Tanah Ladiang Kedong
Ladiang
kedong berayun sampai menemu bahu salah seorang dari dua lelaki 50
tahunan yang tengah bergumul itu. Sobeklah daging tua dan darah muncrat lepas.
Seperti air mancur dari keran yang Haris mainkan di taman bunga TK. Merah
seperti sirup marjan bulan puasa, atau darah kerbau tatkala lehernya bertemu
pisau kala hari raya haji. Orang-orang cuma bisa menyaksikan. Tidak satupun
dari mereka yang tampak ada niat untuk melerai. Bisa-bisa kalau ikut campur, malah
mereka yang tertebas tajamnya parang.
Anak-anak,
orang dewasa, dan kakek-nenek mengambil tempat—posisi enak—seolah sedang
menonton hiburan. Pertarungan jarak dekat dengan ladiang kedong. Parang
yang biasanya dipakai untuk menebas batang pisang atau menebang pohon, kini dipegang
oleh dua orang yang banjir amarah untuk saling membinasakan, menghabisi satu
sama lain. Ini barangkali termasuk kearifan lokal juga. Pertarungan dengan alat
tradisional. Tidak seperti dalam film barat : pistol dan samurai.
Adegan
itu masih jelas terekam dalam benak Haris. Ia tidak berani melihat dari dekat
seperti kerumunan orang-orang. Ia memilih melihat melalui jendela berterali besi.
Dari kamar orang tuanya di lantai dua. Pertempuran itu cukup jelas disaksikan
dari sana.
Waktu
itu Haris kelas 2 Sekolah Dasar. Usianya tujuh tahun manakala mendengar gosip
yang beredar : adalah soal perempuan sebab-musabab mereka baku hantam. Istri
dari salah satu Bapak-bapak—yaitu dia yang terbacok pada bahunya—berselingkuh dengan
istri bapak yang meninggal itu. Beliau yang membacok duluan itu meninggal
dunia, entah bagaiamana ceritanya. Sepertinya lebih karena ajalnya telah tiba
saja.
Setelah
Haris dewasa, tatkala usianya dua puluh dua tahun, Ia baru tahu itu bukan
perkara selingkuh. Berita yang beredar di masa kecil memang penuh dusta. Entah
mengapa, orang dewasa kerapkali menyembunyikan sesuatu dari anak kecil. Apa
alasannya tak jadi soal. Kebohongan tetaplah kebohongan.
Rudi
namanya, pria kelahiran 1960 itu berangkat merantau ke luar pulau. Umur 18
tahun Ia tinggalkan kampung. Mencari nasib lebih cerah di kota. Ia mencoba
pekerjaan apapun di kota. Dari kuli angkut, kernet hingga naik menjadi sopir
angkot, sales jam, sampai dengan toke kakao dan pinang. Tahun 1990 Rudi
kembali dari perantauan dan menikah dengan seorang perempuan kelahiran 1965,
gadis kampungnya. Sang istri kemudian ikut dengan Rudi ke kota. Menurut kabar
warung kopi yang beredar, mereka cukup sukses di kota. Sang Istri kini menjadi
penjual emas dan Rudi tidak cuma menjadi toke kakao saja tetapi juga
pinang, karet, dll.
Tahun
1998 ekonomi negara sedang keos. Tambah dengan stress-nya istri
Rudi. Istri Rudi stress karena merasa rugi telah salah jual emas.
Padahal sebenarnya Istri Rudi ini sudah beruntung besar ketika menjual seluruh
emasnya. Bayangkan saja saat terjadi kenaikan harga emas dari Rp27.0000 per
gram ke Rp75.000 per gram. Istri Rudi
untung besar bukan ? Seluruh emas yang ia punya dilepas ke pasar. Akan tetapi,
pada pertengahan 1998 harga emas naik lagi jadi Rp145.000 per gram. Inilah
penyebab istri Rudi stres. Ia membayangkan andaisaja emas yang Ia beli Rp26.000
per gram pada tahun 1996 ditahan sedikit saja lebih lama. Mereka bangkrut,
tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung, mencari jalur hidup baru.
Tetapi tidak segampang itu juga, pasangan suami istri ini mesti melunasi
beberapa hutang terlebih dahulu.
