Tentang Lelaki 23 Tahun yang Terperangkap dalam Tubuh Lelaki Kecil Berumur Lima di Pantai Identitas (Rumah Pasir)
Tentang Lelaki 23 Tahun yang Terperangkap dalam Tubuh Lelaki Kecil
Berumur Lima di Pantai Identitas (Rumah Pasir)
Di usia 23 tahun, aku mendapati diriku lebih mirip Wilhelm
Albert WÅ‚odzimierz Apolinary Kostrowicki alias Guillaume Apollianaire[1]
ketimbang Søren Aabye Kierkegaard [2].
Perbandingan yang lirih sekaligus optimis. Menyandingkan diri dengan penulis
buku puisi seagung Alcools[3],
pemadah syair selejen Le pont mirabeau,[4]
serta pelopor aliran kaligram[5]
dalam dunia puisi. Membandingkan diri dengan Kierkegaard, manusia melankolis, bapak
filsuf eksistensialis. Kierkegaard, meskipun di ujung, lari dari ikatan
tunangan, setidaknya sudah menggenapkan lingkar cincin ke jari manis Regina
Olsen[6].
Kierkegard lebih memilih menghamili filsafat ketimbang menikahi gadis Denmark
itu. Tak tanggung, lahirlah anak Kierkegaard : Eksistensialisme[7].
Di usia 23 tahun, aku merasa terperangkap dalam tubuh anak kecil.
Seorang Lelaki Kecil. Sebutlah begitu. Berumur lima tahun. Kelas satu SD.
“Kamu kebarat-baratan”. Sepotong
kalimat Ayah ini selalu menggema di dalam kepalaku. Aku sering dibilang
kebarat-baratan oleh Ayah. Mungkin karena aku gemar mendengar musik rock
yang berisik, dengan penampilan personelnya yang eksentrik, tambah lirik-lirik
garib, memuja puisi-puisi penyair perancis: Baudelaire, Rimbaud dan Apollinaire,
dan buah pikir Fichte, Hegel dan Schelling: filsafat Idealisme Jerman.
Kalimat Ayah itu memicuku membaca penelitian M.O Parlindungan
tentang Perang Paderi dan masa lalu tanah Batak. M.O Parlindungan sebenarnya
menulis buku ini sebagai hadiah kepada kedua anaknya. Namun—buku yang ditulis
dengan metodologi sejarah a la Max Weber dan bukan Arnold Toynbee yang populer—terbit
dengan judul “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam
Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833” menuai kontroversi. Buya Hamka bilang
bahwa 80% isinya adalah kebohongan dan 20% sisanya meragukan. Buya Hamka
menulis tandingannya: Tuanku Rao Antara Fakta dan Khayal. Sanggahan yang elegan.
Ibu, lewat adik, menyuruhku menghapus bagian Lubis di namaku, di
akun facebook. Adik meng-inbox-ku. Aku tidak banyak tanya dan
malas berdebat. Aku seketika menghapusnya. Kini namaku facebookku tinggal Asra
Wijaya.
Marga-marga[8]
seperti Rangkuti, Dalimunte, Batubara, Pulungan, Hasibuan adalah legio
marga-marga minor di Tanah Batak Selatan. The Big Four Marga di sana
adalah Lubis, Nasution, Harahap dan Siregar. Dan dari segala marga tersebut,
yang pertama menduduki Tanah Batak
Selatan adalah marga Lubis. 1500 tahun sudah mereka bermukim di sana.
Di usia 23 tahun—aku yang terperangkap dalam tubuh Lelaki Kecil
berumur lima—mengira laut merah dinamakan demikian karena ketumpahan darah. Orang-orang
berperang menghunus pedang. Sabetan pedang pada daging, merobek otot dan
pembuluh darah. Darah tumpah dan laut berwarna merah. Pernah dengar air sungai
yang berubah hitam manakala abu hasil pembakaran buku di perpustakaan besar
dibuang ke sungai bukan? Mungkin analog dengan itu.
Aku suka buku. Ayah dan Ibu selalu membelikan buku baru setiap
minggu. Rumahku adalah perpustakaan. Kamarku penuh buku. Kamar ayah dan Ibu penuh
buku. Di ruang tamu buku. Di dapur ada buku. Di kamar mandi banyak buku. Rumahku
Surgaku. Aku membayangkan surga adalah sebuah perpustakaan yang penuh buku[9].
Kesukaanku adalah cerita 25 nabi dan rasul. Favoritku adalah cerita Nabi Musa.
Bagiku, Musa itu unik diantara nabi lainnya. Selain pernah berguru kepada Nabi
Khidir—yang menjadi ikon kaum sufi— Musa juga punya tongkat ajaib. Aku ingin
tahu rasanya bagaimana perasaan Musa saat memukulkan tongkatnya ke laut, hingga
laut terbelah, laut merah terbelah.
