Abu
Tatkala sedang berpikir tentang apa
status yang mesti aku perbarui pada laman profil facebook—sebab menyitir
ungkapan salah seorang teman : membuka facebook tanpa menulis status adalah
seperti membuka celana dalam tanpa begituan—tubuh gempalku yang tengah
golek di sekretariat unit bacot dan baca-tulis itu, tak sengaja bagian tungkainya menendang sebentuk asbak rokok. Asbak itu tak dapat dipersalahkan.
Isinya tumpah. Puntung dan abu rokok tentu saja tak akan dapat masuk dengan
mandiri ke dalam asbak kembali.
Hari ini kabarnya harga rokok sudah
naik empat kali lipat. Aku tahu dari kawan-kawan yang merokok. Aku turut merasa
aneh. Bagaimana dengan perasaan mereka ya? Menurut salah seorang kawan yang
sudah memangkas uang jajannya untuk rokok dengan mengurangi frekuensi makan
yang biasanya sebelum merokok 3 kali sehari menjadi 2 hari sekali atau sekali
sehari. Ia tak dapat membayangkan. Mungkin akan melinting tembakau. Bagaimana
kalau harga rokok jadi lima kalinya ? Entahlah.
Selain Sapardi Djoko Damono, Kartini
Fuji Astuti adalah yang kuingat bila bicara abu. Sapardi tentu melalui puisi
Aku Ingin-nya dan Sejuta Gugat dalam Asbak-nya Kartini. Sapardi menghadirkan
metafora cinta yang menurut pengakuan teks puisinya sederhana seperti isyarat
yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (bohong).
Kemudian abu dalam asbak dalam cerpen Kartini yang berontak kepada rektor
universitas.
Karena merasa ingin bertanggung
jawab, aku mengambil kartu joker dan menjadikannya seperti sekop untuk
memindahkan pasir dari tanah ke dalam bak pedati.
Kartu joker setidaknya selalu
terdapat 3 dalam satu dek kartu baru. Namun tetapi, tidak pernah terpakai
selama hampir tiga belas tahun aku bermain remi. Paling banter
juga ada yang menggunakan kartu joker juga bukan sebagai joker itu sendiri
tetapi substitusi kartu yang hilang. Misalnya kartu dua love hilang, maka joker
akan digambar atau ditulis sebagai dua love. Sebab selalu saja ada yang tidak
disiplin, dari 52 kartu nanti ada saja yang hilang.
Mengingat abu juga bisa dikaitkan dengan phoenix yang lahir
baru pasca mengabu.
Selain itu, abu juga mengingatkanku
kepada uban kakek. Tahun 1998-1999 kala usiaku 5-6 tahun, 17 tahun lebih muda
dari sekarang, dan usia kakek 70 tahun, aku kerap menyentuhkan abu rokok ke
jari telunjuk dan jempolku sebagai pengesat untuk mencabut uban beliau. Uniknya
waktu itu, kakek memasang tarif 100 rupiah per 33 uban. Namun begitu, dua
sepukuku, cucu kakek yang lainnya Wahyu dan Isan tidak berminat mencabut uban
kakek.
Entah apa alasan kakek melakukan hal
demikian. Aku tidak pernah mengerti.
Uban adalah rambut yang putih. Jumlahnya pada puncak kepala kakek jauh
melebihi rambut hitamnya. Tentu sangat mudah mencabut 33 uban. Kalau ingin
membuat tantangan bagi cucu mungilnya kala itu mestinya 33 rambut hitam untuk
100 rupiah. Kata kakek uban itu terkadang membuat gatal. Mengapa kepala kakek
tidak dibotakkan saja ?
Pada Olimpiade Rio 2016, rasaku
tepung yang dioleskan ke tangan atlet angkat besi itu analog fungsinya dengan abu
rokok ketika aku mencabut uban kakek. Yaitu untuk meningkatkan koefisien gesek
antara tubuh dengan benda lain. Memperbesar gaya gesek statis. Sebaliknya
dengan gemuk atau oli pada rantai sepeda dan baby oil atau handbody
pada penis saat masturbasi.
Abu dalam bahasa Arab artinya ayah.
Abu rokok akan menjadi bapaknya rokok. Abu dan puntung yang sudah kusekop
dengan kartu joker tidak kumasukkan lagi ke asbak tetapi langsung ke tong
sampah. Entah mengapa ada hasrat dalam diriku agar nanti tidak terulang lagi
peristiwa abu dan puntung tumpah karena asbak yang tersepak.
Kakek meninggal saat aku kelas 1 SD.
Kata Ibu, kakek kena batu ginjal karena malas minum. Makanya aku selalu disuruh
Ibu rajin minum. Oh iya, 1999 akhir aku belum menerima rapor. Coba kalau kakek
masih hidup mungkin akan memberi hadiah : diskon uban, 33 uban menjadi 500
rupiah.
Abu rokok untuk uban berhenti di
kakek sebab meskipun ibu mewarisi tradisi cabut uban, ibu punya pinset, lebih
canggih dan bersih, dan tentu tanpa
embel-embel rupiah.