[Resensi Buku] The Seven Good Years : Humor dari Konflik Israel-Palestina
Resensi
Buku The Seven Good Years
Judul : The
Seven Good Years
Penulis : Etgar
Keret
Penerjemah : Ade
Kumalasari
Penerbit : Bentang
Cetakan : Pertama,
Juni 2016
Tebal : x+198
hlm.
“Di mana Anda berada ketika penyerangan terjadi?”
“Saya tidak terkena serangan. Saya hanya kebetulan berada di sini
hari ini. Istri saya mau melahirkan.”
“Oh,”Katanya, tidak mencoba untuk menyembunyikan kekecewaannya,
lalu memencet tombol setop di perekamnya. Mazal tov”
Apakah buku memoar-penulis Israel-keturunan Yahudi ini sudah lulus
sensor ? Tidak tahu. Yang jelas buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Buku ini ialah memoar mungil Etgar Keret. Pada rentang waktu semenjak
anaknya Lev lahir—bertepatan dengan serangan bom di Tel Aviv—hingga kematian ayahnya—yang
sudah berhasil lolos dari holokos. Etgar Keret dengan lucu mengomentari
perang-abadi, anti-Semit dan Yahudi-paranoid. Ia bak memberi sudut pandang lain
bagi orang yang selama ini mendapatkan persepsi dari penulis yang pro kepada
salah satu pihak pada perang Israel-Palestina. Keret menceritakan fragmen
kehidupannya yang tinggal di daerah konflik. Tentu saja akan merembet ke ide perdamaian
versi dia.
Buku setebal 195 halaman ini ditulis Keret dengan gaya bebas ala
bahasa tutur, mirip buku harian. Tentu saja Keret sebagai seorang Yahudi, Ayah
dan seorang penulis.
Memoar selama 7 tahun ini dibuka dengan Keret yang mengantarkan istrinya melahirkan ke rumah sakit. Kejadian ini serentak dengan berdatangannya korban teroris (pengeboman) ke rumah sakit. Tetiba Keret diserbu oleh pertanyaan dari reporter. Reporter barangkali merasa bahwa komentar seorang penulis terhadap serangan bom akan berbeda dengan korban bom umumnya. Akan tetapi ketika Keret menjelaskan bahwa ia sedang menanti kelahiran anaknya, sang reporter terlihat kecewa. Sang reporter cuma bisa berujar Mazal tov (semoga beruntung).
Sisi pribadi Keret juga dapat kita intip dalam buku ini. Keret ingin menjadi seperti kakaknya. Kebanggaan tentang kakaknya tersebut terungkap dalam bagian “Memuja Idola.”
Keret punya citarasa humor yang kalau tidak boleh dibilang melimpah sebut saja lain. Ia bahkan adalah seorang Yahudi Paranoid. Istilah tersebut dilontarkan Eka Kurniawan dalam pengantar buku ini. Pernah Keret makan di restoran di Jerman, lalu ada seorang Jerman yang mabuk dan memaki. Keret merasa itu adalah salah satu bentuk neo-Nazi yang anti Semit dan ingin menumpas Yahudi. Setiap teriakan berbahasa negeri yang pernah dipimpin Hitler itu, Keret selalu merasa aneh. Padahal belakangan belakangan Keret tahu bahwa si Jerman bermasalah dengan parkiran mobilnya. Keret juga menulis bahwa ia dapat menemukan swastika lebih cepat daripada google.