Herodotus dan Ptolemeus menyebut laut merah sebagai "Arabicus
Sinus". Orang-orang Eropa menyebutnya ‘Teluk Arab’. Orang Arab menyebutnya
‘Bahrul-Ahmar’, bahasa Ibraninya ‘Yam Suf’, bahasa Tigrinya ‘QeyH baHri’. Ada
yang bilang bahwa laut merah sama saja dengan laut lainnya, warnanya biru. Ada
yang bilang merah karena banyak ganggang Trichodesmium erythaerum.
Fisikawan Universitas Cambridge, Collin Humphreys, pernah meneliti
soal laut merah ini. Ia menemukan penyebutan red sea adalah kesalahan
lidah penduduk setempat yang melafalkan reed sea (lautan alang-alang). Sebab
tumbuh subur alang-alang di sekitar situ berkat adanya air tawar.
Aku tidak tahu berapa usia Musa ketika itu. Tidak tercantum di
buku. Yang nyata, ia sedang terkepung, hampir kalah, tetapi perjuangan belum
sudah. Nabi Musa dan pasukannya dikepung balatentara Firaun. Mereka menghadapi
jalan buntu. Lautan luas. Tetiba Musa mendengar suara Tuhan memerintahkan
memukulkan tongkatnya ke laut.
Dalam sejarah, setidaknya dua kali tongkat Musa ini bertuah.
Pertama, manakala penyihir menjelmakan tali-temali menjadi ular, Musa
memukulkan tongkatnya, lalu tongkatnya berubah menjadi ular besar yang kanibal,
memakan ular-ular para penyihir. Kedua, cerita laut merah ini. Laut Merah
terbelah. Musa dan rombongan pasukannya melewati jalan yang terbentang ini.
Firaun turut. Namun pas mereka sudah di tengah dan Musa sudah menyeberang, laut
kembali menutup.
Rasanya, Bolehlah kuberi julukan kepada Musa: Nabi Pemukul Tongkat
Bertuah.
Sampai sekarang sihir juga menggunakan tongkat. Lihat saja film
Harry Potter, The Sorcerer's Apprentice, atau sinetron Bidadari.
Bel berbunyi. Aku pulang.
Ayah belum pulang dari Kebun. Ibu juga belum. Hari ini Sabtu. Kami akan ke
Pantai.
Matahari
kemarau. Langit oranye memantul pada laut. Ombak berdebur
Capek juga memukul-mukul air laut. Pakaianku basah. Ibu dan ayah duduk
di sana. Menikmati kelapa muda. Aku sendiri mencoba membayangkan seperti Musa.
Oh iya, ini tongkat kayu yang sedang kupegang sengaja kuminta dari Ayah. “Seperti
bingkolang[10]
rumah Nenek, Yah !” “Oh, Kayu basung itu namanya,” balas Ayah. Kayunya bulat,
lurus dan ringan. Warnanya putih. Tingginya seleherku. Ayah tentu tidak susah
menemukannya di hutan dekat kebun kami.
Burung hanyut
di udara. Ikan-ikan berenang. Angin menghalau ombak
Aku ingin mainan lain. Aku main rumah pasir. Di halaman rumah aku
pernah melakukannya dengan teman-teman. Membikin rumah dari tanah. Tentu saja
adalah rumah-rumahan. Bentuknya dua dimensi, serupa denah. Atau rumah tampak
atas. Biasanya bentuknya kotak. Jika kau pernah menonton film Dogville[11],
begitulah kurasa gambaran rumah Lelaki Kecilku itu. Aku main sendiri. Mulai
dengan membuat sebuah persegi panjang besar. Lantas membagi ruangannya menjadi
beberapa partisi. Merancang ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dapur, garasi
dan lain-lain.
Tetiba lewat seorang gadis. Gadis Mungil. Dipandangnya aku yang tengah
asyik dengan rumah pasir. Aku diam saja. Tanpa basa-basi. Gadis Mungil pintakan
untuk ikut bermain. “Boleh aku ikut?”. Tanpa mengeluarkan suara, aku mengangangguk.
Gadis Mungil lantas membuat rumahnya sendiri. Di sebelahku. Tampaknya ia lebih
kreatif daripada aku. Gadis Mungil membuat sebentuk sarang lebah. Segi enam.
Aku tertawa. Lucu. “Mana ada rumah seperti itu !” “Ini isinya manusia lebah,”
ujarnya. Belum selesai membuat kamar-kamar, lantas ia menghancurkannya. Pasir
putih pantai kembali rata. “Kenapa?”. “Jelek”. “Ya sudah bantu aku saja. Kamu
sekarang buat dapur dan kamar tidur. Aku sedang menyusun ruang tamu dan ruang
perpustakaan. Jangan lupa. Dapur mesti membelakangi ruang tamu. Ok ?”. Gadis
Mungil tersenyum anggun. Mengangguk. “Oke,”balasnya. Segera tangan putih
gemulainya itu cekatan membentuk pola dinding pasir. Nyiur melambai diterpa
angin.