Ali
adalah rekan setongkrongan Rudi di kampung. Rudi kerap berdebat dengan Ali tentang
mimpi-mimpi yang bisa dibangun di kota. Walau demikian, Ali tidak mau merantau
ke kota. Kata Ali, Ia ibarat ikan yang sudah nyaman tinggal di empang, samasekali
Ia tidak ingin ke laut. Bagi dirinya yang ikan, desa ini adalah empang dan kota
ialah laut. Meskipun laut penuh terumbu karang dan segala yang indah-indah
(biota bawah laut dan karang, pasir pantai dan bikini). Tetapi menurut Ali,
dirinya bukan ikan air asin. Ia memilih berladang berkebun saja di kampung. Lantas
Rudi selalu membalas dengan : “Pelaut yang tangguh tidak dihasilkan dari laut
yang tenang, Li”, jikalau perumpamaan ikan melontar dari mulut Ali. Rencana
Rudi, ia akan pinjam ke karib lamanya itu.
Rudi ada
sepetak tanah kebun di kampung. Luasnya kira-kira dua hektar. Ia akan gunakan tanah
kebun tersebut sebagai jaminan. “Jika
dalam jangka waktu lima bulan kami tidak mampu mengembalikan pinjaman ini, maka
secara langsung, kau berhak atas tanah itu”, Ucap Rudi ketika membujuk Ali. “Usahakan
saja dahulu, jangan terburu-buru.” Maka diserahkanlah 16 emas (satuan yang
setara dengan 40 gram berat emas) milik istri Ali, Wati, karena mereka memang
tidak punya uang tunai. Dua hektar tanah kebun sebagai jaminan pinjaman 16
emas.
Rudi
tidak kapok. Kota lebih menjanjikan. Hanya dua bulan Ia kerasan di kampung.
Berbekal sedikit uang sisa pinjaman dari Ali, Bulan ketiga Ia ajak istrinya
kembali mengundi nasib ke kota. Istrinya tidak menolak, ikut saja.
Bulan
berlalu, tahun berganti. Tiada kabar, tiada berita dari Rudi. Tanah kebun sebagai
jaminan itu sudah dua kali berganti tanam. Dulu jeruk kini kakao. Anak Ali pun
sudah masuk SMA, dari hasil kebun itu. Rumah mereka pun kini sudah semen,
menggantikan rumah papan. Konon juga dari kebun itu.
Tujuh
tahun kemudian Rudi dan istrinya kembali ke kampung. Momen menjelang Lebaran
Idul Fitri. Pas dengan waktu manakala para perantau mudik. Istri Rudi ingin
melunasi utangnya. Katanya, Ia hanya akan membayar beberapa juta saja. Lantas
Ali, karib Rudi tidak setuju dengan keputusan sepihak tersebut. Menurut Ali,
itu melanggar perjanjian. Sedangkan Wati, istri Ali setuju saja, dengan syarat
jika Rudi dan istrinya membayar 16 emas (berat emas yang sama dengan tujuh
tahun lalu). Rudi dan Istrinya tetap bersikeras. Ia tidak mau melepas kebunnya
seperti kehendak Ali dan tidak mau juga membayar 16 emas sesuai syarat dari
Wati. Rudi dan istrinya hanya mau jika dan hanya jika membayar uang sekian juta
itu. Ia beralasan bahwa Ali dan Wati tentu sudah mendapatkan uang yang banyak
dari kebun tersebut. Selama kurang lebih tujuh tahun itu, Rudi dan istrinya
menganggap bahwa hasil kebun itu sudah cukup untuk melunasi utangnya. Jadi
mereka hanya perlu membayar sekian juta sajak sebagai bonus terima kasih.
Segala
perjanjian tersebut tanpa tinta di atas kertas. Baik itu surat utang, maupun
surat-surat tanah. Ya, tanah kebun itu tidak ada sertifikat kepemilikannya. Adalah
sebuah aib bagi orang kampung ini mendaftarkan tanah mereka ke pembuat akta
tanah dan mempunyai sertifikat kepemilikan. Orang kampung ini amat memegang
teguh kerukunan dan kekeluargaaan. Jadi, membuat surat-surat tanah adalah
sebuah penghinaan terhadap kekeluargaan. Belum pernah ada kejadian saling
mengklaim tanah. Semua orang paham betul ponggen tanah. Biasanya penandanya
adalah pohon besar dan tinggi. Misalnya durian dan pinang.
Wati
akhirnya mengalah juga. Ia sedia-hati menerima uang beberapa juta itu. Esok
hari, disaat Ali datang ke kebun, Ia menyaksikan kakaonya ditebangi Rudi. Tanpa
pertimbangan, Ali kejar ladiang kedong kerumahnya. Pucuk ditawar, ular
keluar. Ali tak perlu balik ke kebun. Rudi sudah menunggu pula di pekarangan
rumah Ali dengan ladiang kedong di tangannya.