingin meninggalkan David. David kemudian
diangkut dengan mobil menuju hotel. Ia ditemani dua pengawal yang check-in di
hotel.
“He was thinking his wife didn’t love him at all
anymore. He didn’t burst into tears and he didn’t think that the first thing
people most people do when they realise someone doesn’t love them anymore is
cry.”
Paduan monolog dari narator dan
adegan David berjalan menuju mobil van mengenalkan jelas bahwa David manusia
yang indiferen.
Yorgos Lanthimos menyajikan film yang
komedi romantis yang lain dari biasa. Adegan demi adegan ia racik dengan apik
sehingga penonton akan dibuat bertanya apa dan mengapa.
Pergulatan David curi-curi untuk
bermesraan dengan short sighted woman menjadi hal yang menarik untuk diamati
dan dinanti kelanjutannya. Latar musik minimalis juga disukai oleh penulis.
Gesekan cello yang berulang juga “Apo Mesa Pethamenos”” dari Danae membuat film
yang mendapatkan Penghargaan Juri pada Cannes Festival 2016 ini tidak kering
dan tidak pula ambisius.
Film ini tidak disarankan untuk
penonton yang mengharapkan adegan action full CGI , drama yang
mengeksploitasi air mata, atau adegan syur yang muncul tiap skena. Film ini
menampilkan semacam satir dan komedi-gelap. Sebaliknya, film ini tentu menjadi
alternatif bagi penonton yang ingin menyaksikan kisah cinta yang lain.