Hampir selesai. Tinggal membuat semacam meja dan rak buku. Melintas
seorang anak laki-laki. Lelaki Asing. Badannya lebih tinggi daripada kami
berdua. Kira-kira sejengkal lebih. Sebuah bola berwarna merah bata ia apit di
pinggang kanannya. Bola karet. Lelaki Asing menjangkau tangan Gadis Mungil.
Mengajak main bola. Mereka berdua lantas pergi meninggalkan aku juga rumah
pasir yang belum jadi.
Senja musim
kemarau. Aroma asin laut. Semilir angin.
Aku
tetiba sedih. Kuhancurkan rumah pasirku. Kuambil tongkat kayu. Kupukuli sisa
runtuhannya. Berantakan. Hancur.
Ombak berdebur.
Camar beterbangan. Ikan berenang.
Terduduk aku, habis tenaga. Dari jauh, ibu dan ayah masih menyantap
kelapa muda. Di ujung lain, dapat kulihat Lelaki Asing dan Gadis Mungil bermain
bola karet, riang gembira. Lelaki Asing melemparkan bola karet kepada Gadis
Mungil, Gadis Mungil menangkapnya. Lalu Gadis Mungil melemparkan bola karet
kepada Lelaki Asing, Lelaki Asing pura-pura gagal menangkapnya. Gadis Mungil
tertawa. Lelaki Asing pura-pura menyesal. Lantas memungut bola kembali dan
mengulangi.
Camar terbang
atas langit. Pada sela dahan nyiur. Angin berkesiur.
Di usia 23 tahun, aku terperangkap dalam tubuh Lelaki Kecil. Aku
membayangkan di masa lalu, aku adalah seorang anak kelas satu. Bermain rumah
pasir di pantai. Sedangkan ayah dan ibuku adalah jelmaan mereka berdua: yang
meninggalkan aku bermain rumah pasir sendirian. Mereka yang bermain bola karet.
Dalam hangat
air laut. Melayang ubur-ubur. Ombak berdebur
Di usia 23 tahun, aku terperangkap dalam tubuh Lelaki Kecil. Di
usia segini mungkin Muhammad sedang menyiapkan pernikahan dengan kekasihnya,
Khadijah. Atau sepuluh tahun menjelang kematian Yesus dari Nazareth. Aku tidak
tahu apakah di usia 23 tahun jugakah Apollinaire mendapati cintanya kepada
Annie Playden kandas, terseret arus sungai Seine. Apakah artinya usia 23?
Kini laut berparuh merah.
Tulang rusukku debu. Cinta jadi
lumpur, jika aku menyentuhmu.[12]
Tulang rusukku debu. Cinta jadi
lumpur, jika aku menyentuhmu.[12]
Pasir putih
dijilat. Ombak berbuih. Luka mengalir
Apakah Musa akan membiarkan rumah pasirnya ditinggal pergi?
Suara
Tuhan.
[1]
Guillaume Apollinaire (26 August 1880 – 9 November 1918) adalah penyair
Perancis, dramawan, penulis cerita pendek, novelis, dan kritikus seni. Apollinaire
termasuk penyair terkemuka abad XX, pejuang Kubisme, dan dedengkot Surealisme.
[2]
Søren Aabye Kierkegaard (5 May 1813 – 11 November 1855) adalah filsuf Denmark, teolog,
penyair. Dikenal sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme.
[3]
Antologi Puisi Apollinaire yang terbit tahun 1913. Ilustrasinya dibuat oleh
Pablo Picasso.
[4]
Puisi terkenal dari Apollinaire. Di Bawah Jembatan Mirabeau.
[5]
Puisi yang tipografinya membentuk gambar.
[6]
Tunangan Kierkegaard yang batal dinikahinya. Kierkegaard membujang hingga
wafat.
[7]
Aliran Filsafat yang membahas tentang eksistensi dan esensi manusia.
[8]
Kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun
patrilineal; suku
[9]
Kutipan terkenal dari Jorge Luis Borges “Siempre imaginé que el ParaÃso serÃa
algún tipo de biblioteca.” “I have always imagined that paradise will be a kind
of library.”
[10]
Palang pada pintu atau jendela bagian dalam. Biasanya digunakan untuk
pengamanan lapis dua setelah kunci. Untuk mencegah jendela atau pintu dibobol
maling.
[11]
Dogville adalah film avant-garde asal Denmark bergenre drama yang disutradarai
Lars von Trier
[12]
Puisi Laut Berparuh Merah Karya M Aan Mansyur