Keret pernah di undang ke Festival Ubud Writers di Bali. Kala itu, Ia sempat kesulitan masuk Indonesia. Ia menunggu beberapa hari di Bangkok, menanti urusan administrasi imigrasi diselesaikan oleh panitia Festival. Ayahnya sebenarnya tidak menginginkan Keret untuk berangkat ke Indonesia. Indonesia menurut ayahnya adalah negara yang mayoitas Islam yang begitu anti Yahudi. Ayahnya menceritakan bahwa dahulu pernah ada peristiwa pembakaran bendera Israel di depan kantor kedubes Israel. Kemudian, setelah hubungan diplomatik kedua negara putus, bendera itu dibakar di kantor kedubes Amerika. Keret memberikan pembenaran kepada ayahnya. Keret memberikan info dari situs wikipedia tentang Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Ayahnya menjawab bahwa tidak perlu suara mayoritas untuk menembakkan sebutir peluru ke kepala Keret. Sebab Yahudi yang hidup dan bernapas adalah santapan lezat bagi Indonesia lanjut Ayah Keret.
Peristiwa unik lainnya atau sebut saja penderitaan, dialami Keret ketika naik pesawat. Insiden kesalahan boarding pass. Ia berkeras dengan seorang penumpang. Ia merasa bahwa seat-nya sudah diduduki penumpang lain. Lama saling berkepala batu, akhirnya Keret mesti kalah dan duduk di bangku tempel. Bukan penulis namanya kalau Keret tidak menjadikan penderitaan ini sebagai bahan tulisannya.
Ada juga tentang relasi beliau dengan supir taksi dan juga istrinya. Tidak lupa gim ‘Angry Bird’. Keret menuliskan bahwa jumlah tentara perang Jepang yang masih bersembunyi karena menganggap Perang Dunia II belum berakhir lebih banyak daripada penduduk bumi yang tidak kenal dengan gim ini. Keret menemukan kaitan keren antara ‘Angry Bird’ dengan kaum radikalis relijius. Mengapa sampai burung ‘Angry Birds’ mengorbankan hidupnya demi menghancurkan babi-babi? Di awal gim sebenarnya sudah dideskripsikan bahwa para babi tersebut mencuri telur para burung. Tetapi mengapa babi ? Mengapa bukan ular, biawak atau binatang lain yang lebih suka dan tertarik kepada telur burung? Di ‘Angry Birds’ babi-babi hijaulah yang jadi sasaran. Keret berprasangka bahwa babi hijau di sini seperti dolar Amerika. Selain itu, babi adalah salah satu hewan yang dicap hina dari beberapa agama tertentu. Tambah, burung-burung rela mati demi menghancurkan musuh. Bukankah ini sebuah konspirasi yang dekat dengan kejadian masa kini ?
Pada ‘Pastrami’, Keret menunjukkan kecerdasannya untuk ‘menyuruh’ anaknya melakukan sesuatu. Suatu hal yang mungkin terdengar akan membutuhkan pertanyaan panjang dari sang anak. Bukan apa-apa, tetapi memang karena dalam kondisi begitu, waktu yang dibutuhkan singkat. Keret bermain pastrami untuk berlindung dari ledakan bom. Permainan konyol dengan menirukan bentuk roti lapis dengan daging ditengahnya. Keret dan istrinya menjadi roti lapis, sedangkan sang anak menjadi daging, diapit kedua orang tuanya.
Juga ada tentang Yom Kippur sebagai hari perdamaian. Manakala sirene dimatikan, orang-orang bebas berjalan di jalan raya. Damai. Ketika sang anak menanyakan apakah hari besoknya juga Yom Kippur, Keret menjawab jujur : Tidak. Lantas sang anak menangis.
Daripada sebuah kritik atau catatan harian, The Seven Good Years lebih kepada tertawaan atas penderitaan dan hidup Keret. Atau bahkan peristiwa dunia masa kini. Keret berbesar hati untuk membagikan tertawaannya tersebut ke khalayak. Maka membaca buku berarti kita sedang tertawa bersama Keret yang menertawakan kehidupan. Jika ada yang menganggap buku ini adalah semacam pesan-pesan perdamaian atau keberpihakan Keret, barangkali itu bagian dari panggilan nurani pembaca. Ada benarnya bahwa tiap manusia menghendaki kedamaian dan cinta kasih.
(pernah dimuat di basabasi.co tanggal November 5, 2016)