Cebur
Sudah
aku persiapkan semua. Kupluk, cemilan, senar gitar cadangan, hingga garam. Hari
ini hari Sabtu. Hari kedua aku dengan dia. Hari Minggu besok, kami berdua : dia
dan aku akan merayakan. Piknik ke hutan.
Kegembiraan-teramat-lain
menimpa aku, kala ia ulurkan selembar kertas A3. Berpinggir-tepi hiasan gambar
dedaunan. Tambah sketsa kijang di kiri atas. Di tengahnya hadir puisi. Aku mengiyakan untuk kedua kali. Ia mengajakku
sepi berdua di hutan.
Hutan mana pula yang ia maksud ? Di kota macam begini, tidak ada hutan. Apalagi yang bisa dijangkau dengan perjalanan menapak. Setidaknya butuh tiga jam. Itupun jika naik motor dan tidak macet. Rasaku, selusin batang mahoni di tepi jalan dekat kampus itu bukanlah hutannya Dia. Atau iya?
Ia menyeruku untuk segera menyusul, “ Lompat, lompat saja”. Aku trauma dengan sungai. Jika ada bagian yang mesti dihilangkan dari hutan, kurasa itulah sungai. “Nanti kubantu, tenang saja”. “Aku tidak pandai berenang”, membenarkan diri untuk tetap di pinggir tebing ini. “Tidak masalah nanti kuajar. Hal pertama yang mesti kamu lakukan cukup melompat ke sini.”
Meski aku tinggal di pinggir sungai, aku tidak bisa berenang. Ibu selalu melarang aku ke sungai. Teman-teman yang datang untuk mengajakku berenang akan diusir Ibu. Pernah sekali waktu aku coba curi kesempatan. Berenang ke sungai dengan kawan-kawanku. Aku tersedak. Air masuk hidungku dan menyengat ke belakang kepala. Sakit sekali.
Sepulang dari sana aku menangis mengadu ke Ibu. Ibu menampar dan mencubitku. Tapi sakitnya seketika hilang saat bilang ia sudah memaafkan. Aku berjanji tidak mengulangi lagi. Sejak itu, tidak pernah lagi aku melanggar Ibu. Kini, aku sudah dewasa. Kurasa beberapa hal bisa kuputuskan sendiri. Tanpa minta izin Ibu. Dulu Ibu melarang sesuatu, pasti karena kekhawatirannya padaku. Aku mungkin belum bisa menentukan baik-buruk. Kini hal itu tak lagi relevan. Buktinya aku telah diperbolehkan Ibu merantau ke luar pulau. Aku berbuat dan berani berbuat lagi.
“Ayo, Ja !” Dia mengulang lagi mengkabik-kabikkan kedua tanggannya. “Tenang saja, ada aku”
Byur !!!